Kamis, 11 Maret 2010

BERLOMBA DENGAN AGRESIVITAS DAERAH UNDANG UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERBA.


Pengesahan empat RPP Minerba tertunda sampai awal 2010. Sektor lain sudah satu suara dengan ESDM. Daerah merasa dihalangi dalam optimalisasi potensi wilayahnya.

Bupati Kutai Timur, H Isran Noor sumringah. Permohonan uji materiilnya atas Surat Edaran (SE) Direktur Jenderal (Dirjen) Mineral, Batubara, dan Panas Bumi (Minerba Pabum) Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 03.E/31/DJB/2009, dimenangkan Mahkamah Agung (MA).

Dalam amar putusan tertanggal 9 Desember 2009, Majelis Hakim MA yang terdiri dari Prof DR H Ahmad Sukardja SH, H. Imam Soebechi SH, MH, dan Marina Sidabutar SH, MH, menyatakan SE Dirjen Minerba Pabum yang diterbitkan pada 30 Januari 2009 itu tidak sah dan tidak berlaku umum. SE itu dinilai bertentangan dengan Peraturan Pemerintah (PP) 32/1969, yang memberikan kewenangan bupati/walikota untuk menerbitkan KP.

MA menilai, SE tidak bisa membatalkan aturan yang diatur di PP. ”Apabila ketentuan di PP 32/1969 itu dicabut, seharusnya dalam bentuk PP, bukan dengan SE,” jelas Ketua Majelis Hakim MA, Ahmad Sukardja. MA pun memerintahkan Menteri ESDM membatalkan dan mencabut SE Dirjen Minerba Pabum tersebut. Menteri ESDM selaku termohon juga harus membayar biaya perkara sebesar Rp 1 juta.

Isran Noor mengaku bangga dengan kemenangannya itu. ”Tolong ditulis ya, sekarang semua kepala daerah berhak dan bisa menerbitkan izin pertambangan,” ujarnya beberapa saat setelah Putusan MA itu keluar. Kemenangan itu diperolehnya setelah mengajukan permohonan uji materiil pada 22 Juli 2009. Dia meminta MA membatalkan SE Dirjen Minerba Pabum yang dinilainya membuat stagnan pembangunan daerah itu.

Sekretaris Direktorat Jenderal (Sesditjen) Minerba Pabum Departemen ESDM, S Witoro Soelarno, mengaku tak pernah dimintai pendapat selama proses uji materiil tersebut. Diminta hadir maupun dikonfirmasi selaku termohon juga tidak. Tiba-tiba saja keluar putusan MA yang melakukan pembatalan. ”Tapi ya sudahlah, kita menghargai putusan itu,” tukasnya. Toh SE yang dibatalkan bukan sebuah keputusan, sehingga pencabutannya tidak berimplikasi hukum beda.

Tidak Serta Merta
Witoro menjelaskan, meski SE Dirjen Minerba Pabum itu dibatalkan MA, kepala daerah tidak bisa serta merta menerbitkan izin-izin baru pertambangan. Karena SE tersebut hanyalah pemberitahuan bahwa dengan adanya UU 4/2009, Gubernur dan Bupati/Walikota tidak diperkenankan dulu menerbitkan izin baru. Semangatnya agar tidak ada pemda yang ”kebablasan” menerbitkan izin baru karena belum memahami isi UU 4/2009.
Pelarangan penerbitan izin baru pertambangan sebenarnya didasarkan pada Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Minerba. Pasal 37 junto pasal 51 dan pasal 60 UU itu menyebutkan, penerbitan Izin Usaha Pertambangan (IUP) mineral logam dan batubara, hanya bisa dilakukan pada Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) dengan cara lelang.

Prosedur lelang sendiri baru akan ditetapkan dalam PP tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Minerba, yang bakal disahkan dalam waktu dekat. Pemda tidak diperkenankan membuat prosedur lelang sendiri, karena UU mengamanatkan pengaturannya harus lewat PP. ”Kalau belum ada PP, mana mungkin dilakukan lelang, apalagi penerbitan IUP?,” ujar Witoro kepada Majalah TAMBANG, Jumat, 8 Januari 2010.

Hal senada diungkapkan Direktur Pembinaan Pengusahaan Minerba, Bambang Gatot Ariyono. Menurutnya, saat ini kepala daerah hanya bisa menerbitkan izin baru untuk pertambangan mineral bukan logam dan batuan. ”Sesuai pasal 54 dan 57 UU 4/2009, penerbitan izin baru pertambangan mineral bukan logam dan batuan cukup dengan mekanisme permohonan wilayah. Tanpa lelang,” jelasnya kepada Majalah TAMBANG, Jumat, 8 Januari 2010.

Dia menambahkan, dalam hal ini pemerintah tidak berniat mempersulit pemda yang ingin memanfaatkan lahan tambang di wilayahnya. Kalau ada yang mau melakukan eksploitasi, asal izin eksplorasinya sudah ada maka dipersilahkan. “Untuk peningkatan status izin dan transfer tidak menjadi soal. Hanya untuk izin baru yang tidak boleh,” tandasnya.
Kalau pemda nekat menerbitkan izin baru sebelum PP keluar, maka ada sanksi yang menunggu. Pasal 165 UU 4/2009 menyebutkan, setiap orang yang menerbitkan izin pertambangan yang bertentangan dengan UU, diberi sanksi pidana paling lama dua tahun penjara dan denda paling banyak Rp 200 juta.

Masuk Injury Time
Terkait lelang untuk mendapatkan IUP, diakui Witoro sebagai prosedur baru yang diatur dalam UU 4/2009. Dalam UU Pertambangan yang lama No. 11/1967, untuk mendapatkan izin pertambangan cukup dengan permohonan. Dalam PP Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan akan diatur, pemberian IUP dimulai dari penawaran Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP).

Pemerintah bisa menawarkan wilayah pertambangan (WP) yang benar-benar baru, untuk mendapatkan IUP Eksplorasi. Atau penawaran WP yang sudah diketahui cadangannya, untuk mendapatkan IUP Eksploitasi. ”Kita tunggu lah PP-nya, mudah-mudahan dalam Januari ini sudah terbit,” jelas Witoro.

Dia yakin, kehadiran empat PP sebagai aturan pelaksana UU 4/2009 tentang Minerba, bakal memberikan kepastian hukum kepada dunia usaha. Mengingat selama ini telah terjadi banyak penyimpangan pengelolaan sumber daya minerba, bertopeng otonomi daerah (otoda). Tumpang tindih perizinan seolah sudah menjadi hal lazim di waktu yang lalu. Pengusaha juga banyak yang mengeluh, karena izinnya dicabut begitu saja oleh kepala daerah.

Sementara kalangan pengusaha tambang, menyatakan sudah tidak sabar menantikan empat PP Minerba yang baru. Pasalnya, mereka khawatir kepala-kepala daerah yang sangat agresif dalam mengeksploitasi sumber daya alamnya, lebih dulu menerbitkan peraturan daerah (perda). Seperti yang terungkap dalam Seminar ”Masa Depan KP dan Usaha Jasa Pertambangan Pasca Terbitnya UU Minerba”, yang digelar Majalah TAMBANG, Kamis, 14 Mei 2009 lalu, di Balikpapan.

Dalam seminar yang dihadiri Direktur Teknik dan Lingkungan Ditjen Minerba Pabum, Mangantar S Marpaung itu, seorang peserta dari Kalimantan mengaku khawatir PP Minerba bakal disalip (dadahului) oleh berbagai perda yang aneh. Hal yang sama diungkapkan peserta lain dari Sulawesi, Nusa Tenggara Barat, dan Maluku. Bahkan seorang pengusaha dari Penajam, Kalimantan Timur, mengaku sudah mendengar selentingan, pemda setempat akan mengeluarkan perda, untuk menafsirkan secara sepihak isi UU Minerba.

Alasan pemda sangat simpel, pemda butuh untuk segera melakukan pengaturan dan penerbitan izin baru, guna meningkatkan PAD (Pendapatan Asli Daerah). Selain itu, sudah banyak investor lokal maupun asing yang ingin mendapatkan IUP. ”Kalau sampai perda yang dikeluarkan bertentangan dengan PP, tentu kami pelaku usaha ini yang repot,” ujar seorang peserta lainnya. Pasalnya pengelolaan pertambangan oleh pemda selama ini banyak menimbulkan tumpang tindih perizinan. Juga ekonomi biaya tinggi akibat banyaknya pungutan yang didasarkan pada perda.

Pengesahan empat PP Minerba sendiri sudah memasuki masa injury time (perpanjangan waktu). Prediksi pengesahan regulasi yang disusun sejak Februari 2009 itu bakal molor dari rencana semula (Oktober 2009), tak dapat dihindari. Witoro mengatakan, pada Kamis, 7 Januari 2010 lalu, dua draft RPP dari empat yang direncanakan, sudah diantarkan dari Menteri ESDM ke Sekretariat Negara (Setneg). Yakni RPP Wilayah Pertambangan (WP) dan RPP Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Minerba.

”Yang dua lagi (RPP Pengawasan dan Pembinaan Pertambangan, serta RPP Reklamasi dan Pasca Tambang) sudah di Depkumham. Ya targetnya tanggal 15 Januari sudah di Setneg semua,” tambah Witoro. Pada Senin, 11 Januari 2010, Bambang Gatot kembali menjanjikan empat RPP tersebut akan disahkan pada akhir Januari 2010, seiring dengan berakhirnya masa 100 hari kerja Pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) ke-2.

Tak Kenal Libur
Baik Witoro maupun Bambang Gatot mengatakan jajarannya sudah bekerja siang – malam, bahkan tak mengenal hari libur. Maka ketika draft RPP Minerba sudah sampai di Setneg, mereka berharap tidak terlalu lama untuk kemudian disahkan. ”Setahu kami kalau sudah sampai di Setneg, yang dibutuhkan adalah harmonisasi dan paraf Menteri-menteri dari sektor terkait. Semoga bisa cepat,” ujarnya.
Sinkronisasi dan harmonisasi baik secara redaksional, maupun secara struktural dengan peraturan perundang-undangan lainnya, juga sudah dilakukan. Yakni saat draft tersebut sampai di Kementerian Hukum dan HAM, dengan melibatkan lintas sektoral. Witoro yang juga Koordinator Penyusunan RPP Minerba ini mengaku, menyusun bahasa hukum bukan hal yang mudah. Banyak redaksional pasal-pasal dan ayat yang sudah dianggap beres, ternyata perlu dibenahi agar tidak mudah ditafsirkan lain (multi interpretatif). ”Tapi substansinya tidak berubah, semua sudah pernah dibicarakan dengan stakaholders,” lanjutnya.

Menurutnya, memang ada sejumlah substansi yang sempat menimbulkan ”tarik ulur”. Misalnya soal pengawasan safety (kesehatan dan keselamatan kerja, red), sempat diusulkan untuk ditangani juga oleh Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Nakertrans). Tapi melalui bagus, akhirnya diserahkan kembali untuk ditangani Kementerian ESDM.

penjelasan dan diskusi berulang-ulang bahwa penanganan safety di pertambangan sudah cukup Dalam pembahasan ditampilkan pula data statistik sebagai penjelas. Misalnya angka kecelakaan kerja di pertambangan, sebanyak 42 kefatalan (meninggal dunia, red), termasuk 31 korban ledakan tambang batubara bawah tanah di Ombilin. Tambang rakyat di Ombilin memang jauh dari pengawasan Ditjen Minerba Pabum, karena penanganannya oleh pemda. Tapi untuk yang safety-nya ditangani Ditjen Minerba Pabum, angkanya cuma sebelas.

”Ini sudah tergolong bagus lah,” ujar Witoro. Karena angka kefatalan kecelakaan kerja di sektor industri yang lain, jauh lebih tinggi. Sementara data kecelakaan kerja secara keseluruhan di Indonesia, tahun lalu angkanya mencapai 5.000. Maka dari itu, safety di tambang diserahkan ke inspekstur tambang yang sudah terlatih dan komunikasinya cukup baik dengan pelaku industri.

Perdebatan lain yang sempat alot adalah tata ruang. Namun pihak Kementerian ESDM dalam rapat-rapat Interdep, berhasil memberikan penjelasan sehingga semua sektor satu visi. Dimana sumber daya alam adalah milik bangsa, bukan milik masing-masing sektor. Pemerintah wajib tahu kekayaan alam yang tersimpan di wilayahnya. Kalau memang eksploitasinya lebih banyak membawa dampak buruk ketimbang manfaat, maka sepakat tidak digali. Tapi kalau dari segi teknologi memungkinkan tanpa terlalu banyak merusak, mengapa tidak?

Hal lain yang krusiil dan sudah ditetapkan dalam draft RPP, soal penyesuaian luas lahan pertambangan. Bagi Kontrak Karya (KK), Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B), serta Kuasa Pertambangan (KP/menurut UU 4/2009 dikonversi menjadi IUP) yang tidak bisa menyerahkan rencana kerja sesuai luas lahan yang dikuasainya sekarang, harus mengembalikannya pada pemerintah. Selanjutnya, luas lahan disesuaikan dengan aturan UU 4/2009, atau sesuai dengan rencana kerja yang diajukan.

Hal ini, kata Witoro, tidak bertentangan Pasal Peralihan UU 4/2009 tentang penghormatan terhadap KK dan PKP2B sampai habis masa berlakunya. ”Kalau memang sanggup mengusahakan semua sesuai luas yang dikuasai sekarang, silahkan. Tapi kalau tidak mampu, ya jangan dipegangin terus,” jelasnya. Penghormatan itu tentunya dengan penyesuaian dengan UU baru, kecuali untuk hal-hal yang terkait dengan penerimaan negara (pajak dan royalti).

Witoro tak menampik, pengesahan empat RPP Minerba akan molor dari target UU 4/2009, yakni satu tahun. Namun apa boleh buat, semua pihak sudah bekerja keras. Menggunungnya persoalan membuat apa yang dikerjakan tidak bisa selesai sesuai target. Sejauh ini memang tidak ada sanksi bagi pemerintah atas keterlambatan itu. Namun jajaran Kementerian ESDM justru lebih risau terhadap situasi di lapangan.

Akibat belum lahirnya PP, kata Witoro, banyak kegiatan operasional yang terhenti atau tertunda. Kegelisahan daerah yang merasa terhambat tidak bisa menerbitkan izin baru, juga menjadi pertimbangan. Sehingga harus diakui, penerbitan PP Minerba tidak cuma berlomba dengan waktu. Lebih dari itu, harus adu cepat dengan agresivitas daerah dalam mengeksploitasi sumber daya alamnya.

Meski PP-nya molor, namun Menteri ESDM memilih lebih dulu menerbitkan Permen 34 Tahun 2009. Permen ini mengatur teknis pelaksanaan DMO (Domestic Market Obligation) mineral dan batubara. Awalnya Permen ini akan dimasukkan dalam PP Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Minerba. Namun karena dianggap mendesak terkait pasokan energi dalam negeri, akhirnya diterbitkan lebih dulu, tepat di penghujung tahun tanggal 31 Desember 2009.


Sumber : Abraham Lagaligo, abraham@majalahtambang.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar