skip to main |
skip to sidebar
PERJANJIAN STANDAR DAN KLAUSULA EKSONERASI DALAM HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN INDONESIA
Pasal 1313 KUH Perdata :
Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih
Pada dasarnya tujuan dibuatnya perjanjian standar untuk memberikan kemudahan atau kepraktisan bagi para pihak dalam melakukan transaksi. Oleh karena itu pesatnya perkembangan perjanjian standar tidak terbendung dalam era yang menuntut kepraktisan dalam melakukan transaksi. Beberapa ahli juga turut merumuskan apa itu perjanjian standar. Diantaranya :
· Hondius merumuskan : Perjanjian baku adalah konsep janji-janji tertulis, disusun tanpa membicarakan isinya dan lazimnya dituangkan ke dalam sejumlah tak terbatas perjanjian yang sifatnya tertentu.
· Mariam Darus Badrulzaman merumuskan : Perjanjian baku adalah perjanjian yang isinya dibakukan dan dituangkan dalam bentuk formulir.
· Sutan Remy Sjahdeni merumuskan : perjanjian standar sebagai perjanjian yang hampir seluruh klausul – klausulnya dibakukan oleh pemakainya dan pihak yang lain pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan.
Perjanjian baku yang banyak terdapat di masyarakat dapat dibedakan dalam beberapa jenis, antara lain :
· Perjanjian baku sepihak, adalah perjanjian yang isinya ditentukan oleh pihak yang kuat kedudukannya di dalam perjanjian itu. Pihak yang kuat di sini adalah pihak kreditur yang lazimnya mempunyai posisi ekonomi kuat dibandingkan pihak debitur, kedua pihak lazimnya terikat dalam organisasi, misalnya pada perjanjian buruh kolektif.
· Perjanjian baku yang ditetapkan oleh pemerintah, ialah perjanjian baku yang isinya ditentukan pemerintah terhadap perbuatan hukum tertentu, misalnya perjanjian yang mempunyai objek hak atas tanah.
· Perjanjian baku yang ditentukan di lingkungan notaries atau advokat. Adalah perjanjian yang konsepnya sejak semula disediakan. Untuk memenuhi permintaan anggota masyarakat yang meminta bantuan notaries atau advokat yang bersangkutan. Dalam perpustakaan Belanda jenis ini disebutkan contract model.
Sebenarnya, perjanjian standar tidak perlu dituangkan dalam bentuk formulir, walaupun memang lazim dibuat dalam bentuk tertulis. Seperti halnya pengumuman yang dibuat dan ditempelkan di tempat penjual melakukan usahanya.
Perjanjian standar adalah perjanjian yang ditetapkan secara sepihak yakni oleh produsen dimana mengandung ketentuan yang berlaku umum, sehingga pihak konsumen hanya memiliki dua pilihan: menyetujui atau menolaknya. Adanya unsur pilihan ini oleh sementara pihak dikatakan tidaklah melanggar asas kebebasan berkontrak sebagaimana tertulis dalam Pasal 1320 jo 1338 KUHPerdata. Artinya bahwa bagaimanapun pihak konsumen masih diberikan hak untuk menyetujui (take it) atau menolak (leave it) sehingga perjanjian standar ini juga dikenal dengan nama take it or leave it contract.
Pentingnya Pasal 1320 KUHPerdata disebabkan dalam pasal tersebut diatur mengenai syarat sahnya suatu perjanjian, yaitu:
1. adanya kata sepakat;
2. adanya kecakapan;
3. terdapat objek tertentu;
4. terdapat klausa yang halal.
Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang merupakan tiangnya hukum perdata berkaitan dengan penjabaran dari asas kebebasan berkontrak, yaitu:
1. bebas membuat jenis perjanjian apa pun;
2. bebas mengatur isinya;
3. bebas mengatur bentuknya.
Kesemuanya dengan persyaratan tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang, kesusilaan, dan ketertiban umum.
Jika ada yang perlu dikhawatirkan dengan kehadiran perjanjian standar, tidak lain karena dicantumkannya klausula eksonerasi (exemption clause) dalam perjanjian tersebut. Klausula eksonerasi adalah klausula yang mengandung kondisi membatasi, atau bahkan menghapus sama sekali tanggung jawab yang semestinya dibebankan kepada pihak produsen (penjual). Dari hal ini terlihat bahwa dengan adanya klausula eksonerasi menciptakan ketidakseimbangan posisi tawar menawar antara produsen dan konsumen.
Agar terciptanya keseimbangan dalam posisi tawar menawar, satu satunya cara adalah dengan membatasi pihak pelaku usaha dalam membuat klausula eksonerasi dengan adanya campur tangan pemerintah dalam pembatasan tersebut. Campur tangan pemerintah tampak dari Undang-undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
UU Perlindungan Konsumen tidak ada memberikan istilah mengenai klausula eksonerasi. Yang ada adalah “klausula baku” dalam Pasal 1 Angka (10) :
Klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen
Pasal 18 Ayat (1) UU Perlindungan Konsumen :
Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:
a. menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
b. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;
c. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;
d. menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;
e. mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;
f. memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;
g. menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;
h. menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.
Dalam penjelasan Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen menyebutkan tujuan dari larangan pencantuman klausula baku yaitu “Larangan ini dimaksudkan untuk menempatkan kedudukan konsumen setara dengan pelaku usaha berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak” sehingga diharapkan dengan adanya Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen akan memberdayakan konsumen dari kedudukan sebagai pihak yang lemah di dalam di dalam kontrak dengan pelaku usaha sehingga menyetarakan kedudukan pelaku usaha dengan konsumen.
Pasal 18 ayat 1 UU Perlindungan Konsumen membatasi pelaku usaha dalam pencantuman klausula baku yang mengarah kepada klausula eksonerasi. Artinya, klausula baku adalah klausula yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha, tetapi isinya tidak boleh mengarah pada klausula eksonerasi. Dimana butir pasal 18 ayat (1) butir a s.d h merupakan klausula eksenorasi dalam perjanjian standar antara produsen dan konsumen yaitu pembatasan dan penghapusan tanggung jawab dalam hal :
a. pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
b. penolakan penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;
c. penolakan penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;
d. pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;
e. pengaturan pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;
f. pengurangan manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;
g. penundukan konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;
h. pemberian kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.
Pasal 18 ayat (3) UU Perlindungan Konsumen :
Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum.
Pasal 18 ayat (3) UU Perlindungan Konsumen mengatur mengenai sifat dari batal demi hukumnya perjanjian standar antara produsen dan konsumen apabila dalam perjanjian standar tersebut tercantum mengenai klausula eksonerasi pada ayat (1) butir a s.d h. Sifat dari batalnya hukum perjanjian standar ini tidak berlangsung secara otomatis. Pasal 1266 jo 1267 KUHPerdata mengutarakan bahwa pembatalan suatu perjanjian melalui pengadilan dan memiliki kekuatan hukum dalam putusan hakim. Batal demi hukumnya suatu perjanjian merupakan pelanggaran terhadap pasal 1320 KUHPerdata dalam hal syarat objektif dari suatu perjanjian. Akibat dari batal demi hukum suatu perjanjian adalah pembatalan perjanjian secara deklaratif yang berarti pembatalan seluruh isi pasal perjanjian. Jadi ketika perjanjian standar memuat klausula eksenorasi, dan diajukan gugatan ke pengadilan, hakim memutuskan untuk membatalkan demi hukum perjanjian, maka perjanjian menjadi batal seluruhnya (bukan hanya klausula bakunya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar