Kamis, 18 November 2010

TENTANG ORANG DAN KELUARGA Bag II


CATATAN KULIAH BAGIAN 2

Daftar Isi :
1.Hak dan kewajiban Suami-Isteri
2.Hukum harta-benda perkawinan (huwelijksgoederenrecht) (pasal 119 dst. BW)

Bagian delapan
(Hak dan kewajiban suami-isteri)

Tentang hak dan kewajiban suami dan isteri, BW mengaturnya dalam pasal-pasal 103 s/d 118. Walaupun pasal 103 BW berbunyi:
"Suami dan isteri, mereka harus saling setia, tolong-menolong dan bantu membantu
sedangkan pasal 33 UUP berbunyi:
"Suami isteri wajib saling mencintai, hormat-menghormati, setia dan memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain";

dengan lain perkataan nadanya hampir sama, akan tetapi menurut bunyi pasal-pasal lainnya dari .kedua undang-undang itu, apa yang diatur dalam UUP mengenai hal ini jauh berbeda dengan aturan yang terdapat dalam BW, yaitu kekuasaan dan atau wewenang yang diberikan kepada suami menurut BW sangat atau terlalu atau jauh lebih benar (baca pasal-pasal 105, 106, 108, 110, misalnya), jika dibandingkan dengan yang diatur dalam UUP, di mana hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat dan walaupun suami merupakan kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga, masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum (pasal 31 UUP).

Kewajiban pokok/utama
Menurut BW ada dua kewajiban pokok/utama suami-isteri tentang perikatan perdata (burgerlijke verbintenis) dalam perkawinan, yaitu:
a. antara mereka yang satu terhadap lainnya harus setia, saling menolong dan saling membantu (pasal 103); dan
b. bahwa mereka harus memelihara dan mendidik semua anak mereka (pasal 104).
Selama perkawinan itu berlangsung mereka boleh:
— menuntut perpisahan meja dan ranjang (scheiding van tafel en bed) (ex pasal 233);
— meminta pengampuan (curatele) yang satu untuk yang lainnya, yaitu suami meminta pengampuan untuk isteri-nya dan isteri untuk suaminya (pasal 434 ayat 3). Persamaan hak/wewenang antara mereka, antara lain:
tentang perwalian, yaitu jika salah seorang di antara mereka meninggal dunia, maka perwalian terhadap anak-anak sah yang belum cukup umur, demi hukum dipangku oleh salah seorang di antara mereka yang masih hidup, apabila yang hidup terlama itu tidak telah dibebaskan atau dipecat dari kekuasaan-orangtua (pasal 345);
suami-isteri saling mewaris, yaitu jika suami meninggal dunia salah seorang ahliwarisnya (bila terdapat lebih dari seorang ahliwaris) adalah isterinya, bila ia hanya -meninggalkan isterinya saja, maka isterinya itu merupakan satusatunya ahliwaris; hal demikian berlaku sebaliknya (pasal 852a; mereka pun boleh saling mewaris dengan surat wasiat (pasal 895 dst.);
        pada keterangan dugaan kematian antara suami-isteri, isteri atau suami yang hadir (aanwezige) boleh meneruskan harta campur/persatuan (huwelijksgemeenschap) suami-isteri itu (pasal 483).
Hal-hal yang tidak boleh dilakukan oleh/antara suami-isteri, antara lain:
        antara suami-isteri tidak boleh mengadakan perjanjian jual-beli atau hibahan (ex pasal-pasal 1467 dan 1678), dengan kekecualian-kekecualian sebagaimana disebut dalam pasal-pasal itu;
        dalam perkawinan kedua dst., bila terdapat anak (anak) yang lahir dari perkawinan dahulu (voorkinderen), suami atau isteri baru itu tidak boleh menikmati manfaat yang lebih besar daripada jumlah bagian terkeeil dari salah seorang voorkinderen itu, dengan batas maksimum seperempat dari harta kekayaan isteri atau suami yang kawin untuk kedua kalinya itu (pasal-pasal 181, 852a dan 902); baik suami maupun isteri tidak boleh menghibahwasiatkan (beschikken) barang-barang dari harta campur (persatuan) mereka, sekedar barang-barang itu menjadi bagian mereka masing-masing dalam persatuan itu (pasal 903).


Perbedaan hak/wewenang
Perbedaan hak/wewenang antara suami-isteri menurut BW,


dapat kita kelompokkan dalam tiga hal, yaitu mengenai pribadi (persoon) mereka, mengenai harta -benda/ ke kayaan mereka dan mengenai anak-anak mereka.

1. Mengenai pribadi (persoon), antara lain dan terutama sebagai berikut:

(1) Suami merupakan kepala dalam persatuan (echtvereniging) (pasal 105).

(2) Suamilah yang melindungi isterinya (pasal 107); dalam perkara perceraian, isteri yang berhak menuntut tunjangan nafkah (pasal 213), kecuali dalam ketentuan pasal 225.

(3) Isteri harus tunduk dan patuh kepada suaminya, tinggal serumah dengan suaminya (berdomisili yang sama) dan mengikuti suami yang dianggapnya perlu/berguna (pasal 106).

(4) Suami boleh segera kawin lagi setelah putusnya perkawinan, isteri harus menunggu selama 300 hari semenjak perkawinan terakhir putus/bubar (pasal 34).

(5) Suami tak perlu mendapat suatu izin dari isterinya untuk melakukan suatu usaha, sedangkan isteri hanya dengan izin yang tegas atau secara diam-diam dari suaminya (pasal 113).

(6) Kuasa yang diberikan kepada seorang wanita berakhir dengan perkawinan wanita itu (pasal 1813). Hal demikian tidak berlaku untuk suami.

(7) Wanita bersuami tidak diperbolehkan menjadi pelaksana wasiat (testamentaire executrice) (pasal 1006). Pria/suami boleh.

(8) Tanpa bantuan dalam akta, atau dengan izin tertulis d4ri suaminya, isteri tidak boleh melakukan pengikatan atau mengadakan sesuatu perjanjian yang bersifat peralihan/ pelepasan hak atau memperolehnya, baik dengan cumacuma maupun atas beban (bezwarende titel) (pasal 108). Baca pula pasal-pasal 109 tentang belanja rumah tangga biasa dan sehari-hari, 113 tsb., 114 tentang izin Hakim dalam keadaan suami tak-hadir, 1684 tentang hibahan kepada wanita bersuami.

(9) Wanita bersuami tidak boleh menghadap di muka Hakim tanpa bantuan suaminya (pasal 110), dengan hak isteri meminta kepada Pengadilan Negeri tempat tinggal mereka bersama, supaya dikuasakan untuk itu (pasal 112).

Catatan:
Bandingkan dengan UU No. 1/1974 Bab VI (ps. 30 s/d 34) tentang Hak dan kewajiban suami isteri).


2. Mengenai harta-benda/kekayaan, antara lain dan terutama sebagai berikut-:

(1) Suami sendiri yang harus mengurus harta, baik kekayaan bersama/persatuan maupun milik pribadi isterinya (pasal 124 dan 105 ayat 3). Ia bertanggung jawab atas segala kealpaan dalam pengurusan itu (pasal 105 ayat 4).

(2) Dalam perjanjian kawin dapat dijanjikan bahwa isteri akan mengatur sendiri urusan harta/kekayaan milik pribadinya, baik harta gerak maupun tak-gerak, dan juga akan menikmati sendiri dengan betas semua pendapatannya pribadi (pasal 140 ayat 2).

(3) Suami boleh menjual, memindahtangankan (vervreemden) dan membebani (bezwaren) harta campur/persatuan suami isteri, namun tanpa persetujuan isteri, suami tak boleh mengalihkan atau melepaskan hak atas harta tetap (tak-gerak) milik isteri dan harta lainnya sebagaimana diperinci dalam pasal 140 ayat 3 jo. pasal 105 ayat 5).
(4) Isteri mempunyai hak utama untuk mengajukan tuntutan kepada Hakim guns mengadakan pemisahan harta-bends/ kekayaan (scheiding van goederen), jika suami memboroskan atau jelek dalam pengurusan harta bersama mereka (pasal 186).

(5) Isteri berhak untuk melepaskan haknya atas harta campur (persatuan/bersama) suami-isteri (pasal 132). Suami tidak.

(6) Isteri berhak membuktikan adanya dan harganya barang-barang bergerak yang jatuh padanya sepanjang perkawinan dalam hal tak adanya surat pertelaan, dengan saksi-saksi atau pengetahuan umum (algemene bekendheid) (pasal 166 ayat 3). Suami tidak.

(7) Tanpa bantuan suaminya atau kuasa Hakim, isteri boleh melaksanakan pembu kuan /pen daftaran (inschrijving) hipotik yang dalam perjanjian kawin kepadanya telah dijanjikan (pasal 1171 ayat 4).

(8) Tanpa izin suaminya, isteri berhak membuat surat wasiat atau menikmati keuntungan dari suatu surat wasiat (pasal 896 dan 118).


Catatan:
Bandingkan dengan Bab VII (ps 35 s/d 37) tentang Harta benda dalam Perkawinan.

3. Mengenai anak-anak, antara lain dan terutama sebagai berikut:

(1) Tiap-tiap anak, tanpa dibedakan umur, wajib menghormati dan menyegani ayah dan ibu mereka (orang-tua), sebaliknya orangtua wajib memelihara dan mendidik sekalian anak mereka yang belum dewasa (belum cukup umur) (pasal 298 dan 301).

(2) Sepanjang perkawinan ayah dan ibu, anak-anak yang belum dewasa bernaung di bawah kekuasaan mereka (ouderlijke macht), kecuali jika ayah dan ibu itu dibebaskan atau dipecat dari kekuasaan itu (pasal 299). Yang melakukan kekuasaan tersebut ayah sendiri, dengan kekecualian yang disebut dalam pasal 300.

(3) Bagi anak-anak yang belum dewasa, untuk mengikat diri dalam perkawinan diperlukan izin dari kedua orangtua mereka (pasal 35 dst.).

(4) Anak-anak yang berkelakuan jelek dan tidak memuaskan ayah atau ibu — atas permintaan mereka atau Dewan Perwalian — dengan perintah Pengadilan Negeri dapat ditampung dalam sebuah Lembaga Negara atau Swasta yang ditunjuk oleh Menteri Kehakiman (dahulu Directeur van Justitie) (pasal 302, 303 dan 304).

(5) Anak-anak luar kawin yang dengan sah telah diakui (natuurlijke erkende kinderen) tidak bernaung di bawah kekuasaan orangtua, melainkan semata-mata di bawah perwalian (pasal 306).

Catatan:
Bandingkan dengan UU No. 1/1974 Bab IX (ps 42 s/d 44) tentang Kedudukan Anak.

Bagian sembilan
Hukum harta-benda perkawinan
(huwelijksgoederenrecht)
(pasal 119 dst. BW)

I. Harta-campur menurut undang-undang (wettelijke gemeenschap van goederen)

a. Terjadinya dan pengurusan harta-campur
Terjadinya harta-campur (persatuan/persekutuan) lengkap/ bulat (algehele gemeenschap van goederen) demi hukum .mulai berlaku sejak saat dilangsungkannya perkawinan antara suami-isteri, apabila/sekedar mengenai hal itu mereka tidak mengadakan ketentuan lain dengan perjanjian kawin (huwelijksvoorwaarden) (119 alines 1 BW).

Sepanjang perkawinan gabungan harta (gemeenschap) itu tidak boleh ditiadakan atau diubah dengan suatu persetujuan/perjanjian (overeenkomst) antara suami dan isteri. Tujuan ketentuan ini ialah demi kepentingan mereka yang berpiutang (para kreditur) ybs.
— Sehubungan dengan larangan perubahan ini perlu dibaca pula pasal-pasal 1467 dan 1678 BW, berturut-turut tentang larangan jual-beli dan hibahan antara suami-isteri dengan kekecualiannya.

Gabungan percampuran harta itu terdiri dari:
a. Sebagai labanya:
(1) Semua harta-benda suami dan isteri, baik yang gerak maupun yang tak-gerak, baik yang ads sekarang maupun yang akan mereka peroleh kelak, juga bila perolehan mereka itu secara cuma-cuma. Mengenai hal terakhir ini pewaris atau penghibah dengan tegas dapat menentukan lain (120 BW), dan
(2) Semua hasil (vruchten), pendapatan (inkomsten) dan untung (winst) yang diperoleh sepanjang perkawinan (122 BW).

b. Sebagai beban (lasten)-nya:
(1) meliputi semua utang suami-isteri masing-masing, baik yang dibuat/terjadi sebelum maupun sepanjang perkawinan (121 BW) dan

(2) semua rugi (verlies) sepanjang perkawinan (122 BW).


Hak-hak yang sangat pribadi (hoogstpersoonlijke rechten) tidak masuk percampuran. Hak-hak ini tetap merupakan hak pribadi dari suami atau isteri ybs ("melekat"), kecuali nilai (waarde)-nya. Hak-hak itu antara lain hak-hak atas:

gaji, pensiun, alimentasi, pakai dan mendiami (gebruik en bewoning) ex pasal 818 BW, hak orang tua atas nikmat-hasil (ouderlijk vruchtgenot) dan (biasanya) keanggotaan dari suatu perkumpulan atau maatschap.

Setelah pecah/bubarnya percampuran itu, maka:
— Semua pendapatan dan keuntungan atau kerugian dan pengeluaran menjadi keuntungan atau kerugian dari dia yang mengadakannya. Sebagai contoh baca pasal 123 dan 1100 BW.
— Mengenai pertanggungan jawab untuk utang bersama antara suami-isteri dapat dimaklumi dari bunyi pasal-pasal 113, 130 dan 131 BW yang menyangkut kewajiban dan pertanggungan jawab ("contribution" dan "obligation").

Tentang hak (wewenang) suami-isteri atas/terhadap percampuran itu adalah sebagai berikut:

Suami sendiri berhak untuk melakukan pengurusan (beheren) atas semua harta campur itu, iapun diperbolehkan untuk men-jual atau secara apapun mengalihkan/melepaskan hak (beschikken) atau membebaninya tanpa campur tangan isteri (kekecualiannya ada menurut pasal 140 ayat 3), akan tetapi ia tidak boleh menghibahkan, baik barang tak-gerak ataupun barang gerak seluruhnya, sebagian tertentu atau sejumlah dari itu, kecuali untuk menyelenggarakan suatu kedudukan bagi anak-anak yang lahir dari perkawinan suami-isteri itu (pasal 124 dan baca pula pasal 1086 BW); pula suami itu tidak boleh menghibahkan suatu barang gerak tertentu dengan syarat (ketentuan) bahwa hak pakai-hasil (vruchtgebruik)-nya tetap ada padanya (pasal 124 ayat 4 BW).

Isteri hanya boleh mengikat atau mengalihkan/melepaskan hak (vervreemden) atas harta campur itu apabila:
(1) suami tidak ada di tempat/tak-hadir (afwezig),
atau
(2) suami karena sesuatu hal tidak mungkin (tak mampu) menyatakan kehendaknya dan pula tidak terdapat hal yang segera dan terpaksa harus dilakukan (onverwijlde noodzakelijkheid), itupun setelah mendapat kuasa dari Pengadilan Negeri (pasal 125 jo 114 BW).

b. Pecah/bubarnya percampuran harta
Hal-hal yang menyebabkan pecah/bubarnya harta-campur itu menurut pasal 126 BW, demi hukum (van rechtswege) karena:
(1) kematian,
(2) berlangsungnya suatu perkawinan atas izin Hakim, setelah adanya keadaan tak-hadir suami,
(3) perceraian,
(4) pisah meja dan ranjang (scheiding van tafel en bed) dan
(5) pisah harta-benda (scheiding van goederen).

Setelah percampuran harta itu pecah/bubar, maka isteri berhak dalam waktu satu bulan setelah pecahnya percampuran itu melepaskan (afstand doen) haknya atas percampuran itu, dengan ketentuan bahwa segala perjanjian yang bertentangan dengan hak isteri ini adalah batal (nietig) (pasal 132 dst. BW). Yang menjadi keharusan bagi duda atau janda setelah meninggalnya isteri atau suaminya, jika terdapat anak mereka yang masih di bawah umur (minderjarig), yaitu:

Dalam waktu tiga bulan setelah meninggalnya isteri atau suaminya itu ia (yang masih hidup/langstlevende), harus menyelenggarakan pendaftaran harta-campur (boedelbeschrijving) suami-isteri itu, dengan dihadiri oleh Balai Harta Peninggalan selaku wali-pengawas (toeziende voogdes).

Bila ia (duda/janda itu) tidak atau lalai untuk melakukannya, maka percampuran itu berjalan terus, akan tetapi atas kebahagiaan/keuntungan dan sekali-kali bukan atas kerugian anak di bawah umur itu.

Sanksi ini berlaku pula apabila pendaftaran boedel itu dilakukan tetapi tanpa hadirnya wali-pengawas tersebut. Atas kebahagiaan/keuntungan tsb di atas bermakna, bahwa semua apa yang diperoleh duda atau janda itu sejak meninggalnya isteri atau suaminya itu sampai terselenggaranya pendaftaran harta peninggalan (boedel) itu, baik karena hibahan, pewarisan (erfenis), hibah wasiat (legaat), maupun untung atau dengan cara bagaimanapun mendapatkannya, dianggap merupakan harta-campur dan setengahnya jatuh (menjadi hak) anak di bawah umur itu. (pasal 127 BW).

Menurut ketentuan pasal 128 BW, setelah persatuan /percampuran itu pecah (bubar), maka harta-campur itu dibagi dua antara suami dan isteri atau ahliwaris mereka tanpa memperhatikan (memperdulikan) dari pihak mana harta itu berasal atau siapa yang memperolehnya, menurut cara yang ditetapkan dalam pasal-pasal 1066 dst. BW tentang pemisahan harta peninggalan.

Pertanggungan jawab (pihak) suami tentang utang setelah pecahnya percampuran tsb sebagai berikut:
        Suami/duda atau ahliwarisnya bertanggung jawab (aansprakelijk) atas pembayaran seluruh utang campuran, akan tetapi ia berhak untuk menuntut kembali separuhnya dari utang itu kepada isteri/janda atau ahliwarisnya (pasal 130 BW).
        Suami/duda atau ahliwarisnya menikmati bagian dari isteri/ janda, yang dilepaskan haknya oleh ahliwarisnya (pasal 135 BW), dengan pengecualian hak atas tumbuh bagian (aanwas) menurut pasal 1059 BW, akan tetapi sebaliknya suami/duda atau ahliwarisnya harus membayar utang dari bagian yang ditolak itu (pasal 135 ayat 2 BW).

Hak dan kewajiban (pihak) isteri akibat dari pecah/bubarnya percampuran harta itu ialah ia atau ahliwarisnya:

tidak boleh melepaskan hak atas percampuran itu, selain dari dalam waktu satu bulan setelah pecahnya percampuran itu menyampaikan akta pelepasan hak kepada Panitera Pengadilan Negeri tempat tinggal suami isteri bersama;
        karena pelepasan hak itu maka ia atau ahliwarisnya betas dari kewajiban dalam turut membayar utang percampuran (pasal 132 ayat 2 BW);
        namun tetap wajib membayar utang yang telah dibuatnya sendiri, sebagai pedagang (openbare koopvrouw) atau yang sudah ada sebelum dilangsungkannya perkawinan; akan tetapi ia atau ahli-warisnya berhak untuk menuntutnya kembali seluruhnya kepada suami/duda atau ahliwaris suami itu (pasal 132 ayat 3 BW).

Ahliwaris isteri berhak pula untuk melepaskan hak mereka atas percampuran /persatuan itu, bilamana (dalam hal) isteri/janda dalam tenggang waktu satu bulan setelah pecahnya percampuran itu meninggal dunia tanpa/sebelum pelepasan hak para ahliwarisnya dalam waktu sebulan setelah meninggalnya isteri/janda atau setelah mereka mengetahui hal kematian itu melepaskan hak atas atau menolak harta-campur itu menurut cara yang diatur seperti untuk isteri/janda (pasal 134 dan 138 BW).

Setelah terjadinya pelepasan hak atas harta-campur itu harta yang dapat dituntut oleh isteri/janda dari percampuran itu hanya selimut-seprei dan pakaian pribadinya (pasal 132 BW). Hal ini tidak berlaku bagi ahliwaris isteri/janda itu (pasal 134 ayat 2 BW). Apabila harta-campur antara suami dan isteri itu bubar/pecah, harta yang boleh diminta kembali oleh pihak asalnya semula ialah: pakaian, perhiasan dan perkakas yang termasuk dalam mats pencaharian, perpustakaan, himpunan barang kesenian dan keilmuan, surat atau tanda peringatan keturunan; itupun asalkan dengan pembayaran harganya menurut taksiran suami-isteri itu atau oleh ahli (pasal 129 BW).

Isteri/janda atau ahliwarisnya akan kehilangan haknya (mereka) untuk melepaskan persatuan:

1) bila ia (mereka) telah menarik harta-campur dalam perhatiannya, yaitu bila tingkah lakunya seperti pemilik bersama (mede - eigenares/eigenaren) (136 dan 1048 BW).

2) bila ia (mereka) telah menghilangkan atau menggelapkan sesuatu barang dari percampuran /persatuan (137 BW).

3) Karena lampaunya tenggang waktu satu bulan dalam waktu mana akta pelepasan hak itu harus disampaikan kepada Panitera Pengadilan Negeri menurut pasal 133 BW itu.

Catatan:
Bandingkan dengan UU No. 1/1974 Bab VIII (ps. 38 s/d 41) tentang Putusnya Perkawinan serta akibatnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar