Kamis, 11 Februari 2010

SYARAT-SYARAT KEPAILITAN


Syarat-syarat tersebut penting karena apabila permohonan kepailitan tidak memenuhi syarat-syarat tersebut, maka permohonan tersebut tidak akan dikabulkan oleh Pengadilan Niaga. Menurut Pasal 1 ayat (1) UUK:
Debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, baik atas permohonannya sendiri, maupun atas permintaan seorang atau lebih Kreditornya.

1.      Dalam Pasal 1 ayat (1) UUK tersebut di atas digunakan dua istilah yang sebenarnya sama artinya, yaitu permohonan ("... baik atas permohonannya sendiri...") dan permintaan ("...maupun atas permintaan seorang..."). Tidak jelas mengapa tidak digunakan satu istilah saja, yaitu apakah menggunakan istilah "permohonan" saja atau istilah "permintaan" saja.

2.      Syarat Paling Sedikit Harus Ada 2 (dua) Kreditor (Concursus Creditorum)


Pengertian Kreditor:

Pengadilan Niaga dalam putusannya No. 26/Pailit/1999/PN.Niaga/ Jkt.Pst. tanggal 31 Mei 1999 dalam perkara kepailitan antara PT Liman Internasional Bank sebagai Pemohon Pailit melawan PT Wahana Pandugraha sebagai Termohon Pailit berpendirian bahwa Kantor Palayanan Pajak Jakarta-Gambir dan Kantor Pelayan Pajak Bumi dan Bangunan Kabupaten Pandeglang yang ditarik dalam permohonan sebagai Kreditor lain oleh pemohon dan ditolak oleh yang bersangkutan, maka Majelis Hakim dapat menerima alasan penolakan tersebut karena utang pajak timbul berdasarkan ketentuan undang-undang bukan karena adanya perjanjian utang-piutang antara Termohon dengan Kantor Pelayanan Pajak.

Terhadap perkara tersebut Mahkamah Agung RI dalam putusan Kasasinya, yaitu putusan No. 015K7N/1999 tanggal 14 Juli 1999 mengemukakan dalam pertimbangannya:
bahwa Kantor Pelayanan Pajak maupun Kantor Pelayana Pajak Bumi dan Bangunan, tidak termasuk Kreditor dalam ruang lingkup pailit. Bentuk utang pajak adalah tagihan yang lahir dari UU No. 6 tahun 1983 (sebagaimana dirubah dengan UU No. 9 tahun 1994, Ketentuan Umum Perpajakan = KUP). Berdasarkan undang-undang tersebut, memberi kewenangan khusus Pejabat Pajak untuk melakukan eksekusi langsung terhadap utang pajak di luar campur tangan kewenangan Pengadilan. Dengan demikian terhadap tagihan utang pajak harus diterapkan ketentuan Pasal 41 ayat (3) UU No. 4 tahun 1998, yakni menempatkan penyelesaian penagihan utang pajak berada di luar jalur proses pailit, karena mempunyai kedudukan hak istimewa penyelesaiannya.

Harus dibedakan antara pengertian Kreditor dalam kalimat "...mempunyai dua atau lebih Kreditor..." dan Kreditor dalam kalimat "...atas permintaan seorang atau lebih Kreditornya." yang dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) UUK.

Kalimat yang pertama adalah untuk mensyaratkan bahwa Debitor tidak hanya mempunyai utang kepada satu Kreditor saja. Dengan demikian menurut pendapat penulis, kata "Kreditor" yang dimaksud dalam kalimat yang pertama itu adalah sembarang Kreditor, yaitu baik Kreditor konkuren maupun Kreditor preferen. Yang ditekankan di sini adalah bahwa keuangan Debitor bukan bebas dari utang, tetapi memikul beban kewajiban membayar utang-utang.

Sedangkan maksud kalimat yang kedua adalah untuk menentukan
bahwa permohonan pailit dapat diajukan bukan saja oleh Debitor sendiri tetapi juga oleh Kreditor.

Dalam kalimat yang kedua ini, Kreditor yang dimaksud adalah Kreditor konkuren. Mengapa harus Kreditor konkuren adalah karena seorang Kreditor separatis atau Kreditor pemegang Hak Jaminan tidak memmpunyai kepentingan untuk diberi hak mengajukan permohonan pernyataan pailit mengingat Kreditor separatis telah terjamin sumber pelunasan tagihannya, yaitu dari barang agunan yang dibebani dengan Hak Jaminan.

Apabila seorang Kreditor separatis merasa kurang terjamin sumber pelunasan piutangnya karena nilai Hak Jaminan yang dipegangnya lebih rendah daripada nilai piutangnya, dan apabila Kreditor separatis itu menghendaki untuk mem-peroleh sumber pelunasan dari harta pailit, maka Kreditor separatis itu harus terlebih dahulu melepaskan hak separatisnya, sehingga dengan demikian berubah statusnya menjadi Kreditor konkuren.

Berlakunya ketentuan bahwa Debitor harus mempuyai dua atau lebih Kreditor, menimbulkan masalah hukum. Haruskah Kreditor pemohon pernyataan pailit membuktikan bahwa Debitor mempunyai Kreditor lain selain dari Kreditor pemohon? Apabila memang Kreditor pemohon diharuskan untuk dapat membuktikan bahwa selain Kreditor pemohon masih ada Kreditor lain, hal itu tidaklah mudah dilakukan oleh Kreditor tersebut.

Oleh karena tidak ada ketentuan yang mewajibkan agar setiap utang yang diterima oleh seorang Debitor harus didaftarkan pada suatu badan tertentu yang diserahi tugas untuk mencatat utang-utang dalam suatu daftar khusus, maka sulit bagi Kreditor pemohon untuk dapat mengetahui siapa saja Kreditor-kreditor dari Debitor.

Oleh karena menurut KUH Acara Perdata Indonesia (HIR) seorang yang mengajukan gugatan atau permohonan harus membuktikan kebenaran gugatan atau permohonannya, atau dengan kata lain beban pembuktian ada pada penggugat atau pemohon, maka pemohon pernyataan pailit harus dapat membuktikan bahwa Debitor memiliki lebih dari satu Kreditor (terdapat Kreditor lain selain Kreditor pemohon), dan harus dapat pula menyebutkan dengan mengemukakan bukti-bukti siapa saja Kreditor-kreditor lain itu.


3.      Syarat Harus Adanya Utang

Syarat lain yang harus dipenuhi bagi seorang pemohon pernyataan pailit ialah harus adanya utang. UUK tidak menentukan apa yang dimaksudkan dengan utang. Dengan demikian para pihak yang terkait dengan suatu permohonan pernyataan pailit dapat berselisih pendapat mengenai ada atau tidak adanya utang. Pihak-pihak yang dimaksud ialah (penasihat hukum dari) pemohon, (penasihat hukum dari) Debitor, dan Majelis Hakim yang memeriksa permohonan itu, baik Majelis Hakim Pengadilan Niaga, Majelis Hakim Kasasi, maupun Majelis Hakim Peninjauan Kembali.


4. Syarat Utang Harus Telah Jatuh Waktu dan Dapat Ditagih

Pasal 1 ayat (1) UUK tidak membedakan tetapi menyatukan syarat utang yang telah jatuh waktu dan utang yang telah dapat ditagih. Penyatuan tersebut ternyata dari kata "dan" di antara kata "jatuh waktu" dan "dapat ditagih".

Kedua istilah itu dapat berbeda pengertiannya dan kejadiannya. Suatu utang dapat saja telah dapat ditagih tetapi belum jatuh waktu. Pada perjanjian-perjanjian kredit perbankan, kedua hal tersebut jelas dibedakan. Utang yang telah jatuh waktu ialah utang yang dengan lampaunya waktu penjadwalan yang ditentukan di dalam perjanjian kredit itu, menjadi jatuh waktu dan karena itu pula Kreditor berhak untuk menagihnya.

Pengertian "utang yang telah jatuh waktu" dan "utang yang telah dapat ditagih" berbeda. "Utang yang telah jatuh waktu", atau utang yang telah expired, dengan sendirinya menjadi "utang yang telah dapat ditagih", namun utang yang telah dapat ditagih belum tentu merupakan utang yang telah jatuh waktu.

Utang hanyalah jatuh waktu apabila menurut perjanjian kredit atau perjanjian utang-piutang telah sampai jadwal waktunya untuk dilunasi oleh Debitor sebagaimana ditentukan di dalam perjanjian itu. Misalnya saja telah sampai jadwal cicilan bagi pelunasan kredit investasi yang ditentukan bertahap, misalnya setiap 6 (enam) bulan sekali setelah masa tenggang (grace period) lampau, dan harus telah dilunasi seluruhnya pada akhir perjanjian yang bersangkutan. Namun, suatu utang sekalipun jatuh waktunya belum tiba, mungkin saja utang itu telah dapat ditagih, yaitu karena telah terjadi salah satu peristiwa yang disebut events of default sebagaimana ditentukan ai dalam perjanjian itu.

Maka seyogianya kata-kata di dalam Pasal 1 ayat (1) UUK yang berbunyi "utang yang telah jatuh waktu dan telah dapat ditagih" diubah menjadi cukup berbunyi "utang yang telah dapat ditagih" atau "utang yang telan dapat ditagih baik utang tersebut telah jatuh waktu atau belum". Penulisan seperti kalimat yang penulis usulkan itu akan menghindarkan selisih pendapat apakah utang yang "telah dapat ditagih" tetapi belum "jatuh waktu" dapat dijadikan alasan untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit. Biasanya diberikan somasi dahulu apabila tidak diindahkan, maka Debitor tersebut dianggap lalai dan utang telah dapat ditagih.


5. Syarat Cukup Satu Utang Saja Telah Jatuh Waktu dan Dapat Ditagih

Bunyi Pasal 1 ayat (1) di dalam Perpu No. 1 Tahun 1998 sebagaimana telah disahkan menjadi UU No. 4 Tahun 1998 merupakan perubahan dari bunyi Pasal 1 Faillissementsverordening S. 1905 No. 217 jo S. 1906 No. 348. Bunyi Pasal 1 ayat (1) sebelum diubah, yaitu bunyi Pasal 1 ayat (1) Fv, adalah:
Setiap Debitor yang tidak mampu membayar utangnya yang berada dalam keadaan berhenti membayar kembali utang tersebut, baik atas permintaannya sendiri maupun atas permintaan seorang kreditor atau beberapa orang kreditornya, dapat diadakan putusan oleh hakim yang menyatakan bahwa debitor yang bersangkutan dalam keadaan pailit.

Seyogianya salah satu syarat untuk mengajukan permohonan pemyataan pailit terhadap seorang Kreditor adalah bahwa selain Debitor memiliki lebih dari seorang Kreditor, Debitor tersebut harus pula dalam keadaan insolven, yaitu tidak membayar lebih dari 50% (lima puluh perseratus) utang-utangnya.

Dalam Pasal 1 ayat (1) UUK maupun dalam pasal-pasal lain, tidak ditentukan bahwa apabila permohonan pernyataan pailit diajukan oleh seorang Kreditor, dipersyaratkan bahwa utang kepada Kreditor pemohon harus telah jatuh waktu dan telah dapat ditagih serta tidak dibayar oleh Debitor. Dengan demikian dapat dipertanyakan apakah seorang Kreditor sekalipun piutangnya belum jatuh waktu dan dapat ditagih boleh tampil sebagai pemohon pernyataan pailit dengan syarat pemohon harus dapat membuktikan bahwa Debitor memiliki utang kepada Kreditor lain yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih.

Bank pemberi kredit secara mudah dapat mengetahui keadaan keuangan para Debitornya dari laporan hasil pemeriksaan (audit) oleh akuntan publik yang diwajibkan oleh bank yang bersangkutan untuk disampaikan oleh Debitor kepada bank dari waktu ke waktu. Kalau Kreditor hanya boleh mengajukan permohonan pernyataan pailit menunggu sampai utang Debitor telah jatuh waktu dan dapat ditagih, yang mungkin saja masih agak lama, maka kepentingan Kreditor dapat sangat dirugikan.

Berbeda dengan kasus di atas, dapat muncul kasus lain. Misalnya, Debitor D memiliki utang kepada Kreditor A, B, dan C. Utang kepada Kreditor A telah jatuh waktu dan dapat ditagih, sedangkan utang Debitor kepada Kreditor B, dan C, belum jatuh waktu dan dapat ditagih. Dalam kasus ini pertanyaan yang timbul adalah apakah dimungkinkan permohonan pailit diajukan oleh Kreditor A karena utang Debitor kepadanya telah jatuh waktu dan dapat ditagih tetapi utang Debitor terhadap Kreditor B dan C belum jatuh waktu dan dapat ditagih?

Dari bunyi Pasal 1 ayat (1) UUK dapat ditafsirkan bahwa permohonan pernyataan pailit terhadap seorang Debitor dapat diajukan cukup apabila Debitor tidak membayar hanya untuk satu utang saja yang telah jatuh waktu dan dapa ditagih, sepanjang Debitor mempunyai dua atau lebih Kreditor.

Sekali lagi, Debitor harus dalam keadaan insolven (telah berada dalam keadaan berhenti membayar kepada para Kreditornya), bukan sekadar tidak membayar kepada satu atau dua orang Kreditor saja, sedangkan kepada para Kreditor lainnya Debitor masih melaksanakan kewajiban pembayaran utang-utangnya dengan baik.

Dalam hal Debitor hanya tidak membayar kepada satu atau dua orang Kreditor saja, sedangkan kepada para Kreditor yang lain Kreditor masih membayar utang-utangnya, maka terhadap Debitor tidak dapat diajukan permohonan pailit kepada Pengadilan Niaga tetapi diajukan gugatan kepada Pengadilan Negeri (pengadilan perdata biasa.)

Ada sebuah contoh yang sangat menarik mengenai putusan pailit Pengadilan Niaga terhadap suatu perusahaan yang masih solven hanya berdasarkan dalih bahwa perusahaan tersebut tidak membayar kewajibanya kepada salah satu Kreditor tertentu saja, sekalipun kepada Kreditor-kreditor lainnya perusahaan tersebut masih memenuhi kewajiban-kewajibannya dengan baik. Putusan yang dimaksud adalah Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. "PAILIT/2000/PN. NIAGA.JKT.PST tanggal 13 Juni 2002 itu, yang menyatakan PT Asuransi Jiwa Manulife Indonesia (PT AJMI) pailit. Putusan tersebut telah memicu reaksi yang keras tidak saja dari dalam negri, tetapi juga dari dunia internasional.

Manulife adalah Suatu perusahaan asuransi yang didirikan oleh sebuah perusahaan di Kanada, saham sebesar 51%, Dharmala Sakti Sejahtera, Tbk 40%, dan International Finance Corporation (IFC) 9%.

Perusahaan asuransi jiwa yang tergolong terbesar di Indonesia itu pada saat dipailitkan memiliki keadaan keuangan yang cukup baik dengan aset senilai Rp 1,3 triliun, 400 ribu pemegang polls.

Dengan alasan tidak membayar dividen keuntungan perusahaan tahun 1998, PT AJMI dimohon melalui Pengadilan Niaga Jakarta untuk dinyatakan pailit. Yang memohon putusan pernyataan pailit itu ialah Paul Sukran, S.H. yang berkedudukan selaku Kurator dari perusahaan yang sudah dinyatakan pailit sebelumnya, yaitu PT Dharmala Sakti Sejahtera, Tbk. (PT DSS), yang pada 1998 memiliki 40% saham PT AJMI sebagaimana telah dikemukakan di atas.

Sesudah PT DSS pailit, saham PT AJMI miliknya dilelang dan dibeli oleh Manulife. Pertimbangan PT DSS sebagai pemohon dalam mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap PT AJMI itu adalah bahwa dengan
dinyatakannya PT DSS pailit, maka segala sesuatu yang menyangkut
pengurusan harta kekayaan PT DSS (Debitor pailit) sepenuhnya dilakukan oleh Kurator.

Selaku Kurator yang diangkat berdasarkan Penetapan Pengadilan Niaga, Pemohon (sebagai Kurator) bertugas melakukan pengurusan dan atau pemberesan harta pailit serta berusaha mengumpulkan semua harta kekayaan yang dimiliki oleh PT DSS termasuk tugasnya sebagai Kurator, adalah melakukan penagihan kepada PT

AJMI selaku termohon berupa membayarkan dividen tahun buku 1999 berikut bunga-bunganya kepada PT DSS selaku pemilik/pemegang 40% saham pada PT AJMI yang tercatat untuk tahun buku 1999. Dalam Pasal X Akte Perjanjian Usaha Patungan, di antara para pemegang saham, dalam mendirikan PT AJMI, telah disepakati bahwa "Sejauh perusahaan memperoleh laba dan telah mendapatkan suatu surplus untuk dibagikan kepada para pemegang saham untuk tahun pembukuan Perusahaan yang mana pun (sebagaimana dapat dilihat dari Laporan Keuangan yang telah diaudit sehubungan dengan tahun pembukuan yang bersangkutan), hak akan mengatur agar perusahaan (PT Asuransi Jiwa Manulife- semua membayar dividen sedikitnya sama dengan 30% dari life surplus yang melebihi Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Berdasarkan Laporan Keuangan PT AJMI tahun buku 1999 dan 1998 yang dibuat oleh ERNST & YOUNG selaku auditor independen, "Consolidated Financial Statement Desember 31, 1999 and 1998 telah ditentukan bahwa PT AJMI telah mendapat surplus dari keuntungan sebesar Rp 186.306.000.000,00 (seratus delapan puluh enam miliar tiga ratus enam juta rupiah). Berdasarkan Laporan Keuangan tersebut dan dengan mengacu kepada Pasal X Akta Perjanjian Usaha Patungan, maka menurut Pemohon, dividen yang harus dibagikan kepada para pemegang saham Termohon (PT AJMI) adalah sebesar Rp 55.891.800.000,00 (lima puluh lima miliar delapan ratus sembilan puluh satu juta delapan ratus ribu rupiah) yaitu sebesar 30% x Rp 186.306.000.000,00. Berdasarkan hal tersebut di atas dan dengan mengacu kepada Pasal X Akta Perjanjian Usaha Patungan, maka menurut Pemohon, PT DSS sebagai pemegang saham sebanyak 40% berhak untuk mendapat pembagian dividen beserta bunga-bunganya sebesar 40% x Rp 55.891.800.000,00, yaitu sebesar Rp 22.356.720.000,00 (dua puluh dua miliar tiga ratus lima puluh enam juta tujuh ratus dua puluh ribu rupiah).

Total kewajiban Termohon kepada Pemohon setelah utang dividen itu ditambah dengan bunga yang belum dibayarkan sejak tanggal 01 Januari 2000 sampai dengan 30 April 2002 (2 tahun 4 bulan) dengan perhitungan bunga sebesar 20% pertahun adalah berjumlah Rp 32.789.856.000,00 (tiga puluh dua milyar tujuh ratus delapan puluh sembilan juta delapan ratus lima puluh enam ribu rupiah). Termohon dengan berbagai alasan berusaha untuk menghindar dari kewajiban membayar dividen tersebut yang telah diupayakan penagihannya oleh Pemohon.

Permohonan Pemohon untuk memailitkan Termohon PT AJMI telah dikabulkan oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dengan putusan sebagaimana dikemukakan di atas. Sehubungan dengan putusan pernyataan pailit terhadap PT AJMI oleh Pengadilan Niaga tersebut reaksi keras datang dari pemerintah Kanada. Reaksi keras tersebut muncul karena MI merupakan perusahaan yang keadaan keuangannya masih solven.

Dalam surat kabar Kompas tanggal 21 Juni 2002, halaman depan dengan judul "Buntut Kasus Pailit PT AJMI; Ka Pertimbangkan Sanksi Untuk RF' diberitakan bahwa:
Menteri Luar Negeri (Menlu) Kanada Bill Graham mengatakan pemerintah Kanada mempertimbangkan untuk melancarkan aksi retaliasi (balasan) terhadap Pemerintah RI karena dinilai tidak menunjukkan respons yang memadai berkaitan dengan kasus pailit PT Asuransi AJ Manulife Indonesia (AJMI) yang kontroversial. Graham, dikutip harian Canada National Post, Kamis (20/6), mengatakan Pemerintah Kanada akan mengkaji semua opsi, termasuk kemungkinan menerapkan sanksi terhadap Pemerintah Indonesia. Bahkan, ia tidak menutup kemungkinan Indonesia akan menghadapi sanksi internasional.

Lebih lanjut dalam harian Kompas yang sama diberitakan pula:
Duta Besar Kanada untuk Indonesia, Ferry de Kerckhove sendiri dikutip AFP, Kamis, menuding Pemerintah Rl tidak berbuat apa-apa untuk memecahkan kasus sengketa antara Manulife Financial Corp dengan mantan mitra lokalnya, Dharmala Group, yang berlarut-larut sejak tahun 1998. "Kami tidak puas dengan respons yang ditunjukkan oleh Pemerintah Indonesia," ujarnya.

Dalam harian Kompas 20 Juni 2002, yang dimuat di halaman depan dengan judul "Menko Perekonomian: Kasus PT AJMI Harus Jadi Pelajaran" diberitakan bahwa Duta Besar Prancis untuk Indonesia Herve Ladseus dalam konferensi pers usai pertemuan dengan Jajaran pemerintah Provinsi Jawa Barat di Bandung, Rabu, mendesak pemerintah RI bersikap tegas dalam menegakkan aturan hukum, agar para investor asing mendapat kepastian keamanan atas modal yang telah ditanarnkan di Indonesia. Menurut dia, kasus PT AJMI merupakan suatu presenden buruk terhadap iklim investasi di Indonesia. "Investor asing akan semakin enggan menanamkan modalnya di sini", ujar Ladseus.

Dalam harian Kompas yang sama diberitakan pula bahwa hal senada diungkapkan oleh Presiden American Chamber of Commerce (Kamar Dagang dan Industri/Kadin Amerika) Carol Hessler. "Reformasi hukum merupakan hal yang sangat penting untuk saat ini," ujarnya dikutip Reuters.

Deputi Managing Director IMF, Anne Krueger, Dow Jones Newswires, Sabtu (22/6), bahkan menyatakan dengan tegas, IMF tidak senang atas perkembangan di Indonesia menyangkut privatisasi dan juga reformasi hukum. Salah satu yang disoroti Krueger menyangkut keputusan kontroversi Pengadilan Niaga yang akhirnya memailitkan AJMI.

Kueger juga mengaku, IMF sependapat dengan Pemerintah Kanada dan juga para investor asing bahwa keputusan pengadilan tersebut akan dapat mengurangi minat investor asing untuk berinvestasi ke Indonesia.

Sehubungan dengan reaksi pemerintah Kanada tersebut di atas, Staf Ahli Menko Perekonomian, Mahendra Siregar, mengemukakan bahwa di dalam negara demokrasi, pemerintah tidak bisa ikut campur dalam proses ataupun keputusan pengadilan. Terutama, kata dia, dalam kasus perdata, seperti Manulife. Siregar juga mengharapkan pemerintah Kanada dapat memahami apa yang sedang dilakukan oleh Indonesia dalam menjalankan agenda reformasi, terutama di bidang hukum.

Menko Perekonomian, Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, sebagaimana dikutip oleh Kompas, 20 Juni 2002, mengatakan bahwa masalah kepailitan AJMI merupakan gambaran Indonesia yang ada pada saat ini dan pemerintah tidak bisa mencampuri masalah yudikatif.

Atas putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat tersebut, PT AJMI telah mengajukan Kasasi. Reaksi-reaksi tersebut (seperti gugatan korupsi, tekanan negara luar) akhirnya berhenti setelah kemudian Mahkamah Agung dengan Putusan Nomor: 021K/N/202 tanggal 5 Juli 2002 telah mengabulkan permohonan Kasasi dari Pe-mohon Kasasi dan membatalkan putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 13 Juni 2002 Nomor 10/PAILIT/ 2002/PN.NIAGA.JKT.PST.

Ini adalah contoh kontroversi berdasarkan syarat-syarat dimungkinkannya perusahaan yang masih solven dipailitkan hanya dengan alasan karena ada salah satu Kreditor yang utangnya telah jatuh waktu dan dapat ditagih tidak dibayar, sekalipun kepada Kreditor yang lain kewajiban-kewaiiban Debitor masih dipenuhi dengan baik. Jadi dengan persyaratan kepailitan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) UUK maka terhadap terjadinya wanprestasi oleh orang perorangan atau suatu badan hukum (Debitor) berkaitan dengan kewajiban kontraktual pada khususnya atau kewajiban hukum pada umumnya kepada pihak lain (Kreditor), pihak yang dirugikan (Kreditor) telah diberi dua pilihan oleh hukum yang berlaku untuk dapat menuntut haknya, yaitu apakah akan menuntut haknya melalui Pengadilan Negeri (pengadilan perdata biasa) dengan mengajukan gugatan atau mengajukan permohonan pailit melalui Pengadilan Niaga.

Oleh karena persyaratan kepailitan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) UUK tersebut dapat menimbulkan malapetaka bagi dunia usaha, dan lebih lanjut dapat mengurangi minat luar negeri untuk menanamkan modal di Indonesia, dan dapat menyebabkan keengganan lembaga-lembaga pemberi kredit untuk membiayai penrusahaan-perusahaan di Indonesia, penulis berpendapat syarat-syarat kepailitan yang ditentukan dalam Pasal 1 ayat (1) UUK itu harus segera diubah. UUK harus menganut asas bahwa hanya perusahaan yang insolven saja yang dapat dinyatakan pailit sebagaimana yang dianut oleh undang-undang kepailitan di banyak negara.

Penulis berpendapat bahwa rumusan Pasal 1 ayat (1) Fv sebelum diubah dengan Perpu Kepailitan lebih tepat karena rumusan tersebut sesuai dengan asas atau semangat hukum kepailitan. Rumusan Pasal 1 ya (1) Fv itu merupakan rumusan yang dipakai dalam Undang-undang Kepailitan Belanda yang masih berlaku sampai sekarang ini.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar