Selama ini, perbedaan agama dipandang sebagai salah satu faktor yang menghambat seseorang mendapatkan waris dari orang tuanya. Tetapi pandangan itu tampaknya mulai ditinggalkan. Pengadilan telah membuat putusan progresif.
Masyarakat Indonesia yang majemuk berpengaruh pada pola pembentukan keluarga. Acapkali ditemukan dalam satu keluarga, sesama saudara kandung memeluk agama yang berbeda. Mereka hidup rukun tanpa terusik oleh perbedaan keyakinan itu.
Namun dalam praktik, kerukunan itu sering terganggu oleh masalah pembagian harta warisan. Perbedaan agama telah menjadi penghalang. Menurut ajaran Islam, salah satu hijab hak waris adalah perbedaan agama. Seorang anak yang menganut agama lain di luar agama orang tuanya yang Muslim dengan sendirinya terhalang untuk mendapatkan waris.
Kaedah itu pula yang dianut hakim Pengadilan Agama Jakarta saat mengadili sengketa waris dalam keluarga alm H. Sanusi – Hj. Suyatmi. Pasangan suami istri ini memiliki enam orang anak yakni Djoko Sampurno, Untung Legianto, Siti Aisjah, Sri Widyastuti, Bambang Setyabudhi dan Esti Nuri Purwanti.
Sebelum H. Sanusi- Hj. Suyatmi meninggal dunia, salah seorang anaknya, bernama Sri Widyastuti, pindah agama. Meskipun berkali-kali diminta untuk kembali, Sri tetap pada pilihannya memeluk agama Kristen. Persoalan waris muncul ketika orang tua mereka meninggal dunia. Almarhum memang meninggalkan harta yang tersebar di Jakarta, Bogor dan Purworejo.
Anak kelima, Bambang Setyabudhi mengajukan gugatan dan meminta Pengadilan Agama Jakarta menetapkan ahli waris yang sah. Kebetulan seluruh anak-–minus Sri Widyastuti—sepakat harta waris orang tuanya dibagi berdasarkan hukum Islam. Di mata penggugat, Sri tidak layak lagi mendapatkan hak waris karena telah berpindah agama. Sebaliknya, Sri menolak pembagian secara Islam. Ia juga menganggap Pengadilan Agama (PA) bukan forum yang tepat untuk mengadili perkara waris yang dipersengketakan oleh orang yang berbeda agama. Menurut Sri, Undang-Undang No. 7 Tahun 1989, PA adalah forum peradilan bagi mereka yang beragama Islam; bukan bagi orang yang beragama Kristen seperti dirinya.
Rupanya PA Jakarta berpendapat lain. Mengacu pada Pasal 1 dan 2 jo Pasal 49 Undang-Undang No. 7 Tahun 1989, personal keislaman ditentukan oleh pewaris. Dalam kasus ini, karena pewaris H. Sanusi-Hj Suyatmi beragama Islam, maka yang diterapkan dalam pembagian waris adalah hukum Islam. Konsekuensinya, Sri Widyastuti terhijab untuk mendapatkan harta waris dari orang tuanya.
Argumen itu dimentahkan Pengadilan Tinggi Agama (PTA) Jakarta dan Mahkamah Agung. Meskipun Sri Widyastuti tidak termasuk golongan ahli waris, ia tetap berhak atas harta warisan itu. Menariknya, majelis kasasi terdiri dari H. Taufiq, HM. Muhaimin dan H. Chabib Sjarbini, yang notabene adalah hakim-hakim agung kuat pemahaman keislamannya.
Menurut majelis kasasi, Sri Widyastuti berhak atas harta peninggalan kedua orang tuanya, baik harta peninggalan H. Sanusi maupun Hj. Suyatmi. Sri Widyatuti mendapatkan harta waris berdasarkan wasiat wajibah sebesar bagian anak perempuan ahli waris H. Sanusi dan Hj Suyatmi.
Pengadilan Tinggi Agama sebenarnya mengakui adanya hak Sri berdasarkan wasiat wajibah, tetapi jumlahnya hanya tiga perempat dari bagian seorang anak perempuan ahli waris. Mahkamah Agung mengubah jumlah harta yang bisa diperoleh Sri, dari tiga perempat menjadi sama dengan bagian yang diperoleh seorang ahli waris perempuan. Pertimbangan dan putusan MA yang mengakui hak anak yang berbeda agama atas waris terdapat dalam register perkara No. 368K/AG/1995. Putusan atas perkara ini baru dijatuhkan tiga tahun kemudian.
Catatan :
Wasiat dalam kewarisan hukum Islam merupakan suatu wadah untuk menampung hubungan antar generasi serta kedudukan masing-masing kaum krabat. Banyak pendapat tentang hukum dari wasiat ini. Antara lain, pendapat ulama Jumhur yaitu sunat hukumnya dan boleh untuk melakukan wasiat kepada siapa saja yang dikehendaki oleh si pemberi wasiat.
Pendapat ibn Hazm mengatakan wasiat itu hukumnya wajib terutama untuk kaum krabat yang terhalang untuk mendapatkan warisan. Berawal dari pemikiran ibn Hazm, maka muncul wasiat wajibah yaitu wasiat yang pelaksanaanya tidak dipengaruhi atau tidak tergantung kepada kemauan atau kehendak si pewasiat, akan tetapi penguasa atau hakim sebagai aparat negara mempunyai wewenang untuk memaksa atau memberikan putusan wasiat wajibah kepada kaum krabat tertentu. Hal itu telah dilakukan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam perkara No. 51.K/AG.1999. Wasiat wajibah yang diberikan Mahkamah Agung tersebut adalah untuk saudara kandung non muslim.
Padahal, wasiat wajibah dalam Kompilasi Hukum Islam dianalogikan kepada anak angkat dan orang tua angkat. Sedangkan perbedaan agama tetap merupakan salah satu penghalang untuk dapat saling mewarisi. Setelah diteliti dari data-data yang telah dikumpulkan, Mahkamah Agung memberikan wasiat wajibah kepada saudara kandung non muslim berdasarkan pemahaman Al-Quran surah Al-Baqarah /2:180., artinya wasiat suatu hal yang menjadi kewajiban bagi pemilik harta apabila ia telah mendekati ajalnya. Menurut ibn Hazm, kewajiban ini ditujukan untuk ayah dan ibu (orang tua) dan karib krabat terutama yang tidak dapat mewarisi apabila si pewaris sebelumnya tidak berwasiat. Pendapat ibn Hazm itulah jadi pertimbangan Mahkamah Agung dalam memberikan wasiat wajibah kepada saudara kandung non muslim yang kadar bagiannya sama dengan ahli waris saudara kandung muslim. Pertimbangan lainnya untuk menjaga keutuhan keluarga dan mengakomodir adanya realitas sosial masyarakat Indonesia yang pluralitas yang terdiri dari berbagai etnis dan keyakinan. Serta kemaslahatan untuk memenuhi rasa keadilan. Pemberian wasiat wajibah kepada saudara kandung non muslim ini telah memberikan sumbangan yang baru dalam pembaharuan hukum Islam di Indonesia, tapi bersifat terbatas.
Artinya, ahli waris non muslim tetap sebagai orang yang terhalang untuk mendapatkan bagian dari harta peninggalan saudara kandungnya yang muslim. Upaya ini sebagai langkah positif bahwa hukum Islam tidaklah eksklusif dan diskriminatif terhadap pemeluk agama yang lain, tapi hukum Islam dapat memberikan perlindungan dan rasa keadilan kepada non muslim.
Sebab Hukum Kewarisan Islam merupakan aspek yang sangat penting keberadaannya dalam perkembangan hukum Islam di Indonesia. Karena hukum kewarisan Islam itu mengatur tentang peralihan kekayaan antar generasi dan kedudukan masing-masing kaum krabat. Persoalannya adalah Apakah masih ada hakim di peradilan agama yang menggunakan fikih dengan syariah untuk memutus perkara diperadilan agama?. Jika masih ada, tentunya putusan yang dihasilkan oleh peradilan agama akan berbeda-beda, meskipun dalam perkara yang sama, sehingga tidak ada kepastian hukum. Untuk itu, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat perlu menerbitkan suatu undang-undang sebagai pedoman bagi hakim peradilan agama dalam membuat keputusan bagi saudara kandung non muslim.
Other Description: The last will is Islamic legacy law is place where the inter-generation relationship and the position of respective relatives can be accommodated. There are many opinions concerning this Islamic legacy law. According to the Jumhur Islamic scholars, it is sunat which means that the last will can be given to anybody desired by the will giver while Ibn Hazm argued that the will is wajib to give the will especially to the relatives who have constraint to receive the legacy. The opinion of Ibn Hazm, resulted in the wasiat wajibah, a will whose implementation is not influenced or does not depend on the desire of the will giver but the judge as a government apparatus as an authority to force or decide to give the wasiat wajibah to a certain relative. This practice has been implemented by the Supreme Court of the Republic of Indonesia for the case No. 51.K.AG.1999. The wasiat wajibah given by by the Supreme Court is for a non- Moslem brother of the same parents even though, in the Compilation of Islamic Law, its analogy is for adopted parents and the different religion is still on of the constraints to mutually inherit. The result of the study on the collected data shows that the supreme Court gave the wasiat wajibah to a non-moslem brotherof the same parents was based on the understanding of Al-Quran surah Al-Baqarah 2:180 which means will is a must for the owner of property when he/she is dying. According to Ibn Hazm, this is compulsory to the ather or mother ( parents) and the relatives especially who cannot inherit if the property owner has not made his/her will. This opinion of Ibn Hazm became the consideration for the supreme Court in the process of giving the wasiat wajibah to a non- Moslem brother of the same parents whose share is equal to that of his Moslem brother of the same parents. The other consideration was that it is important to maintain the unity of the family and to accommodate the social reality in the plural Indonesian community consisting of various ethicities and faiths and the good things to meet the feeling of justice. The provision of wasiat wajibah to a non- Moslem brother of the same parent has given a new contribution in the restricted development of Islamic law in Indonesia, meaning, that a non-moslem heir still a person who are constrained to have is/her share from the heritage belonged to his Moslem brother of the same parents. This is a positive step to show that Islamic las is exclusive and discriminative to the non- moslem because the Islamic law can give a protection and the feeling of justice to the non-moslems. The existence of the Islamic legacy law is an important aspect in the development of Islamic law in Indonesia because it regulated the inter generation property transfer and the position of respective relatives. The question is whether or not there is a judge in the religious (Islamic) court who still uses fikih and syariah as the base to make a court decision in the religious (Islamic) court? There still is, the decision made by the judge in the religious (Islamic) court must be different, even in the same case, that there will be no legal certainty. Hence, the government and the legislative members need to issue a law as a guidance for the judges saerving in the religious (Islamic) court in making their decision for the non-moslem brother of the same parents.
Fatwa Tentang Waris Beda Agama
MUSYAWARAH NASIONAL VII
MAJELIS ULAMA INDONESIA TAHUN 2005
KEPUTUSAN FATWA
MAJELIS ULAMA INDONESIA
Nomor: 5/MUNAS VII/MUI/9/2005
Tentang
KEWARISAN BEDA AGAMA
Majelis Ulama Indonesia (MUI), dalam Musyawarah Nasional MUI VII, pada 19-22 Jumadil
Akhir 1426 H. / 26-29 Juli 2005 M., setelah
MENIMBANG :
a. bahwa belakangan ini sering terjadi kewarisan beda agama;
b. bahwa sering dimunculkan pendapat-pendapat yang membolehkan kewarisan beda agama;
c. bahwa oleh karena itu MUI memandang perlu untuk menetapkan
MENGINGAT : 1. Firman Allah:
“Allah mensyari`atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagianpembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfa`atnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (QS. al-Nisa [4] : 11)
“…Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman”. (QS. al-Nisa [4]: 141).
2. Hadis Rasul Allah s.a.w.
Dari Usamah bin Zaid r.a., sesungguhnya nabi s.a.w. bersabda:
“Orang Muslim tidak (boleh) mewarisi orang Kafir, dan orang Kafir tidak (boleh) mewarisi orang Muslim" (HR. muttafaq alaih).
Dari Abdullah bin Umar r.a., dia berkata: Rasul Allah s.a.w. bersabda:“tidak ada saling mewarisi antara dua pemeluk agama (yang berbeda) (HR. Ahmad, imam empat dan Turmudzi).
MEMPERHATIKAN:
1. Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan
2. PP. no 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU no 1/1974 tentang Perkawinan.
3. Instruksi Presiden no 1 tahun 1990 tentang Kompilasi Hukum Islam.
4. Pendapat Sidang Komisi C Bidang Fatwa pada Munas VII MUI 2005.
Dengan bertawakkal kepada Allah SWT
MEMUTUSKAN
MENETAPKAN : FATWA TENTANG KEWARISAN BEDA AGAMA
1. Hukum waris Islam tidak memberikan hak saling mewarisi antar orang-orang yang berbeda agama (antara muslim dengan nonmuslim);
2. Pemberian harta antar orang yang berbeda agama hanya dapat dilakukan dalam bentuk hibah, wasiat dan hadiah.
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 21 Jumadil Akhir 1426 H.
28 J u l i 2005 M
MUSYAWARAH NASIONAL VII
MAJELIS ULAMA INDONESIA
Pimpinan Sidang Komisi C Bidang Fatwa
Ketua, Ttd, K.H. MA’RUF AMIN
Sekretaris, Ttd, Drs. H. HASANUDIN, M.Ag
Pimpinan Sidang Pleno
Ketua, Ttd. Prof. Dr. H. UMAR SHIHAB
Sekretaris, Ttd. Prof. Dr. H.M. DIN SYAMSUDDIN
Other Description: The last will is Islamic legacy law is place where the inter-generation relationship and the position of respective relatives can be accommodated. There are many opinions concerning this Islamic legacy law. According to the Jumhur Islamic scholars, it is sunat which means that the last will can be given to anybody desired by the will giver while Ibn Hazm argued that the will is wajib to give the will especially to the relatives who have constraint to receive the legacy. The opinion of Ibn Hazm, resulted in the wasiat wajibah, a will whose implementation is not influenced or does not depend on the desire of the will giver but the judge as a government apparatus as an authority to force or decide to give the wasiat wajibah to a certain relative. This practice has been implemented by the Supreme Court of the Republic of Indonesia for the case No. 51.K.AG.1999. The wasiat wajibah given by by the Supreme Court is for a non- Moslem brother of the same parents even though, in the Compilation of Islamic Law, its analogy is for adopted parents and the different religion is still on of the constraints to mutually inherit. The result of the study on the collected data shows that the supreme Court gave the wasiat wajibah to a non-moslem brotherof the same parents was based on the understanding of Al-Quran surah Al-Baqarah 2:180 which means will is a must for the owner of property when he/she is dying. According to Ibn Hazm, this is compulsory to the ather or mother ( parents) and the relatives especially who cannot inherit if the property owner has not made his/her will. This opinion of Ibn Hazm became the consideration for the supreme Court in the process of giving the wasiat wajibah to a non- Moslem brother of the same parents whose share is equal to that of his Moslem brother of the same parents. The other consideration was that it is important to maintain the unity of the family and to accommodate the social reality in the plural Indonesian community consisting of various ethicities and faiths and the good things to meet the feeling of justice. The provision of wasiat wajibah to a non- Moslem brother of the same parent has given a new contribution in the restricted development of Islamic law in Indonesia, meaning, that a non-moslem heir still a person who are constrained to have is/her share from the heritage belonged to his Moslem brother of the same parents. This is a positive step to show that Islamic las is exclusive and discriminative to the non- moslem because the Islamic law can give a protection and the feeling of justice to the non-moslems. The existence of the Islamic legacy law is an important aspect in the development of Islamic law in Indonesia because it regulated the inter generation property transfer and the position of respective relatives. The question is whether or not there is a judge in the religious (Islamic) court who still uses fikih and syariah as the base to make a court decision in the religious (Islamic) court? There still is, the decision made by the judge in the religious (Islamic) court must be different, even in the same case, that there will be no legal certainty. Hence, the government and the legislative members need to issue a law as a guidance for the judges saerving in the religious (Islamic) court in making their decision for the non-moslem brother of the same parents.
Fatwa Tentang Waris Beda Agama
MUSYAWARAH NASIONAL VII
MAJELIS ULAMA INDONESIA TAHUN 2005
KEPUTUSAN FATWA
MAJELIS ULAMA INDONESIA
Nomor: 5/MUNAS VII/MUI/9/2005
Tentang
KEWARISAN BEDA AGAMA
Majelis Ulama Indonesia (MUI), dalam Musyawarah Nasional MUI VII, pada 19-22 Jumadil
Akhir 1426 H. / 26-29 Juli 2005 M., setelah
MENIMBANG :
a. bahwa belakangan ini sering terjadi kewarisan beda agama;
b. bahwa sering dimunculkan pendapat-pendapat yang membolehkan kewarisan beda agama;
c. bahwa oleh karena itu MUI memandang perlu untuk menetapkan
MENGINGAT : 1. Firman Allah:
“Allah mensyari`atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagianpembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfa`atnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (QS. al-Nisa [4] : 11)
“…Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman”. (QS. al-Nisa [4]: 141).
2. Hadis Rasul Allah s.a.w.
Dari Usamah bin Zaid r.a., sesungguhnya nabi s.a.w. bersabda:
“Orang Muslim tidak (boleh) mewarisi orang Kafir, dan orang Kafir tidak (boleh) mewarisi orang Muslim" (HR. muttafaq alaih).
Dari Abdullah bin Umar r.a., dia berkata: Rasul Allah s.a.w. bersabda:“tidak ada saling mewarisi antara dua pemeluk agama (yang berbeda) (HR. Ahmad, imam empat dan Turmudzi).
MEMPERHATIKAN:
1. Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan
2. PP. no 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU no 1/1974 tentang Perkawinan.
3. Instruksi Presiden no 1 tahun 1990 tentang Kompilasi Hukum Islam.
4. Pendapat Sidang Komisi C Bidang Fatwa pada Munas VII MUI 2005.
Dengan bertawakkal kepada Allah SWT
MEMUTUSKAN
MENETAPKAN : FATWA TENTANG KEWARISAN BEDA AGAMA
1. Hukum waris Islam tidak memberikan hak saling mewarisi antar orang-orang yang berbeda agama (antara muslim dengan nonmuslim);
2. Pemberian harta antar orang yang berbeda agama hanya dapat dilakukan dalam bentuk hibah, wasiat dan hadiah.
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 21 Jumadil Akhir 1426 H.
28 J u l i 2005 M
MUSYAWARAH NASIONAL VII
MAJELIS ULAMA INDONESIA
Pimpinan Sidang Komisi C Bidang Fatwa
Ketua, Ttd, K.H. MA’RUF AMIN
Sekretaris, Ttd, Drs. H. HASANUDIN, M.Ag
Pimpinan Sidang Pleno
Ketua, Ttd. Prof. Dr. H. UMAR SHIHAB
Sekretaris, Ttd. Prof. Dr. H.M. DIN SYAMSUDDIN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar