Kamis, 10 Juni 2010

STATUS PERKAWINAN DAN HARTA PERKAWINAN



BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bangsa Indonesia merdeka dari penjajahan sejak tahun 1945 dan telah memiliki landasan dasar negara, yaitu Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Namun, sampai sekarang pengaruh hukum Belanda masih mendominasi dalam sistem perundang-undangan nasional. Contoh yang paling konkrit adalah di dalam bidang hukum privat, Indonesia masih menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Tetapi dalam rangka pembentukan hukum nasional, beberapa ketentuan di dalam KUHPerdata sudah tidak berlaku, seperti dalam bidang hukum kebendaan yang sudah diatur dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria serta hukum perorangan dan kekeluargaan yang telah diatur dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Salah satu bagian yang diatur didalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah tentang harta benda perkawinan. Menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974 macam-macam harta perkawinan dibagi menjadi:

  * Harta pribadi, yaitu harta bawaan dari masing-masing suami isteri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan.
  * Harta bersama (syirkah), yaitu harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri maupun bersama suami isteri selama ikatan perkawinan berlangsung tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun.

Status Harta Perkawinanpun menjadi berbeda ketika adanya suatu ikatan maupun tidak adanya ikatan dengan tali perkawinan, oleh karena itu, status harta perkawinan dibagi menjadi 2, yaitu::

  * Pada dasarnya tidak ada percampuran harta pribadi masing-masing karena perkawinan.
  * Suami dan isteri berhak dan berkuasa penuh untuk melakukan perbuatan hukum atas harta pribadi masing-masing, kecuali para pihak menentkan lain dalam perjanjian perkawinan.

Adapun tanggung jawab suami isteri terhadap harta perkawinan:

  * Suami bertanggung jawab menjaga harta bersama, harta istri dan hartanya sendiri.
  * Istri turut bertanggung jawab menjaga harta bersama maupun harta suaminya yang ada padanya.
  * Suami isteri tanpa persetujuan pihak lain tidak diperbolehkan menjual atau memindahkan harta bersama.
  * Apabila ada hutang suami atau isteri, maka dibebankan pada hartanya masing-masing. Hutang keluarga dibebankan pada harta bersama, jika tidak mencukupi dibebankan pada harta suami, selanjutnya baru dibebankan pada harta isteri apabila masih belum mencukupi.

Status harta bersama dalam perkawinan poligami:

  * Masing-masing isteri memiliki harta bersama secara terpisah dan sendiri-sendiri.
  * Pemilikan harta bersamanya dihitung pada saat berlangsungnya akad nikah yang kedua, ketiga atau yang keempat.

Pembagian harta bersama:

  * Jika terjadi cerai mati maka separuh dari harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama.
  * Janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak atas setengah dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.

Sedangkan pengaturan di dalam KUHPerdata menyatakan bahwa semua harta bawaan yang berasal dari bawaan suami maupun harta bawaan isteri dengan sendirinya menjadi satu kekayaan bersama yang menjadi milik bersama dari suami isteri tersebut, kecuali diadakan perjanjian perkawinan sebelum perkawinan dilangsungkan.

Perbedaan pengertian harta perkawinan menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan pengertian harta perkawinan menurut KUHPerdata inilah yang membuat terjadinya pertentangan dalam kasus yang akan dibahas dalam makalah ini.

B. Pokok Permasalahan

Dari uraian

  1. Bagaimana status tanah berikut rumah dan perusahaan cat milik Agustono Setiobudi dalam perkawinan menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974?
  2. Apakah putusan Majelis Hakim Pada Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung sudah tepat?

BAB II

KASUS POSISI

Agustono Setiobudi dan Yanti Harumina Tanudjaja melangsungkan perkawinan pada tahun berlakunya Undang-undang No.1 Tahun 1974. Pada awal perkawinan, Agustono telah berjanji secara lisan kepada Yanti untuk memberikan sebagian harta yang telah dimiliki Agustono sebelum perkawinan jika terjadi sesuatu pada perkawinan mereka. Harta tersebut berupa sebidang tanah berikut rumah yang terletak di Jalan Mayjen Panjaitan dan sebuah perusahaan pabrik cat ”Telaga Mas” berikut alat-alat perlengkapannya. Harta tersebut merupakan harta bawaan yang diperoleh Agustono dari perkawinannya dengan isteri terdahulu yang telah meninggal dunia.

Pada suatu ketika, Agustono tanpa sepengetahuan Yanti menjual harta tersebut kepada Gunawan Setyo Pranoto. Harta itu dijual untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya dengan Yanti. Ternyata perkawinan Agustono dan Yanti tidak berlangsung lama, mereka bercerai dan Yanti menuntut haknya. Disinilah permasalahan mulai timbul. Yanti yang berstatus sebagai mantan isteri Agustono merasa berhak atas rumah dan perusahaan cat ”Telaga Mas” tersebut karena Agustono telah menjanjikan hal tersebut kepada Yanti sebelum perkawinan. Sedangkan Gunawan juga merasa berhak atas rumah dan perusahaan cat ”Telaga Mas” tersebut karena ia telah membelinya secara sah dari Agustono.

Pada awalnya, Mahkamah Agung menyatakan barang yang dipersengketakan adalah harta bersama Agustono dan Yanti yang diperoleh saat pernikahan mereka, meskipun pada kenyataannya harta tersebut sudah dimiliki Agustono sebelum menikah dengan Yanti. Mahkamah Agung mengeluarkan putusan No. 287 K/ SIP/ 1982 Tanggal 30 Oktober 1985 untuk melakukan sita eksekusi atas sebidang tanah berikut rumah dan perusahaan cat ”Telaga Mas” tersebut. Gunawan sebagai pihak ketiga yang telah membeli rumah dan perusahaan itu merasa dirugikan, lalu ia mengajukan gugatan perlawanan ke Pengadilan Negeri Surabaya. Pengadilan Negeri Surabaya mengeluarkan putusan No.30/PLW/1986/PN SBY Tanggal 29 September 1986 yang menyatakan pembatalan sita eksekusi terhadap harta yang dipersengketakan. Yanti kemudian mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi, kemudian Pengadilan Tinggi Surabaya mengeluarkan putusan No. 283/PDT/1988/PT SBY Tanggal 19 Desember 1988 yang membatalkan putusan Pengadilan Negeri Surabaya dan mengadili sendiri perkara tersebut.

BAB III

ANALISA KASUS

A. Analisa Putusan Pengadilan Tinggi

Peristiwa hukum perceraian antara Agustono dan Yanti terjadi saat Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 berlaku. Jadi dapat diasumsikan bahwa Putusan Pengadilan Tinggi Surabaya No.283/PDT/1988/PT SBY Tanggal 19 Desember 1988 tersebut seharusnya diputuskan dengan mempertimbangkan hal-hal yang diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, khususnya mengenai harta bersama.

Berdasarkan Pasal 35 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, ditentukan bahwa:

(1). Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.

(2). Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.

Dari pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 di dalam suatu keluarga mungkin terdapat lebih dari satu kelompok harta.

Hal ini berbeda dengan sistem yang dianut di dalam KUHPerdata. Berdasarkan Pasal 119 KUHPerdata maka setelah perkawinan berlangsung terjadi harta percampuran bulat antara harta kekayaan suami dan isteri, kecuali telah diadakan perjanjian kawin sebelumnya yang mengatur mengenai masalah pemisahan harta. Dari pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa menurut KUHPerdata di dalam suatu keluarga hanya ada satu kelompok harta, yaitu harta persatuan suami isteri.

Pengadilan Tinggi Surabaya membuat putusan yang berbeda dengan putusan yang dibuat oleh Pengadilan Negeri. Putusan Pengadilan Tinggi Surabaya yaitu:

§ Menyatakan bahwa perlawanan terhadap sita eksekutorial yang diajukan Gunawan Setyo Pranoto tidak beralasan.

§ Menyatakan Gunawan Setyo Pranoto adalah Pelawan Terbanding yang tidak benar.

§ Mempertahankan sita eksekutorial tersebut.

§ Menghukum pelawan terbanding tersebut diatas untuk membayar biaya perkara, baik dalam pengadilan tingkat pertama maupun dalam tingkat banding, yang dalam tingkat banding ini ditetapkan Rp 10.000 (sepuluh ribu rupiah).

Berdasarkan analisa penulis, terdapat dua kemungkinan yang terjadi dalam pertimbangan Putusan Pengadilan Tinggi Surabaya No. 283/PDT/1988/PT SBY Tanggal 19 Desember 1988 tersebut. Kemungkinan pertama, hakim tidak menelaah lebih jauh mengenai rumah dan perusahaan tersebut, apakah benar harta itu diperoleh selama perkawinan Agustono dan Yanti atau diperoleh sebelum pernikahan mereka. Jika harta tersebut diperoleh selama pernikahan, maka benar harta tersebut adalah harta bersama Agustono dan Yanti. Namun jika secara formil dapat dibuktikan bahwa harta tersebut diperoleh sebelum terjadi perkawinan, maka harta tersebut adalah harta bawaan Agustono. Kemungkinan kedua, Agustono tidak punya cukup bukti untuk meyakinkan hakim bahwa rumah dan perusahaan tersebut telah dimilikinya sebelum menikah dengan Yanti, sehingga hakim Mahkamah Agung pada putusan gugatan perceraian awal memutuskan rumah dan perusahaan tersebut adalah harta bersama.

Dalam putusannya hakim pengadilan tinggi yang memeriksa permohonan banding Yanti menilai bahwa rumah dan perusahaan yang dipersengketakan adalah harta bersama Agustono dan Yanti, sehingga Yanti juga memiliki hak atas harta tersebut. Selanjutnya dengan memakai dasar hukum Pasal 1340 KUHPerdata, Pengadilan Tinggi Surabaya menganggap Yanti sebagai pihak ketiga yang dirugikan atas perjanjian jual beli antara Agustono dan Gunawan. Maka demi hukum, hak-hak dari Yanti tetap harus dipertahankan atas harta yang dipersengketakan.

Akibatnya, akta perjanjian yang dibuat oleh Agustono Setiobudi dan Gunawan Setyo Pranoto yang menjadikan harta yang dipersengketakan tersebut berada dalam status sita jaminan dinyatakan tidak sah dan batal demi hukum karena dibuat tanpa sepengetahuan Yanti. Hal ini didasarkan pada Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yang menyatakan bahwa ”mengenai harta bersama suami atau istri dapat bertindak atas perjanjian kedua belah pihak.” Hakim menilai tidak dilibatkannya Yanti dalam perjanjian merupakan sebab yang terlarang sebagaimana diatur dalam Pasal 1335 KUHPerdata.Sehingga akta tersebut harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum.

Dari putusan yang dikeluarkan oleh pengadilan tinggi tersebut, ada beberapa hal yang harus diperhatikan, antara lain:

§ Bagaimana pertimbangan dan dasar dari Pengadilan Tinggi Surabaya sehingga dapat menyatakan bahwa harta yang menjadi sengketa tersebut adalah harta bersama?

§ Mengapa Pengadilan Tinggi Surabaya dapat mengatakan bahwa Yanti adalah pihak ketiga yang dirugikan atas sebuah perjanjian yang dibuat antara Agustono Setyobudi dengan Gunawan Setyo Pranoto? Padahal masih belum jelas apakah Yanti adalah pihak ketiga yang berhak atas harta sengketa yang dimaksud dan ia telah dirugikan.

Dari putusan yang dikeluarkan oleh pengadilan tinggi tersebut, maka ada beberapa hal yang harus dikoreksi, antara lain:

§ Mengenai pendapat Pengadilan Tinggi Surabaya yang telah menyatakan bahwa harta yang dipersengketakan adalah harta bersama. Padahal harta yang dimaksud itu diperoleh Agustono sebelum menikah dengan Yanti, sehingga harta tersebut tidak dapat dinyatakan sebagai harta bersama, melainkan harta bawaan. Dalam Pasal 35 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 dinyatakan dengan jelas bahwa harta bersama adalah harta benda yang diperoleh selama perkawinan. Atas dasar itulah maka Agustono berhak sepenuhnya untuk berbuat apapun atas harta yang dipersoalkan itu, karena itu memang sepenuhnya harta Agustono.

§ Karena harta tersebut adalah sepenuhnya milik dari Agustono, maka perjanjian jual beli yang telah dilakukan adalah sebuah perjanjian yang sah dan memiliki kekuatan hukum, bukan seperti pendapat yang dikemukakan oleh pengadilan tinggi yang menyatakan bahwa perjanjian yang diperbuat adalah sebuah perjanjian yang dapat batal demi hukum.

§ Pengadilan Tinggi Surabaya menyatakan bahwa Yanti juga memiliki hak atas harta yang dipersengketakan, padahal diketahui bahwa sewaktu pernikahannya dengan Agustono, Yanti tidak membawa harta apapun. Oleh karena itu tidak ada harta bawaan yang menjadi haknya, termasuk harta yang menjadi objek sengketa ini. Maka tidak ada hak apapun dari Yanti atas harta ini.

§ Seharusnya Pengadilan Tinggi Surabaya dengan pertimbangan-pertimbangan diatas menyatakan bahwa pihak Agustono adalah pelawan yang benar, bukan sebaliknya malah menyatakan bahwa pihak Agustono adalah pelawan yang tidak benar.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Ada beberapa kesimpulan yang bisa diambil dari kasus diatas, yakni:

a. Menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974, macam-macam harta perkawinan, yaitu:

§ Harta pribadi, adalah harta bawaan dari masing-masing suami isteri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan.

§ Harta bersama (syirkah), adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri maupun bersama suami istri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun.

b. Status harta perkawinan pada dasarnya tidak ada percampuran harta pribadi masing-masing karena perkawinan. Suami dan isteri berhak dan berkuasa penuh untuk melakukan perbuatan hukum atas harta pribadi masing-masing. Kecuali para pihak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan.

c. Tanggung jawab suami isteri terhadap harta perkawinan yaitu: Suami bertanggung jawab menjaga harta bersama, harta istri dan hartanya sendiri; Istri turut bertanggung jawab menjaga harta bersama maupun harta suaminya yang ada padanya; Suami isteri tanpa persetujuan pihak lain tidak diperbolehkan menjual atau memindahkan harta bersama; dan apabila ada hutang suami atau isteri, maka dibebankan pada hartanya masing-masing, hutang keluarga dibebankan pada harta bersama, jika tidak mencukupi dibebankan pada harta suami, selanjutnya baru dibebankan pada harta isteri apabila masih belum mencukupi.

d. Dari seluruh putusan yang dikeluarkan Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa yang menjadi inti permasalahan adalah apakah barang yang dipersengketakan tersebut termasuk harta bersama ataukah harta bawaan? Dalam kasus posisi diketahui bahwa harta tersebut merupakan harta bawaan Agustono, dimana ia memperolehnya sebelum melangsungkan perkawinan dengan Yanti. Agustono pun hanya berjanji secara lisan kepada Yanti akan membagi harta tersebut jika pada akhirnya perkawinan mereka bermasalah. Oleh karena Agustono hanya berjanji secara lisan saja, maka janji Agustono tersebut tidak termasuk dalam perjanjian perkawinan. Dimana berdasarkan Pasal 29 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974, suatu perjanjian perkawinan harus memenuhi syarat sebagai berikut:

§ Persetujuan suami isteri

§ Harus tertulis

§ Harus disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan

§ Isi perjanjian tersebut berlaku untuk pihak ketiga, apabila pihak ketiga tersangkut.

Sehingga jelaslah bahwa harta sengketa tersebut bukan harta bersama.

B. Saran

Saran yang penulis berikan atas adanya kasus sengketa harta perkawinan ini adalah: Diperlukan adanya ketentuan yang mewajibkan adanya pencatatan harta bawaan masing-masing pihak agar status harta bawaan tersebut jelas dan pasti. Karena ketentuan di dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 yang menentukan bahwa pemisahan secara otomatis (demi hukum) antara harta bawaan dengan harta bersama tanpa disertai dengan kewajiban untuk mengadakan pencatatan pada saat akan dilangsungkannya perkawinan atau sebelumnya dapat menimbulkan permasalahan dikemudian hari, terutama dalam segi pembuktian asal usul harta pada waktu pembagian harta saat perceraian.

1 komentar: