Senin, 01 Maret 2010

Sandiwara di Ruang Kelas


Jujur, meskipun saya sudah mengajar beberapa tahun di perguruan tinggi, tapi saya tidak pernah bertanya pada mahasiswa, apakah ia puas dengan apa yang saya lakukan untuk “mendidik” mereka atau tidak. Saya tidak bertanya karena satu sisi saya pikir “apa perlu bertanya demikian?” Satu sisi yang lain saya sudah tahu jawabannya, pasti mereka akan mengatakan “tidak puas.’ Sebab siapa sih manusia yang pernah benar-benar puas? Tapi tiba-tiba saya berfikir untuk mencoba bertanya pada seorang teman, apakah ia pernah menanyakan kepada mahasiswanya tentang kepuasan. Ternyata jawabnya sama dengan saya. “tidak pernah.” Ia bahkan menambahkan, “tugas kita memberikan bahan dan materi pelajaran, menjelaskan, membuat mereka mengerti dan mengujinya di ujian. Persoalan apakah mereka puas atau tidak itu urusan mereka.” Apalagi, katanya, mahasiswanya malas-malas, nggak mau belajar, malas membaca dan lainnya.

Suatu hari yang lain, saya minum kopi bersama seorang mahasiswa yang saya kenal dengan baik. Saya coba tanyai dia, apakah ia merasa puas dengan dosen-dosen yang mengajarnya selama ia kuliah yang sudah delapan semester. Jawabnya: tidak! Tidak ada satupun dosen yang menjadikannya puas. Ada beberapa yang menurutnya bagus, namun tidak sampai pada puas. Kebetulan saya mengenal salah seorang dosen yang disebutkan hampir memberinya kepuasan tersebut. Beliau adalah dosen senior yang sebentar lagi mau pensiun. Saat dulu saya kuliah, saya juga pernah masuk di kelasnya. Saat itu beliau mengajar Filsafat Umum. Saya ingat sepanjang kuliah beliau menceritakan kisah lucu, pengalaman dia dan keluarganya sepanjang jam kuliah. Saya tidak yakin kalau itu adalah sebuah metode filsafat. Sebab sampai pertemuan berakhir saya sama sekali tidak tahu kalau saya sudah belajar filsafat. Atau mungkin itu memang cara mengajar filsafat? Entahlah.

Pengalam di atas membawa saya pada sebuah kesadaran bahwa pendidikan yang berlangsung di kampus saya selama ini tidak saling memuaskan. Saya sebagai seorang pengajar merasa tidak puas dengan kondisi mahasiswa. Saya merasa mahasiswa malas, bodoh, tidak mau membaca dan membuat tugas. Di sisi lain, pada saat yang sama, mahasiswa juga merasa tidak puas dengan apa yang saya lakukan kepada mereka. Apa yang saya berikan ternyata bukan apa yang mereka harapkan, setidaknya tidak memuaskan mereka. Materi kuliah yang saya pilih, meskipun terkadang besama dengan mereka, tidak membuat mereka menikmatinya. Kalau ini benar, maka dalam kelas sepanjang semester semuanya adalah sebuah sandiwara. Kami tertawa karena dalam “skenario” ada sebuah momen di mana kami harus tertawa. Kami merasa semangat karena kami memang didesain untk bersemangat. Semua kami lakukan karena sebuah skenario tidak tertulis yang kami pahami bersama.

Lalu, kalau kami tidak saling memuaskan, apa manfaat dari interaksi yang kami sebut pendidikan selama ini? Apa yang akan kami dapatkan? Apa yang menguntungkan kami? Lagi-lagi, entahlah.

Saya menduga-duga, pasti di luar kampus saya, di luar daerah saya, di luar departemen saya, di luar tingkatan pendidikan yang saya alami saat ini, ada kemungkinan “sandiwara” pendidikan ini berlangsung. Sebuah interaksi yang berlangsung di kelas adalah interaksi semu yang dipaksanakan karena formalisasi pendidikan yang kita akui benar. Padahal di belakangnya hanyalah kamuflase dan tipuan-tipuan metodologi yang dianggap ilmiah. Sementara di kelas, setiap hari berlangsung sebuah sandiwara yang terkadang sangat sulit menjadi media untuk mendewasakan manusia. Ali-alih menjadikan mahasiswa lebih terdidik, lebih dewasa, lebih bijaksana, kita malah memberikan mereka teror mental yang menjadikan mahasiswa memandang dirinya sebagai orang yang bersalah. Kalau ini yang terjadi –mudah-mudahan saya salah- maka wajar saja kalau mahasiswa menjadi alat yang dimanfaatkan untuk kepentingan politik sesaat. Atau lumrah saja kalau mereka lulus justru menambah masalah, bukan menjadi bagian dari solusi.

Entahlah, mungkin suatu saat semua bisa berubah. Mungkin, langkah awal, saya bisa berusaha untuk diri sendiri saja. Selanjutnya, Wallahu’a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar