Dewasa ini filsafat tidak mendapatkan perhatian dan pembahasan yang cukup dari kita semua, untuk itu mudah-mudahan tulisan ini bisa menambah pengetahuan kita tentang filsafat sebagaimana adanya filsafat.
Pengantar Filsafat
Sebelum membicarakan filsafat ada baiknya kita membicarakan sedikit pengantar tentang cara mendefinisikan suatu perkara. Ini penting karena masih banyak diantara kita salah kaprah dalam menerima arus informasi global. Cara pendefinisian dibagi menjadi dua. Pertama adalah pendefinisian Verbal (lafzhi) dan yang kedua adalah pendefinisian Arti Nyata (Maknawi).
Pendefinisan verbal (lafzhi) adalah cara mendefinisikan dengan maksud menjelaskan pengertian dari kosa kata yang digunakan atau menjelaskan pengertian dari istilah yang digunakan (linguistik).
Sedangkan pendefinisian Arti Nyata (maknawi) adalah cara mendefinisikan dengan mengungkapkan makna sebenarnya (hakekat) dari ke ‘apa’ an sesuatu.
Ketika seseorang bertanya, apakah yang dimaksud dengan ‘merpati’ . Sering kita temui bahwa maksud dari sipenanya dapat berbeda-beda. Adakalanya maksud sipenanya adalah tentang pengertian dari kata (kosa kata) tersebut, yakni merpati itu ‘apa’ dari arti bahasa atau istilah (terminologis). Dan jawaban tentang ke ‘apa’ an merpati ini dapat dijawab dengan bermacam-macam istilah dan definisi per-bidang orang yang ditanyakan, sehingga tidak menutup kemungkinan akan menimbulkan ‘arti’ yang banyak tentang ke ‘apa’ an merpati dari sisi terminologi. Menurut istilah ahli hewan, merpati adalah sejenis burung yang masuk kedalam katagori unggas, dan akan berbeda lagi definisi ke ‘apa’an merpati ini jika masuk kedalam kamus departemen perhubungan, maka yang disebut dengan merpati adalah sebuah pesawat terbang yang dikelola oleh sebuah maskapai penerbangan yang masuk kedalam katagori pesawat yang berplat merah (Perusahaan pemerintah).
Dalam menjawab pertanyaan semacam itu (tentang kosakata) ada kemungkinan semua jawaban yang di kemukakan adalah benar. Dan disini dibutuhkan kejeli-an dan ketelitian kita untuk mengetahui secara jelas tentang arti dan penggunaan dari kosa kata yang dipakai.
Jika kita akan mengdefinisikan suatu hal atau akan menjelaskan ke ‘apa’ an suatu istilah yang memiliki definisi lebih dari satu, maka kita harus mengatakan bahwa ‘ke apaan’ ini menurut istilah ahli fulan ini artinya ‘ini’ dan menurut istilah ahli fulan itu artinya adalah ‘itu’ . Menjelaskan ke’apa’an sesuatu dengan cara memaparkan pendapat-pendapat dari beberapa ahli-ahli yang berbeda bidang inilah yang disebut dengan pendefinisian verbal.
Tetapi sering juga kita menanyakan ‘ke apa-an’ sesuatu BUKAN bermaksud untuk mempertanyakan arti dari kosa kata yang digunakan melainkan tentang Hakekat (Arti Nyata) dan makna sebenarnya dari susuatu itu. Misalnya ketika kita bertanya, apakah yang disebut dengan ‘Nabi’ , tentu yang kita tanyakan bukanlah tentang arti dari kata nabi diletakkan untuk apa? Karena kita semua sudah tahu bahwa kata nabi diletakkan dan diperuntukkan untuk manusia dengan syarat dan ketentuan yang khusus, bukan kepada yang lainnya semisal kepada tumbuh-tumbuhan atau hewan.
Pertanyaan tentang ‘ hakikat dan substansi’ dari nabi tadi misalnya, jawaban subtansi terhadap ini hanya satu, tidak boleh lebih dan tidak mungkin semua jawaban tentang pertanyaan ini adalah benar. Jawaban untuk menjawab pertanyaan semacam inilah yang disebut dengan pendefinisian Arti Nyata (Maknawi/Hakiki)
Untuk menelaah suatu perkara, maka kedua cara pendefinisian ini haruslah digunakan secara berurutan dan hirarkis. Jika tidak demikian maka akan terjadi bias makna (paralogisme) antara maksud dan tujuan sipenanya dengan hakekat yang sebenarnya. Dalam hal ini mencari arti dari kosa kata yang akan digunakan (pendefinisian Verbal) haruslah lebih didahulukan, setelah jelas dan teliti dalam penggunaan kosa kata tersebut barulah kita bisa mencari tahu makna hakikinya ( Arti Nyatanya) .
Urutan tentang tata cara pendefinisian ini sungguh penting dan strategis dalam mencari dan menggali substansi dari suatu perkara, cara berurutan seperti ini bisa menghindari perselisihan yang tidak perlu. Karena jika tidak demikian maka bisa dibayangkan betapa rumitnya dan repotnya kita mencari tahu tentang arti sebuah ‘kata’ . Jika saja masing-masing pihak mendefinisikan arti ‘kata’ dengan bermacam-macam istilah dan bahasa yang sesuai dengan bidangnya, maka besar kemungkinan orang yang terakhir menemui ‘kata’ tersebut akan lebih banyak berselisih ketimbang mengerti.
Misal, suatu hari orang yang menciptakan istilah ‘keseluruhan’ yang berarti adalah semua dan bukan sebagian ataupun terbagi-bagi. Makna yang sebenarnya tentang ‘keseluruhan’ ini bisa menjadi bias kalau setiap orang mendefinisikannya sesuai dengan bidang dan keahliannya dimasa berikutnya, apalagi jika sudah di terjemahkan kedalam bahasa asing yang beraneka ragam, bisa jadi arti ‘keseluruhan’ akan menjadi sebagian ( yang pertama hilang kata ‘bukan’ -nya) . Jika peneliti berikutnya mengabaikan pentingnya urutan cara pendefinisian, bisa jadi dia tidak akan memperhatikan lagi istilah ‘ keseluruhan’ sebagai acuan dari persoalan yang dihadapi dan langsung menggunakan istilah ’sebagian’ sebagai kata ganti ‘keseluruhan’ . Sehingga orang terakhir yang bukan peneliti dan ahli ketika menemui istilah ‘keseluruhan’ langsung saja beranggapan bahwa ‘keseluruhan’ sama dengan ’sebagian’.
Begitu pula dengan kata ‘filsafat’ , banyak terjadi kekeliruan umum tentangnya diantara para filsuf barat dan para pengikutnya di Timur. Kita bisa mulai bahasan ini dengan kekeliruan awal dan ‘keluwesan’ yang tidak perlu yang di ajukan oleh para filsuf belakangan ini. Keluwesan yang tidak perlu ini berawal dari cara pendefinisian kata ‘filsafat’ itu sendiri.
Kata ‘filsafat’ berasal dari bahasa Yunani, yaitu ‘philosophia’ . Kata philosophia merupakan gabungan dari dua kata yaitu philos dan sophia.
Arti Kata Filsafat
Philos berarti sahabat atau kekasih, sedangkan sophia memiliki arti kebijaksanaan, pengetahuan, kearifan. Dengan demikian maka arti dari kata philosophia adalah cinta pengetahuan. Atau dengan kata lain bisa juga diartikan sebagai orang yang senang mencari ilmu dan kebenaran .Plato dan Socrates dikenal sebagai philosophos (filsuf) yaitu orang yang cintai pengetahuan.
Sebelum Socrates, ada juga sekelompok orang yang menamakan diri mereka sebagai kelompok sophist yaitu kelompok para cendikiawan. Kelompok ini menjadikan pandangan dan persepsi manusia sebagai suatu hakikat kebenaran, tapi karena kelompok ini sering keliru dalam memberikan argumen-argumennya maka lambat laun istilah sophist keluar dari arti aslinya dan berubah menjadi seseorang yang menggunakan argumen-argumen yang keliru (paralogisme) .
Sebagaimana kata sophist yang mengalami perubahan arti, lambat laun kata philosophos (filsuf) pun akhirnya berubah arti yakni menjadi lawan kata sophist. Dengan perubahan ini maka terjadi juga pergeseran arti kata philosophos dari ‘pencinta pengetahuan/ilmu’ menjadi seseoarang yang berpengetahuan tinggi. Sedangkan philosophia (filsafat) berubah menjadi sinonim dengan ilmu.
Dan perlu untuk kita ingat bahwa kata filsuf (philosophos) dan filsafat (philosophia) ini baru menyebar luas setelah masa Aristoteles. Aristoteles sendiri tidak menggunakan istilah ini (philosophia atau philosophos) dalam literatur-literaturnya.
Setelah masa kejayaan romawi dan persia memudar, penggunaan istilah filsafat berikutnya mendapat perhatian besar dari kaum muslimin di arab. Kata falsafah (hikmah) atau filsafat kemudian mereka sesuaikan dengan perbendaharaan kata dalam bahasa arab, yang memiliki arti berbagai ilmu pengetahuan yang rasional.
Ketika kaum muslimin arab saat itu ingin menjabarkan pembagian ilmu menurut pandangan Aritoteles, mereka (muslimin arab) kemudian mengatakan bahwa yang disebut dengan pengetahuan yang rasional adalah pengetahuan yang memiliki dua bagian utama, yaitu Filsafat teoritis dan Filsafat praktek.
Filsafat teoritis adalah filsafat yang membahas berbagai hal sesuai dengan apa adanya, sedangkan filsafat praktek adalah pembahasan mengenai bagaimanakah selayaknya prilaku dan perbuatan manuasia.
Filsafat teoritis kemudian dibagi menjadi 3 bagian yaitu : filsafat tinggi (teologi) , Filsafat Menengah (matematika) , dan filsafat rendah (fisika). Filsafat tinggi (ilahiah) ini kemudian dibagi lagi menjadi 2 bagian, yang pertama adalah filsafat yang berhubungan dengan perkara-perkara yang umum dan yang kedua adalah filsafat yang berhubungan dengan perkara-perkara khusus.
Sedangkan filsafat menengah (matematika) dibagi menjadi 4 bagian, yakni ; Aritmetika, geometri, astronomi dan musik.
Dari sekian pembagian ilmu dan pembahasan yang membicarakan filsafat, agaknya ada 1 hal yang mendapat porsi lebih utama dari yang lainnya, dan yang 1 hal ini dinamai dengan berbagai macam nama yang maksudnya tetap sama yaitu , filsafat tinggi (’uyla), filsafat utama (aula), ilmu tertinggi ( a’la), ilmu universal (kulli), teologi (Ilahiyah), dan filsafat metafisika.
Ketika ‘perhatian’ para filsuf kuno tentang filsafat ini lebih tercurah pada masalah filsafat tinggi, maka akhirnya kita bisa melihat arti filsafat menurut para filsuf kuno yang terbagi menjadi dua, pertama adalah arti yang umum ; yaitu berbagai ilmu pengetahuan yang rasional dan yang kedua adalah arti khusus, yaitu : ilmu yang berhubungan dengan ketuhanan (Ilahiyah) atau filsafat tinggi yang nota bene adalah pecahan dari filsafat teoritis.
Sekarang kita menemukan istilah umum dan khusus. Filsafat menurut istilah umum adalah ilmu pengetahuan yang rasional, sedangkan menurut pendapat yang tidak umum filsafat adalah ilmu yang oleh orang-orang kuno disebut sebagai filsafat tinggi, filsafat utama, ilmu tertinggi, ilmu istimewa, atau ilmu Ilahiyah.
Sedangkan menurut terminologi muslimin filsafat adalah adalah nama bagi seluruh ilmu rasioanal dan BUKAN nama dari satu ilmu tertentu. Filsafat adalah sebuah ilmu yang memandang dan mengamati keberadaan (eksistensi) alam ini sebagai suatu objek yang satu.
Metode
Filsafat dan hikmah secara umum memiliki berbagai macam pembagian sesuai dengan bidang pembicaraannya, namun dari sisi metode dikenal ada empat macam metode yang paling populer, yaitu hikmah argumentatif, hikmah intuitif, hikmah ekprimental dan terakhir hikmah dialektis.
Apa dan bagaimana ke empat metode ini bekerja, yuk kita lihat garis besarnya dulu…
Metode hikmah argumentatif bekerja dengan penekanan kepada silogisme berpikir, artinya metode ini bekerja dengan menitik beratkan penelaahan kepada hal-hal yang bersifat umum (universal) terlebih dahulu, baru kemudian ke hal-hal dibawahnya yang lebih khusus, dan kemudian baru bisa mengambil satu kesimpulan sebagai hasil akhirnya…
Misalnya ;
- Semua manusia tinggal di planet yang bernama bumi (umum).
- Alexander adalah manusia (khusus)
- Jadi Alexander tinggal di planet yang bernama bumi…
Ciri khas dari hikmah argumentatif ini adalah kekonsisten-an-nya terhadap penggunaan penalaran (rasio) sebagai pijakan, baik argumentatif rasional maupun demonstratif rasional.
Kegunaan dari metode semacam ini adalah untuk mengetahui dan mengukur hal-hal yang nyata-nyata tidak bisa terlihat dan terdengar dengan panca indra kita. Misalnya, apakah ada hidup setelah mati?
Bagaimana kita bisa mengetahui ini? Setelah ditulis di kitab suci, apakah kemudian tulisan dikitab suci itu bisa langsung membuktikan kepada kita tentang adanya kehidupan setelah mati? Atau apakah dengan tulisan dikitab suci itu kita bisa langsung merasakan atau melihat hidup setelah mati itu? Tentu saja panca indra kita tidak mampu membuktikan apapun tentang ‘cerita’ hidup setelah mati, dan ‘cerita’ seperti itu hanya bisa dibuktikan dengan penalaran (rasio) .
Sekarang yang berikutnya, yaitu metode hikmah intuitif. Apakah yang disebut-sebut sebagai hikmah intuitif itu? Mari kita lihat sekilas tentang cara kerja dari metode hikmah intuitif ini.
Hikmah intuitif ini lebih ‘lengkap’ dalam menggunakan ‘perkakas/alat’ kerjanya J , ini bisa dilihat dari tambahan alat yang dimilikinya yaitu cita rasa (dzawqi) , inspirasi (ilham) , dan pencerahan (isyraq) sebagai alat kerja tambahannya selain penggunaan argumentasi rasional dan demonstrasi rasional.
Dalam memutuskan satu perkara, penganut metode intuitif dikenal lebih banyak menggunakan ‘alat’ yang bernama inspirasi (ilham) sebagai dasar keputusan nya dibandingkan dengan penalaran (rasio) . Penggunaan ilham adalah ciri khas dari metode intuitif ini.
Lain lagi dengan metode yang ketiga, yaitu hikmah eksprimental. Metode ini sangat digemari oleh masyarakat modern sekarang ini, kenapa demikian dan kenapa harus demikian ? Mari kita lihat lebih dekat lagi tentang cara kerja metode hikmah eksprimental ini.
Secara ringkas bisa dikatakan bahwa cara kerja metode hikmah ekprimental ini lebih ‘gampang’ disajikan karena metode ini hanya mengandalkan panca indra sebagai ‘alat’ kerjanya. Metode hikmah ekprimental tidak memerlukan pemikiran yang ‘ribet’ semacam silogisme (deduksi) dan inspirasi (ilham) sebagai pijakannya dalam menghasilkan pengetahuan. Urusannya hanya dengan uji coba dan pembuktian dengan panca indra sampai terbukti dan membentuk hikmah dan filsafat.
Tidak perlu repot-repot harus tahu dulu asal usul suatu objek secara universal, penguna metode ekprimental ini cukup mengambil sample dari objek yang akan diteliti, misalnya , ambil kaca pembesar atau bawa kelaboraterium atau bawa kedepan orang ramai, diuji, dicoba, diuji, dilihat, dipikirin sebentar, uji lagi…ngobrol bentar…uji lagi , lihat, saksikan, rasakan dan selesai. Hubungkan satu sama lain sampai tercipta suatu hikmah atau pengetahuan.
Dan perlu kita akui, bahwa metode ekprimental ini sangatlah membantu peradaban dunia. Dan tidak bisa dipungkiri bahwa revolusi industri dan teknologi saat ini tidak terlepas dari kekuatan metode ini.
Namun kita harus tahu, selain mempunyai kelebihan terhadap revolusi industri dan telekomunikasi, metode ini juga memiliki dua kelemahan vital, yaitu pertama ; Metode eksprimental ini tidak mempunyai kemampuan untuk menguji hal-hal yang tidak bisa dilihat dan dirasakan oleh panca indera. Yang kedua, metode ini juga tidak mampu untuk mengukur hal-hal yang terhalang dengan masa (zaman) seperti misalnya, kapankan alam semesta ini bermula dan dimanakah letak tempatnya alam semesta ini berakhir?
Belum ada satupun mikroskop atau laboratorium yang mampu memperlihatkan kepada kita bongkahan jawaban yang bisa dikenali oleh panca indra kita.
Setelah kita lihat garis besar dari ketiga metode diatas, sekarang kita lihat metode yang ke empat, yaitu metode hikmah dialektis.
Hikmah dialektis lebih menekankan kepada apa-apa yang disebut sebagai hal yang yang populer atau figurcentris mengenai berbagai permasalahan alam dan universal. Metode ini banyak menjadi perbincangan dikalangan logikawan karena melibatkan banyak premis-premis yang memerlukan rumusan tersendiri. Pada metode ini banyak jawab menjawab terjadi antara ahli kalam (tawawuf) dengan filsuf.
Disini pembicaraan lebih ramai di sekitar hal-hal yang esktemporal dengan popularitas sebagai tumpuan dalam menghasilkan pengetahuan hikmah dan filsafat.
Misalnya kita mengetahui secara umum (sudah populer) bahwa menguap didepan umum atau didepan mertua adalah tidak baik J . Pendapat menguap ‘tidak baik’ ini adalah perkara yang populer, bukan pada hakikat hikmah.
Beda dengan hal yang ekstemporal, misalnya kita mengetahui bahwa jika si A dan si B sama dengan si C, maka ketiganya adalah sama. Maksudnya jika ada dua hal sama dengan hal yang ketiga, maka sebenarnya ketiganya adalah sama , atau kalau dalam rumus akan jadi begini : ’sama dengan sama adalah sama.’
Deduksi-Induksi
Untuk mendapatkan pengetahuan baru bisa dilakukan dengan dua cara :
Pertama dengan metode induksi, yaitu sebuah metode bagaimana cara melihat dan menyimpulkan suatu persoalan yang dimulai dari pernyataan yang bersifat khususnya menuju kepada pernyataan yang bersifat umum. Bagaimana membuat kesimpulan umum yang dihasilkan dari kasus-kasus yang bersifat individual.
Misalnya :
Emas dipanaskan akan memuai
Besi dipanaskan akan memuai
Seng dipanaskan akan memuai
Timah dipanaskan akan memuai
Platina dipanaskan akan memuai
Tembaga dipanaskan akan memuai
Besi dipanaskan akan memuai
Seng dipanaskan akan memuai
Timah dipanaskan akan memuai
Platina dipanaskan akan memuai
Tembaga dipanaskan akan memuai
Maka secara umum bisa disimpulkan bahwa : Semua logam jika dipanaskan akan memuai.
Begitu seterusnya, melihat dan meneliti kasus-kasus khusus dari beberapa sample yang mempunyai sifat sejenis maka kemudian dibuat suatu kesimpulan umum. Metode ini dikenal sebagai metode yang paling praktis, karena untuk menyimpulkan bahwa semua logam jika dipanaskan akan memuai kita tidak perlu lagi meneliti semua jenis logam yang ada dialam semesta ini.
Kedua dengan metode deduksi, metode ini adalah kebalikan dari metode induksi yaitu dari pernyataan yang bersifat umum , menuju kesimpulan yang bersifat khusus.
Misalnya kita ambil dari contoh diatas :
Besi adalah logam.
Jadi besi jika dipanaskan akan memuai.
Selanjutanya mari kita perhatikan, ternyata dengan penalaran induktif kita bisa mendapatkan pengetahuan bahwa semua logam jika dipanaskan akan memuai. Dan ketika kita uji dengan penalaran deduktif maka kita akan mendapatkan pengetahuan baru yang lebih terpercaya lagi, bahwa besi jika dipanaskan akan memuai, meskipun kesimpulan ini kita dapatkan tidak melalui penelitian terlebih dahulu.
Kalau bisa dikatakan kelebihan, maka itulah kelebihan yang bisa kita dapatkan dengan mengunakan penalaran deduktif, akan lebih hemat biaya dan waktu untuk menyimpulkan suatu perkara.
Kalau kita teliti dalam contoh-contoh yang diajukan diatas maka kita bisa melihat betapa hubungan antara kedua metode itu sangat penting, bagaimana satu sama lain saling melengkapi dan mengisi.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering berangkat dari hal-hal yang bersifat khusus dan kemudian melakukan generalisasi secara umum. Sering menilai sesuatu itu berdasarkan kasus dan dampak-dampak khusus dari suatu persoalan untuk kemudian membuat pernyataan secara umum ( induksi) . Dan sekarang apakah kasus-kasus khusus itu bisa dijadikan suatu kesimpulan yang benar, kita bisa mengujinya lagi dengan metode deduksi sebagaimana hasil pengujian seperti contoh diatas.
Pengembangan pemikiran dan sekaligus pengetahuan sebaiknya menggunakan kedua metode tersebut secara beriringan dan teliti. Karena kalau hanya menggunakan satu metode saja, maka pemikiran dan pengetahuan kita akan berjalan lambat dan berbiaya tinggi.
Kajian tentang filsafat pada dasarnya selalu ‘berputar’ disekitar kesejatian eksistensi (keberadaan) dan atau kesejatian esensi (keapaan) . Dari kedua ‘kesejatian’ ini yang manakah yang lebih utama?
Peripatetik
Didalam literatur kuno, kita bisa menemui setidaknya ada dua kelompok besar sebagai peletak dasar kajian-kajian filafat tinggi, dan masing-masing kelompok dikenal dengan kelompok metode iluminasi dan peripatetik.
Metode iluminasi mempercayai bahwa dalam mengkaji filsafat tinggi (Ilahiah) atau ketuhanan, tidaklah cukup hanya dengan mengandalkan argumentasi (istidlal) dan penalaran (ta’aqqul) saja, tetapi lebih dari itu yaitu diperlukannya penyucian jiwa serta perjuangan melawan hawa nafsu untuk menyingkap berbagai hakikat.
Metode Iluminasi ini mendapat dukungan dari banyak pihak terutama kalangan filsuf Islam, penganut paham ini dinamakan dengan kelompok paham iluminasionis dengan tokoh-tokohnya yang terkenal seperti Syekh Syihabuddin Syuhrawardi.
Berbeda dengan kelompok iluminasionis, kelompok metode peripatetik yang diilhami oleh Aristoteles mempercayai bahwa argumentasi adalah tempat bertumpunya segala persoalan. Kelompok ini terkenal dengan tokohnya yang bernama Syekh Ar Ra’is Ibnu Sina.
Plato terkadang juga dikaitkan dengan kelompok iluminasionis, namun demikian bagaimana kebenarannya masih perlu dikaji lebih dalam lagi berhubung penulis sejarah filsafat yang terkenal seperti Syahristani sekalipun tidak pernah menyebut Plato sebagai penganut paham ini. Kecuali dengan apa yang dikatakan oleh Syekh Syuhrawardi dalam bukunya ‘Hikmah al Isyraq’ bahwa Phytagoras dan Plato adalah termasuk dari beberapa cendikiawan kuno yang menganut aliran iluminatif.
Terlepas dari apakah Plato termasuk orang yang menganut paham iluminasionis ataupun bukan, namun kita perlu mengingat kembali landasan filsafat plato yang terkenal tentang hakikat (filsafat tinggi). Plato meletakkan pandangannya kepada tiga pilar utama yaitu :
1. Teori Ide.
Menurut teori ini apa-apa yang disaksikan manusia didunia ini, baik substansi ataupun aksiden, pada hakikatnya semua itu sudah ada didunia lain. Yang kita saksikan didunia ini semunya hanya semacam cermin atau bayangan dari dunia lain.
2. Teori tentang roh manusia.
Plato meyakini bahwa sebelum jasad manusia tercipta (manusia terlahir) , maka rohnya telah berada didunia lain yang lebih tinggi dan sempurna, yaitu dunia ide. Setelah jasad tercipta maka roh menempatinya dan sekaligus terikat dengannya.
3. Plato menyimpulkan bahwa ilmu itu adalah mengingat kembali (remind) dan BUKAN mempelajari, yakni apa saja yang kita pelajari didunia ini pada hakikatnya adalah pengingatan kembali terhadap apa-apa yang sudah pernah kita ketahui sebelumnya. Logikanya adalah karena sebelum roh bergabung dengan jasad, roh tersebut SUDAH ADA didunia lain yang lebih tinggi dan sempurna dan telah menyaksikan dunia tersebut, dan dikarenakan hakikat dari segala sesuatu itu adalah di ‘ide’ nya maka seyogyanya ide ini telah mengetahui berbagai hakikat. Dengan demikian, maka segala sesuatu yang ada setelah roh terikat dengan jasad tidak lain adalah sesuatu yang tadinya kita sudah tahu dan sekarang sudah terlupakan.
Plato menjelaskan kemudian bahwa karena roh sudah terikat didalam jasad, maka roh tidak bisa lagi mendapatkan cahaya sebagaimana yang tadinya dia dapatkan. Hal ini persis seperti tirai yang menghalangi cermin sehingga cermin tidak bisa menerima pancaran cahaya karena terhalang oleh tirai tersebut.
Dan ini hanya bisa disingkap dengan proses dialektika, atau metode iluminasi (penyucian jiwa , penahanan hawa nafsu dll) sehingga pancaran cahaya dapat masuk lagi kedalam cermin dan dan sekaligus bisa lagi merefleksikan gambaran dari dunia lain tadi.
Pandangan ini di tolak keras oleh Aristoteles, menurut Aristoteles perkara ‘ide’ itu adalah urusan mental (zhihn) , jadi tidak ada itu yang namanya universalia ‘ide’ .
Kedua, masalah roh…, Aristoteles percaya bahwa roh itu diciptakan seiring atau hampir bersamaan dengan penciptaan jasad. Dan jasad bukan merupakan tirai penghalang sama sekali bagi roh, bahkan dengan ‘bantuan’ jasadlah roh baru bisa mendapatkan semua informasi dan ilmu baru. Pengetahuan dan informasi yang didapatkan roh adalah melalui perantara jasad berupa panca indra dan instrumen jasad lainnya. Dan lanjut Aristoteles lagi, bahwa roh itu tidak pernah berada didunia lain sehingga roh itu sudah built up dengan berbagai ilmu pengetahuan.
Setelah kita tahu bahwa Ideologi itu muncul dari pandangan alam dan pandangan alam muncul dari pengetahuan sebagaimana yang telah kita bicarakan sebelumnya pada topik epistemologi maka sekarang kita sudah bisa semakin jelas menyaksikan bahwa pengetahuan seseoranglah yang membuat semua persoalan bisa menjadi berbeda.
Pengetahuan hakiki?
Ada yang berpendapat bahwa alam semesta ini adalah begini, manusia adalah begini, masyarakat begini, sejarah begini dan yang lainnya mengatakan bahwa alam semesta ini adalah begitu, manusia adalah begitu, masyarakat adalah begitu dan sejarah adalah begitu.
Kesimpulan Begini dan begitu itu semuanya berangkat dari pandangan alam yang didapat atas pengetahuan/epistemologi. Sekarang yang menjadi pertanyaan adalah, apakah mungkin kesimpulan tentang pengetahuan tersebut yang betul adalah begini dan sekaligus begitu? Kedua-duanya betul?
Hemat saya tidak mungkin, tidak mungkin jika kita tanya kepada orang disamping kiri kita “Apakah bumi ini berputar” dan kemudian dia jawab IYA dan ketika kita tanya kepada orang disamping kanan kita “Apakah bumi ini berputar” dan dia jawab TIDAK lalu kemudian kita menganggap semua jawaban sama saja, kedua jawaban sama-sama BETUL.
Karena tidak mungkin kedua jawaban tersebut adalah BETUL, maka Pastilah salah satu jawaban tersebut adalah SALAH.
Kalau demikian, pertanyaannya berikutnya adalah pengetahuan/epistemologi seperti apakah yang betul dan epistemologi seperti apakah yang salah?
Dan untuk mendapat jawaban tentang epistemologi yang mana yang betul dan salah tentu kita harus urut dulu dari NOL, yaitu kemungkinan untuk mengetahui/epistemologi. Apakah mungkin manusia mampu untuk mengetahui hakikat alam semesta, manusia, masyarakat dan sejarah?
Ada beberapa pendapat mengenai persoalan ini, ada yang menolak 100%, ada yang mengatakan BISA 100% dan ada juga yang diantara keduanya. Bagi mereka yang menolak 100% mengatakan bahwa sudah nasib manusia bahwa “SAYA TIDAK TAHU” adalah jawaban satu-satunya terhadap epistemologi.
Mereka mengatakan “Saya tidak tahu apakah ada surga dan neraka, Saya tidak tahu apakah ada bidadari, tujuh lapis langit dan sebagainya”. Semua yang diomongkan oleh sifulan dan sifulan itu hanyalah tahayul dan bersifat spekulatif serta dongeng belaka. Oleh karena itu pengetahuan yang tertinggi adalah “SAYA TIDAK TAHU!”.
Dijaman sekarang, penganut faham seperti ini disebut dengan kelompok skeptism atau “kelompok peragu” . Kelompok seperti ini sesungguhnya sudah ada sejak jaman kuda gigit besi pada jaman batu dulu.
Pada jaman setelah Socrates telah pernah muncul kelompok-kelompok serupa ini dengan tokohnya yang paling terkenal seperti Pyrho. Bagaimana argumen penolakan pyrho tentang ketidakmungkinan mendapatkan pengetahuan/epistemologi? Dan apakah Descartes dan Imam Ghozali juga termasuk sebagai kelompok skeptisme/peragu?
Jika kita tanya kepada orang disamping kiri kita, “kenapa anda meyakini bahwa manusia itu adalah begini dan bukan begitu”, maka dia akan memaparkan jawaban tentang ‘kebeginian’ sehingga dia tiba kepada keyakinan bahwa manusia itu adalah ‘begini’.
Pengetahuan
Pun demikian jika kita menoleh kepada orang yang disamping kanan kita, dan menanyakan, ” Dan kenapa anda meyakini bahwa manusia itu adalah begitu dan bukan begini”, maka orang yang disamping kanan kita akan mengungkapkan jawaban yang berbeda dengan orang disamping kiri kita dengan memaparkan teori tentang ‘kebegituan’ sehingga dia tiba kepada keyakinan bahwa manusia itu adalah ‘begitu’.
Pertanyaannya sekarang adalah, kenapa masing-masing orang mempunyai jawaban yang berbeda atas satu permasalahan yang sama?
Disini menarik untuk kita teliti, apa sih yang menyetir pikiran orang sehingga kemudian masing-masing individu dan golongan cenderung untuk mempertahankan dan membela apa yang diyakininya.
Mari kita lihat dulu proses bagaimananya…, Bagaimana seseorang tiba kepada sebuah keyakinan.
Seseorang tiba kepada sebuah keyakinan tentang sesuatu sesuai dengan porsi pengetahuannya (epistemologi), dari pengetahuan yang didapat tersebut kemudian terbentuklah sebuah ‘pandangan alam’ dan dari pandangan alam ini muncullah sebuah ideologi yang pada akhirnya akan menentukan mana yang boleh dan mana yang tidak boleh, mana yang harus dipertahankan dan mana yang harus ditolak, mana yang halal dan mana yang haram.
Dari proses kebagaimanaan tersebut, nanti kita akan memfokuskan pembicaraan kita kepada teori pengetahuan. Bagaimana cara mendapatkan pengetahuan, alat untuk mendapatkan pengetahuan, sumber pengetahuan, tahapan pengetahuan dan jika memungkinkan akan kita kaji juga bentuk dan bagian pengetahuan.
Namun sebelum sampai kesana, sekarang kita perlu tahu sedikit, bagaimana hubungan pengetahuan dengan ideologi seseorang. Bagaimana pengetahuan itu melahirkan “Pandangan Alam”.
Pandangan Alam adalah bentuk dari sebuah kesimpulan, penafsiran dan hasil kajian seseorang terhadap alam semesta, manusia, masyarakat dan sejarah.
Sebagaimana yang saya kemukakan pada pembuka tulisan ini bahwa antara orang yang disebelah kiri dan kanan kita juga telah dan atau bisa terjadi perbedaan pandangan alam, yang satu mengatakan bahwa manusia itu adalah begini dan yang lainnya mengatakan begitu. Perbedaan pandangan alam secara otomatis akan membawa kepada perbedaan ideologi karena sandaran atau dasar sebuah ideologi itu adalah pandangan alam.
Ideologi akan menentukan sederet perintah dan larangan, anda tidak boleh begini, anda harus begitu, yang ini yang harus dipertahankan, yang itu yang harus ditolak, yang ini yang baik, yang itu yang jelek dan seterusnya. Dan semua perintah dan larangan yang ditentukan oleh ideologi tersebut mengandung sebuah pertanyaan “Kenapa?”
Kenapa tidak boleh begini, kenapa boleh begitu, kenapa harus mempertahankan yang ini dan kenapa harus menolak yang itu, kenapa yang ini baik dan kenapa yang itu jelek dan seterusnya.
Dan semua jawaban atas pertanyaan “kenapa” itu akan dijawab oleh pandangan alam seseorang. Bentuk pandangan alam seperti apapun yang kita miliki terhadap alam semesta ini maka ideologi kitapun akan selalu mengikuti pandangan alam itu.
Misalnya, tidak mungkin orang yang mempunyai pandangan alam bahwa alam semesta ini adalah hanya materi semata, manusia itu adalah materi semata lalu ia akan meyakini bahwa akan adanya kehidupan yang kekal dan abadi yang non materi. Disinilah dikatakan bahwa ideologi merupakan buah hasil dari “pandangan alam”
Pandangan alam, tidak ubahnya seperti pondasi atau dasar dari sebuah bangunan, sedangkan ideologi adalah “bangunan atas” dari sebuah bentuk pemikiran. Dengan kata lain bisa dikatakan bahwa pandangan alam adalah “teori” dan ideologi adalah “praktek” dari sebuah pemikiran.
Kita telah mengetahui bahwa pada masa setelah Socrates, telah muncul seorang tokoh skeptisme yang bernama Pyrho. Berikutnya pada abad pertengahan sampai abad modern ini telah banyak pula bermuculan tokoh-tokoh skeptis lainnya. Tokoh yang muncul belakangan tersebut ada yang tetap teguh berpendirian skeptis seperti pyrho dari awal hingga akhir tetapi ada juga yang bermula dari skeptis lalu kemudian menemukan kebenaran dan berubah menjadi seseorang yang mempercayai kepastian akan kebenaran.
kepastian
Untuk meringkas tulisan, kita tidak akan mengulang pandangan tokoh-tokoh yang sejak awal sampai akhirnya tetap pada keragu-raguan. Tetapi kali ini kita akan melihat bagaimana mereka yang tadinya berangkat dari keragu-raguan kemudian akhirnya bersimpuh didalam kebenaran dan menemukan kebenaran itu sebagai suatu kepastian.
Diceritakan bahwa ditengah-tengah kesibukannya sebagai seorang filsuf besar, Descartes tiba kepada suatu permasalahan epistemologi yang sangat penting yaitu, apakah sesuatu yang telah didapat selama ini adalah merupakan suatu hal yang sudah pasti ataukah semuanya tidak mempunyai suatu kepastian.
Ia mencoba untuk memeriksa keyakinan terhadap agama yang dia anut selama ini. Ia mulai meneliti keyakinan agamanya dengan modal pengetahuan yang dia miliki, meneliti dengan filsafat dan berbagai ilmu lainnya, mungkinkah apa-apa yang telah dia ketahui selama ini adalah betul-betul sudah dia ketahui atau semua itu sebenarnya masih dalam tahap pengembangan yang tidak ada akhir dan kepastiannya?
Descartes kemudian mengatakan, ” Dengan dasar apa saya mengatakan bahwa alam ini ada, manusia ada, masyarakat ada dan Tuhan juga ada. Dengan dalil seperti apa saya akan mengatakan bahwa kota ini ada, alam semesta ini adalah demikian, agama yang dibawa oleh Yesus adalah begini dan begitu?”
Sebagaimana Pyrho, Descartes juga kemudian menelusuri apa yang bisa diperbuat oleh pancaindra dan rasio. Descartes melihat bahwa apa saja yang bisa didapat, dilihat dan didengarnya dengan mengunakan pancaindra dan rasio semuanya masih sangat lemah dan masih bisa diperdebatkan lagi.
Menurut Descartes, indra adalah alat yang terlemah yang dimiliki oleh manusia, dan karenanya dia mencoba bersandar kepada kemampuan rasio. Namun demikian sebagaimana Pyrho, Descartespun menemukan bahwa tidak sedikit kesalahan yang telah pernah diperbuatnya selama didalam penelitian dengan menggunakan rasio. Melihat kenyataan ini, Descartes sang filsuf ternama itupun kemudian hampir-hampir kehilangan kepercayaan dan keyakinan, ia mulai meragukan segalanya dan sampai tak tersisa sedikitpun lagi keyakinan didalam dirinya.
” Sekalipun saya ragu terhadap semua yang telah saya dapat selama ini, sekalipun saya ragu terhadap segala sesuatu yang ada didepan mata saya, namun satuhal yang TIDAK SAYA RAGUKAN adalah, bahwa saya TIDAK RAGU kalau saya sedang ragu”
Nampaknya Descartes telah mendapatkan satu kepastian tentang kemungkinan untuk mengetahui secara pasti. Ia sekarang tahu bahwa dia PASTI sedang ragu.
Dikhabarkan, Descartes kemudian berdiri diatas batu besar dialam terbuka dan mengatakan, ” Saya telah menemukan sesuatu ; dikala saya meragukan segala sesuatu, dikala saya meragukan panca indra saya, dikala saya meragukan rasio saya, meragukan apakah dunia ini ada, kota paris itu ada, manusia itu ada, Tuhan itu ada dan apakah saya sendiri ada? semua keraguan saya itu adalah betul adanya. Namun satu hal yang tidak mungkin bisa saya ragukan, yaitu bahwa saya sekarang tengah merasa ragu. Bahkan sekalipun saya meragu kan tentang keraguan saya ini, apakah saya ini ragu atau tidak, tetapi saya tetap merasa yakin dan tahu secara pasti bahwa saya sekarang sedang ragu. Dan saya yang sedang ragu ini adalah betul-betul ada.
Begitulah, akhirnya Descartes berjalan di tengah hamparan bumi yang luas dan telah menemukan sebuah kepastian tentang pengetahuan, sambil berjalan dia bergumam, ” Saya sekarang sedang ragu, dan karena saya yang sedang merasakan keraguan ini adalah ada, maka saya adalah ada”, Dia terus berjalan sambil mengulang-ulang kata tersebut dan kemudian meyakini bahwa kepastian akan pengetahuan itu adalah ada. Setidak-tidaknya dia tahu pasti tentang keraguan yang dia miliki.
Rene Descartes
Rene Descartes lahir di La Haye Touraine-Prancis pada tanggal 31 maret 1596 dari sebuah keluarga borjuis. Ayahnya adalah seorang pengacara yang aktif berpolitik sementara ibunya telah meninggal pada saat usia Descartes masih 1 tahun.
Descartes dimasukkan ke sekolah La Fleche pada usia 8 tahun , disana dia belajar ilmu-ilmu alam dan filsafat skolastik lalu kemudian pada tahun 1613 melanjutkan study-nya di Poitier, bukan memperdalam filsafat melainkan belajar ilmu hukum.
Dua tahun kemudian, atau tepatnya tahun 1615 Descartes pergi ke Paris untuk belajar Matematika dan setelah itu pada tahun 1617 Dia dikirim ke Jerman untuk dinas militer.
Dalam karir militernya Descartes tidak terlalu menonjol, dia lebih banyak memanfaatkan fasilitas militer untuk belajar kepada buku besar alam dan melancong keberbagai negara ketimbang terlibat pertempuran dalam peperangan.
Sementara melancong, Descartes tetap membaca dan menulis pikiran-pikirannya sehingga dia bisa berkenalan dengan tokoh-tokoh pemikir lainnya. Didalam kematangan berpikirnya, Descartes juga tidak sepi dari orang-orang yang mengecam pemikirannya, bahkan kecaman yang terkeras datang dari almamaternya sendiri, yaitu para Yesuit yang pernah mengasuhnya di sekolah La Fleche. Ajarannya dianggap sesat karena telah menyimpang jauh dari ajaran agama katolik.
Satu hal yang membuat Descartes sangat terkenal adalah bagaimana dia menciptakan satu metode yang betul-betul baru didalam berfilsafat yang kemudian dia beri nama metode keraguan atau kalau dalam bahasa aslinya dikatakan sebagai Le Doubte Methodique. Berdasarkan metode ini, berfilsafat menurut Descartes adalah membuat pertanyaan metafisis untuk kemudian menemukan jawabannya dengan sebuah fundamen yang pasti, sebagaimana pastinya jawaban didalam matematika.
Untuk menentukan titik kepastian tersebut Descartes memulainya dengan meragukan semua persoalan yang telah diketahuinya. Misalnya, dia mulai meragukan apakah asas-asas metafisik dan matematika yang diketahuinya selama ini bukan hanya sekedar ilusi belaka. Jangan-jangan apa yang diketahuinya selama ini hanyalah tipuan dari khayalan belaka, jika demikian adanya maka apakah yang bisa menjadi pegangan untuk menentukan titik kepastian?
Menurut Descartes, setidak-tidaknya “aku yang meragukan” semua persoalan tersebut bukanlah hasil tipuan melainkan sebuah kepastian. Semakin kita dapat meragukan segala sesuatu maka semakin pastilah bahwa kita yang meragukan itu adalah ada dan bahkan semakin mengada (exist).
Dengan demikian tidak bisa dipungkiri lagi bahwa keraguan justru akan membuktikan keberadaan kita semakin nyata dan pasti. Semakin kita ragu maka kita akan semakin merasa pasti bahwa keraguan itu adalah ada, karena keraguan itu adanya pada diri kita maka sudah tentu kita sebagai tempat bercantolnya rasa ragu itu pasti sudah ada terlebih dahulu.
Meragukan sesuatu adalah berpikir tentang sesuatu, dengan demikian bisa dikatakan bahwa kepastian akan eksistensi kita bisa dicapai dengan berpikir. Descartes kemudian mengatakan cogito ergo sum atau kalau dalam bahasa aslinya dikatakan Je pense donc je suis yang artinya adalah aku berpikir maka aku ada.
Dengan metode keraguan ini, Descartes ingin mengokohkan kepastian akan kebenaran, yaitu “cogito” atau kesadaran diri. Cogito adalah sebuah kebenaran dan kepastian yang sudah tidak tergoyahkan lagi karena dipahami sebagai hal yang sudah jelas dan terpilah-pilah ( claire et distincte).
Cogito tidak ditemukan didalam metode deduksi ataupun intuisi, melainkan ditemukan didalam pikiran itu sendiri, yaitu sesuatu yang dikenali melalui dirinya sendiri, tidak melalui Kitab Suci, pendapat orang lain, prasangka ataupun dongeng dan lain-lain yang sejenisnya.
Karena ini sifatnya hanyalah sebuah metode maka tidak berarti Descartes menjadi seorang skeptis, melainkan sebaliknya Descartes ingin menunjukkan kepastian akan kebenaran yang kokoh jelas dan terpilah melalui metode yang diperkenalkannya ini.
Ide-ide bawaan dan substansi : Metode keraguan yang diperkenalkan Descartes telah menemukan cogito , yaitu kesadaran, pikiran atau subjektivas. Descartes menyebut pikiran tersebut sebagai ide bawaan yang sudah melekat sejak kita lahir kedunia ini atau dalam istilahnya disebut sebagai “res cogians”.
Descartes melanjutkan, bahwa dalam kenyataannya aku ini bukan hanya pikiran saja, melainkan bisa juga dilihat dan diraba, kejasmanianku ini bisa saja merupakan tipuan atau kesan yang telah menipu saya sejak lahir, namun demikian bukankah sudah sejak lahir itu pula kesan itu ada yang mana berarti kejasmanianku ini juga merupakan ide bawaan karena sudah terbawa sejak lahir.
Untuk menjelaskan maksudnya ini Descartes kemudian menyebutnya dengan istilah “res extensa” atau keluasan.
Merangkai cerita kejasmanian tersebut lalu kemudian Descartes menunjuk kepada dirinya sendiri dan mengatakan bahwa aku juga mempunyai ide tentang yang sempurna dan ide itu sudah ada didalam diriku dan sudah menjadi bawaanku. Kemudian tentang Tuhan, Tuhan juga merupakan ide bawaan.
Dalam masalah ide bawaan ini, Descartes secara ringkas mengatakan bahwa terdapat 3 buah ide bawaan, yaitu :
- Ide tentang pikiran
- Ide tentang keluasan (res extensa)
- Ide tentang Tuhan
Sekarang yang menjadi pertanyaan adalah apakah ketiga ide itu hanya ada didalam pikiran kita saja atau adanya berada diluar pikiran?
Mengenai yang pertama, tentang ide pikiran Descartes mengatakan bahwa cogito erfo sum atau aku berpikir maka aku ada, yang artinya berpikir adalah merupakan suatu substansi atau suatu kenyataan yang berdiri sendiri atau dengan kata lain berpikir itu adalah jiwa itu sendiri.
Mengenai yang kedua, tentang keluasaan Descartes mengatakan, tidak mungkin Tuhan yang maha sempurna itu menipu kita tentang adanya kejasmanian, karenanya bisa dikatakan bahwa kematerian adalah juga merupakan sebuah substansi.
Mengenai yang ketiga, tentang Tuhan Descartes mengatakan ketika kita memiliki ide tentang Tuhan, maka Tuhan itu ada dan karena Tuhan ada maka adanya itu sendiri haruslah merupakan substansi ontologis. Dalam hal ini nampaknya Descartes sejalan dengan Anselmus.
Hubungan Jiwa dan Badan : Descartes mengatakan bahwa aku itu terdiri dari dua substansi, yakni substansi jiwa dan substansi jasmani atau materi. Descartes selanjutnya membedakan antara substansi manusia dan hewan pada rasio atau jiwanya.
Descartes mengatakan, manusia memiliki kebebasan yang mana tidak dimiliki oleh hewan. Hewan dalam prilakunya selalu terbentuk secara otomatis, bukan dengan kebebasan karena hewan tidak memiliki jiwa sebagai dasar kemandirian substansi.
Adapun kesamaan antara hewan dan manusia adalah pada jasmani atau tubuhnya, karena itu bisa dikatakan bahwa sesungguhnya tubuh manusiapun sebenarnya berjalan secara otomatis dan tunduk kepada hukum-hukum alam.
Descartes selanjutnya menyebut tubuh adalah sebagai L`homme machine atau mesin yang bisa berjalan secara otomatis (berjalan sendiri). Badan bisa bergerak, bernafas, mengedarkan darah dan seterusnya tanpa campur tangan pikiran atau jiwa. Perbedaannya adalah kalau pada manusia mesin ini diatur atau dikontrol oleh jiwa sementara pada hewan mesin ini berjalan secara alami atau otomatis.
Bagaimana jiwa mengatur atau mengontrol tubuh (mesin), Descartes menjelaskannya dengan menunjukkan sebuah kelenjar kecil (glandula pinealis) yang ada di otak sebagai semacam jembatan. Dengan adanya kelenjar kecil yang berfungsi sebagai jembatan penghubung ini maka tubuh bisa merepleksikan aktifitas-aktifitas unik seperti gembira, bersedih, tertawa , murung dan lain-lain.
Etika
Dalam hal etika, Descartes mempunyai pandangan dualitas dimana disatu sisi dikatakan manusia bebas dan independen dan disisi lainnya dikatakan bahwa kebebasan tersebut tidak independen melainkan dituntun oleh Tuhan.
Descartes mengatakan, untuk mencapai jiwa yang bebas dan independen maka kita harus mengendalikan hasrat-hasrat yang ada didalam diri kita sehingga jiwa bisa menguasai tingkah laku kita sepenuhnya. Dengan menguasai atau mengontrol hasrat dan tingkah laku, manusia bisa memiliki kebebasan spiritual. Hal ini bisa terjadi karena hasrat dan nafsu seperti : cinta, kebencian, kekaguman, kegembiraan, kesedihan dan gairah dianggap sebagai keadaan pasif dari jiwa dan jika manusia mampu menaklukkan nafsu-nafsu ini maka dia akan bebas dan independen.
Akan tetapi kata Descartes, yang disebut bebas dan independen dalam pengertian otonomi tersebut bukanlah bebas mutlak melainkan bebas berdasarkan penyelenggaraan Ilahi.
Pandangan Filsafat Descartes terutama tentang dasar filsafat cogito nya, selanjutnya dipercaya sebagai tonggak dimulainya filsafat rasionalis. Dengan cogito Descartes mengandaikan bahwa pikiran atau kesadaran akan melukiskan kenyataan diluar pikiran kita, dengan kata lain keadaan diluar pikiran atau kenyataan yang kita temui diluar pikiran adalah bersumber dari pikiran atau kesadaran diri kita. Dengan cara menyadari kesadaran diri kita sendiri maka kita akan mengenal dunia diluar diri kita.
Pandangan Descartes tersebut dikemudian hari malah menimbulkan problem yang sangat mendasar, jika dikatakan bahwa pikiranlah yang melukiskan kenyataan diluar pikiran, namun pada kenyataan tidak disemua lukisan akan menampilkan kenyataan.
Dengan kata lain, Descartes hanya berpijak kepada salah satu alat sementara alat yang lainnya ( kenyataan material ) diabaikan. Descartes beranggapan bahwa hanya dengan rasio atau kesadaran (cogito) maka kita akan mengenali diri dan pikiran kita, sementara kenyataannya kita masih melihat adanya ada lain di alam kenyataan.
Sebagaimana yang telah kita bicarakan sebelumnya bahwa bagi kelompok peragu (skeptism) jawaban “Saya tidak tahu” adalah dianggap sudah menjadi ketentuan pengetahuan dan nasib manusia. Menurut mereka, manusia tidak mungkin dapat mengetahui sesuatu dengan pasti.
Tidak tahu
Pyrho misalnya, ia mempertanyakan permasalahan ini dengan memberikan beberapa argumen ‘rasional’ pada masanya. Dia mengatakan “Jika manusia ingin mengetahui dan memahami sesuatu, bukankah manusia hanya memiliki 2 alat epistemologi untuk mengetahui dan mengenali alam disekitarnya, yaitu panca indra dan rasio”. Sekarang saya bertanya kepada anda, “Apakah panca indra dapat berbuat kesalahan atau tidak?” , saya yakin anda akan mengatakan bahwa pancaindra dapat membuat kesalahan, saya bahkan mampu menunjukkan lebih dari 100 macam kesalahan yang telah pernah diperbuat oleh panca indra.
Bahkan boleh jadi kita sudah tak mampu menghitung jumlah kesalahan yang pernah diperbuat oleh alat penglihatan, pendengaran, penciuman, dan peraba kita.
Pyrho kemudian mengatakan, bagaimana mungkin kita bisa bersandar atau berpegangan kepada susuatu yang bisa berbuat salah dan menjadi salah sebagai dasar pengetahuan.
Ketika anda melihat tongkat yang lurus menjadi seolah-olah bengkok ketika dimasukkan kedalam kolam, maka pastilah penglihatan anda terhadap penomena bayangan dikolam tadi adalah salah. Pertanyaannya adalah bagaimana anda mau berpegangan kepada sesuatu yang salah? Bagaimana kita bisa mempercayai bahwa penglihatan kita terhadap yang lain juga tidak salah?
Rasio bahkan telah melakukan kesalahan lebih banyak dari pada kesalahan yang telah diperbuat oleh panca indra. Pada beberapa percobaan dan argumen, ilmuwan justru telah banyak melakukan kesalahan. Suatu hari dikatakan yang yang terkecil adalah atom, hari lainnya dikatakan netron. Suatu hari dikatakan matahari yang mengelilingi bumi, hari lainnya dikatakan bumilah yang mengelilingi matahari. Suatu hari dikatakan bumi ini datar, dilain hari dikatakan bumi ini bulat dan seterusnya.
Dengan demikian jelaslah sudah, bahwa panca indra dan rasio adalah 2 alat yang tidak bisa terlepas dari salah sementara kita tidak memiliki alat yang lain selain dari kedua hal tersebut. Oleh karena itu, apapun yang kita lihat dan apapun yang kita pikirkan dengan menggunakan pancaindra dan rasio, maka kesemua itu tidak akan terlepas dari salah. Jadi kesimpulannya, kita TIDAK BISA MEMPERCAYAI panca indra dan rasio untuk dijadikan sandaran pengetahuan,karenanya kita tidak mempunyai sandaran maka secara otomatis kita sebagai manusia tidak mungkin bisa mengetahui segala sesuatu itu dengan pasti. Kembali, “SAYA TIDAK TAHU” adalah sudah menjadi ketentuan nasib manusia.
Mereka yang skeptis mengatakan bahwa tidak ada satupun yang bisa dijadikan landasan untuk mengatakan bahwa kita mampu untuk mengetahui segala sesuatu itu dengan pasti. Mereka mengatakan bahwa semua hal yang ada di alam semesta ini hanyalah berupa spekulasi saja, tidak ada kepastian didalamnya.
Menjawab Mereka
Kita masih ingat, bagaimana Pyrho dan mereka-mereka yang skeptis mengatakan “Jika manusia ingin mengetahui dan memahami sesuatu, maka manusia hanya memiliki 2 alat epistemologi untuk mengetahui dan mengenali alam disekitarnya, yaitu panca indra dan rasio. Bukankah panca indra dan rasio dapat berbuat kesalahan? Dan karena pancaindra dan rasio tidak terlepas dari kesalahan maka tidak logis kalau kita berpegang kepada sesuatu yang salah dan kemudian mengatakan bahwa kita mampu untuk mengetahui hakikat sesuatu itu.
Kepada Pyrho dan orang-orang yang berpendapat seperti Pyrho kita katakan bahwa, Betul panca indra dan akal dapat melakukan kesalahan, tetapi potensi kesalahan yang bisa terjadi kepada 2 alat epistemologi tersebut tidaklah secara serta merta akan menjadikan nasib manusia untuk tidak mungkin mengetahui hakikat sesuatu secara pasti.
Dikatakan bahwa mata dapat melakukan kesalahan, tongkat yang lurus dimasukkan kekolam terlihat bengkok. Ketika bangun tidur terkadang kita melihat bantal seperti selimut, melihat selimut seperti undukan bantal dan seterusnya.
Sekarang mari kita tanyakan kepada mereka yang skeptis, apakah ketika mereka menyaksikan kayu yang bengkok dikolam itu mereka langsung MENGETAHUI secara pasti bahwa penglihatannya adalah salah dan itu hanyalah sebuah kekeliruan (baca : karena sesungguhnya kayu tidak bengkok) atau mereka MERAGUKAN penglihatan mereka sendiri dan setengah percaya dengan penglihatan mereka sendiri.
Mereka yang menyaksikan bantal terlihat seperti selimut dan selimut terlihat seperti bantal tersebut, apakah mereka MENGETAHUI secara pasti bahwa mereka salah lihat atau mereka hanya MENDUGA salah lihat.
Tentu mereka akan menjawab, mereka MENGETAHUI bahwa mata telah melakukan kekeliruan. Tidak mungkin tongkat yang lurus jadi bengkok hanya karena dicelupkan kedalam air. Tidak mungkin bantal berubah jadi selimut dan selimut berubah jadi bantal, yang terlihat sewaktu bangun tidur tadi hanyalah karena mata belum bisa berfungsi langsung sempurna 100% sehingga apa yang terlihat oleh mata pastilah sebuah kekeliruan.
Jika demikian jawabannya, maka sesungguhnya mereka sendiri sudah mampu membuktikan bahwa manusia mampu memperoleh pengetahuan dan kepastian tentangnya. Manusia mampu memastikan bahwa dia salah lihat dan juga mampu memastikan bahwa tongkat tersebut sesungguhnya adalah lurus dan tidak bengkok sebagaimana yang disaksikan oleh mata.
Jika kita sudah mampu membedakan mana yang SALAH dan mana yang BETUL, maka sesungguhnya kita telah mampu mencapai hakikat kebenaran. Dengan kata lain, jika seseorang belum sampai kepada hakikat kebenaran maka dia tidak akan mengetahui semua kekeliruan yang ada didepan matanya sendiri.
Dengan demikian, saya berpendapat bahwa sesungguhnya manusia dalam beberapa hal mampu mengetahui hakikat kebenaran itu 100% dan dalam hal lainnya tidak akan mampu mengetahuinya.
Karena demikian, maka tidak logis kalau mereka yang skeptis itu memukul rata semua persoalan. Hanya karena tidak mampu mengetahui suatu hal maka dikatakan sudah nasib manusia untuk tidak bisa mengetahui segala sesuatu secara pasti.
Aristoteles adalah orang yang pertama sekali memahami sederet persoalan yang tidak ada hubungannya dengan pengetahuan yang sudah dikenal pada masa itu seperti matematika, etika, sosial, pengetahuan alam ataupun logika.
Metafisika dan filsafat
Persoalan persoalan yang ditemukan ini disadarinya sebagai inti dari semua yang daripadanya kemudian diketahui hubungan dan keterpisahan persoalan suatu ilmu dengan ilmu yang lainnya.
Persoalan ilmu ini dikemudian hari semakin luas seiring dengan pengamatan yang semakin intensif terhadapnya. Sehingga Aristoteles merasa perlu untuk memisahkan ilmu ini dari ilmu-ilmu yang sudah dikenal saat itu karena ilmu ini memiliki sisi khusus disisi berbagai ilmu lainnya. Tetapi perlu diingat, bahwa saat itu Aristoteles tidak memberikan nama untuk jenis ilmu ini sampai dia meninggal.
Setelah Aristoteles meninggal barulah orang-orang mengumpulkan hasil karyanya ini dan disusun dalam sebuah ensiklopedia. Dari sisi urutannya, bahasan yang belum diberi nama tadi terletak setelah bagian ilmu fisika (ilmu alam) . Dari urutan tadi dan dikarenakan memang belum diberi nama, maka mereka saat itu memberikannya nama sesuai dengan urutannya, yaitu ’setelah fisika’ atau ‘metafisika’ , yang terambil dari kata ‘meta’= setelah dan ‘fisika’ = fisika.
Namun apa yang terjadi kemudian sebagaimana yang kita saksikan sekarang, lambat laun orang-orang mulai lupa akan ‘cerita penamaan’ terhadap ilmu (metafisika) ini. Mereka lupa bahwa nama metafisika adalah penamaan terhadap ilmu yang di urutkan berdasarkan ensiklopedia yang berarti ’setelah fisika’. Setelah pembahasan filsafat rendah (filsafat fisika ) dan BUKAN karena ilmu ini semata-mata membahas Akal Murni, Tuhan dan segala sesuatunya yang diluar jangkauan ilmu alam (fisika). Karena kalau alasannya adalah karena ilmu ini membahas tentang ketuhanan saja, maka seyogyanya ilmu ini dinamakan PROFISIKA atau ’sebelum fisika’ , karena Tuhan sesungguhnya jauh sebelum adanya alam dan fisika, dan bukan sesudahnya.
Karena kekeliruan dalam pendefinisian verbal itu, maka sampai sekarang masih banyak ilmuwan barat yang mengatakan bahwa ilmu metafisika adalah ilmu yang mempelajari segala sesuatu yang berhubungan dengan ketuhanan atau sesuatu yang tidak bisa dilihat dan diraba secara fisik / terpisah dari alam material.
Padahal jelas Aristoteles sendiri tidak menamakan demikian terhadap fenomena keterhubungan dan keterpisahan antara satu ilmu dengan yang lainnya itu yang diketahui sebagai pusat faktor keterkaitan dan keterpisahan antara alam materi dan non materi.
Penyederhanaan kalaupun tidak mau dikatakan sebagai penyimpangan makna seperti ini terjadi juga pada kata ‘filsafat’ , bahkan lebih ngacau lagi …
Coba kita perhatikan apa yang terjadi disekitar kita sekarang ini, filsafat yang tadinya berarti semua ilmu pengetahuan yang bisa dicerna oleh rasio (selain wahyu Tuhan) kini menyempit artinya menjadi nama dari satu disiplin ilmu khusus yang membahas tentang metafisika, etika, logika, estetika atau yang lainnya.
Darimanakah ‘kekeliruan’ ini bermula? Mari kita simak apa yang terjadi di abad 16 ketika Rene Descartes dari Perancis dan Francis Bacon dari Inggris mengumandangkan sanggahan mereka terhadap metode deduktif (silogistik) , dimana mereka berpendapat bahwa apa-apa yang tidak bisa dibuktikan dengan eksperimen maka semua ke apaan itu adalah tidak masuk akal, tidak termasuk kedalam ilmu yang dikatagorikan sebagai ilmu yang mempunyai kebenaran. Dan dengan sendirinya ilmu semacam itu diangap tidak berlaku karena tidak mempunyai kaidah dasar yang jelas. Dan bukan itu saja, kelompok ini bahkan kemudian mencoret ‘kepala kodi’ ( kepala ilmu) yang paling agung itu. Menurut mereka tidak ada itu yang namanya filsafat utama, filsafat tinggi, metafisika atau apapun namanya.
Setelah kelompok yang menentang keras filsafat tinggi ini ada juga kemudian kelompok lainnya yang sedikit lebih bersahabat dengan metode silogisme. Mereka mengatakan bahwa apa apa yang BISA dibuktikan dengan eksperimen mereka sebut dengan ilmu ’science’ dan apa apa yang harus menggunakan metode silogisme seperti metafisika, etika, estetika, logika dan akhlak mereka namakan filsafat.
Disini dan dari sinilah penyempitan definisi verbal itu mulai terjadi, dimana filsafat yang tadinya didefinisikan oleh cendikiawan kuno sebagai nama umum untuk semua ilmu pengetahuan yang bisa dicerna oleh rasio, yaitu filsafat tinggi (teologi), filsafat menengah (matematika) dan filsafat rendah (fisika), kini menyempit menjadi nama khusus untuk ilmu yang membahas etika, estetika, dan logika. Alhasil terjadilah pemisahan antara filsafat dan Ilmu pengetahuan akibat kekeliruan definisi verbal ini.
Ini sangat menggangu khasanah ke ilmu-an, karena yang dipotong bukan saja arti verbalnya tapi sudah menjadi salah kaprah. Perpisahan ini bukan hanya pada istilah tapi juga ‘isi’.
Berbeda dengan ilmu-ilmu kuno lainnya semisal Ilmu kedokteran, ilmu kedokteran kuno demikian dan ilmu kedokteran modern begini, ilmu botani kuno begini dan modern begitu. perbedaannya hanya kepada jenis alat yang dipakai dan metode aplikasinya. Tetapi tetap sama-sama ilmu kedokteran dan ilmu botani. Sedangkan filsafat BEDA JAUH, terjadi perbedaan antara filsafat kuno dan filsafat modern dalam arti yang terpisah, filsafat kuno membahas semua hal dan filsafat modern membahas hal khusus.
Dibarat dewasa ini filsafat – khususnya metafisika – dianggap bukanlah sebagai sains. Sebagaimana yang dikatakan August Comte, bahwa filsafat dalam bentuk metafisika adalah fase kedua dalam perkembangan manusia, setelah agama yang disebut sebagai fase pertamanya.
Sains dan filsafat
Adapun yang disebut dengan fase ketiga atau fase yang paling modern dalam perkembangan manusia adalah sains yang bersifat positivistik ( yang dapat dilihat oleh indra lahir manusia ).
Dan karena sains merupakan perkembangan terakhir – fase ketiga- maka manusia modern harus meninggalkan fase-fase sebelumnya yang dianggap sudah kuno seperti fase agama -teologis- dan metafisika filosofis jika ingin tetap bisa dikatakan sebagai manusia modern.
Berbeda dengan apa yang terjadi dibarat, dalam tradisi ilmiah Islam filsafat tetap dipertahankan hingga kini dalam posisi ilmiahnya yang tinggi sebagai sumber atau basis bagi ilmu-ilmu umum yang biasa kita sebut sebagai sains, yakni cabang-cabang ilmu yang berkaitan dengan dunia empiris, dunia fisik.
Dalam tradisi Islam, Filsafat adalah induk dari semua ilmu yang menelaah ilmu rasional (aqliyyah) seperti metafisika, fisika dan matematika. Adapun ’sains’ dalam tradisi ilmiah Islam adalah termasuk kedalam kelompok ilmu rasional dibawah ilmu-ilmu fisik, sehingga mau tidak mau sains harus tetap menginduk kepada filsafat, khususnya kepada metafisika filsafat. Alih-alih sains dikatakan terlepas dari filsafat sebagaimana yang disinyalir oleh August Comte, filsafat justru dipandang sebagai induk dari sains.
Para Filosof Muslim memandang bahwa terdapat sumber abadi dan sejati bagi segala apapun yang ada dijagad raya ini, yang pada gilirannnya akan dijadikan sebagai objek penelitian ilmiah. Sumber sejati ini penting dibicarakan untuk mengetahui asal usul dari objek apapun yang akhirnya kita pilih untuk diteliti, tak terkecuali objek-objek fisik. Tanpa sumber sejati seperti yang disebutkan diatas maka tidak mungkin ada apapun yang bisa kita jadikan sebagai objek penelitian kita.
Tuhan, itulah sumber sejati yang dimaksud, darimana segala sesuatu itu berasal.
Dalam Islam, alam raya ( yang akan dijadikan objek penelitian oleh sains) disebut sebagai ayah/ayat atau tanda-tanda Tuhan. Menurut Muhammad Iqbal, alam tak lain adalah medan kreativitas Tuhan. Oleh karena itu barang siapa saja yang meneliti dan mengadakan kajian terhadap alam semesta, maka sesungguhnya dia sedang melakukan penelitian terhadap cara Tuhan bekerja dalam penciptaan atau dalam bahasa yang lebih populer, maka sesungguhnya orang (sains) tersebut sedang melakukan penelitian tentang sunnatullah.
Dengan melihat apa yang dikatakan Muhammad Iqbal tersebut, maka seharusnya setiap orang yang mengadakan kajian dan penelitian terhadap alam maka seyogyanya makin bertambahlah kepercayaannya (imannya) kepada sang Pencipta (Tuhan) dan bukan malah sebaliknya seperti yang sering terjadi didunia barat dimana mereka malahan berusaha menyingkirkan Tuhan dari arena penelitiannya.
Selain sebagai basis metafisik ilmu (sains), filsafat juga bisa dijadikan sebagai basis moral bagi ilmu dengan alasan bahwa tujuan menuntut ilmu dari sudut aksiologis adalah untuk memperoleh kebahagiaan bagi siapa saja yang menuntutnya.
Filsafat, khususnya Metafisika adalah ilmu yang mempelajari sebab pertama atau Tuhan, yang menempati derajat tertinggi dari objek ilmu. Oleh karena itu sudah semestinyalah jika metafisika dijadikan basis etis peneletian ilmiah karena ilmu ini akan memberikan kebahagiaan kepada siapa saja yang mengkajinya.
Perlu kita ingat kembali, bahwa dalam tradisi ilmiah Islam, filsafat disebutkan sebagai sumber segala ilmu rasional (aqli) seperti matematika, fisika dan metafisika serta sub-devisi-sub-devisi mereka seperti :
Sub-devisi Matematika :
Aritmatika-Geometri-Aljabar-Musik-Astronomi dan Teknik.
Sub-devisi Fisika :
Minerologi-Botani-Zoologi-Anatomi-Kedokteran dan Psikologi
Sub-devisi Metafisika :
Ontologi-Teologi-Kosmologi-Antropologi-Eskatologi.
Aritmatika-Geometri-Aljabar-Musik-Astronomi dan Teknik.
Sub-devisi Fisika :
Minerologi-Botani-Zoologi-Anatomi-Kedokteran dan Psikologi
Sub-devisi Metafisika :
Ontologi-Teologi-Kosmologi-Antropologi-Eskatologi.
Maka dari itu, tidaklah mengherankan kalau filosof besar jaman dulu seperti Ibnu Sina dan Mulla Sadra menguasai bukan hanya metafisika filsafat tetapi juga seluruh cabang ilmu rasional dan sub-devisi-sub-devisinya. Tiba kepada kita sekarang ini, bagaimana mungkin kebanyakan dari mereka (orang barat) malah menyingkirkan induk ilmu (filsafat) itu dari sains yang jelas-jelas merupakan anak kandung dari filsafat iitu sendiri.
Sekarang kita akan melihat secara umum, bagaimanakah sebenarnya hubungan antara filsafat dengan mistisisme, yang dalam konteks filsafat Islam disebut dengan tasawuf.
tasawuf dan filsafat
Tasawuf dipahami sebagai mistisisme Islam -kadang disebut juga Sufisme- (karena dinisbatkan kepada ahli tasawwuf yang disebut sufi). Tasawuf dimasukkan oleh Ibn Khaldun ke dalam kelompok ilmu-ilmu naqliyyah (agama). Sebagai salah satu ilmu naqliyyah, maka tasawuf, didasarkan pada otoritas, yaitu Al-Qur’an dan Hadits, dan bukan pada nalar rasional seperti filsafat.
Tasawuf dan Filsafat memang bisa kita bedakan, karena sementara yang pertama bertumpu pada wahyu dan penafsiran esoterik (batini) sedangkan yang kedua bertumpu pada akal.
Meskipun begitu, tidak selalu berarti bahwa kedua disiplin ini bertentangan satu sama lainnya. Walapun untuk kebanyakan orang, filsafat akan terasa aneh karena mereka hanya menafsirkan agama secara harfiah atau eksoterik.
Menurut Ibn Rusyd, kalau terkesan bahwa filsafat seolah-olah bertentangan dengan agama, maka kita harus melakukan ta’wil kepada naskah-naskah agama. Alasannya adalah karena naskah-naskah agama bersifat simbolis dan kadang memiliki banyak makna.
Dari sudut boleh tidaknya penafsiran eksoterik atau ta’wil, maka filsafat dan tasawuf, seiya-sekata. Tetapi dilihat dari metode penelitiannya maka keduanya berbeda.
Filsafat memanfaatkan dimensi rasional pengetahuan, sementara tasawuf dimensi spiritual. Namun, karena keduanya (dimensi rasional dan spiritual) adalah dimensi sejati dari kebenaran sejati yang sama, maka keduanya berpotensi untuk saling melengkapi.
Menurut Al-Farabi dan Ibn Sina, sumber pengetahuan para filosof dan para nabi (termasuk para sufi), adalah sama dan satu, yaitu akal aktif (al-’aql al-fa’al), atau malaikat Jibril dalam istilah agamanya. Hanya saja sementara para filosof mencapai pengetahuan darinya (akal aktif) melalui penalaran akal-beserta latihan yang intensif, sementara para Nabi (sufi) memperolehnya secara langsung tanpa perantara.
Sementara itu, untuk memperoleh pengetahuan para filosof menggunakan penalaran diskursif, para Nabi (sufi) menangkapnya lewat daya mimitik imajinasi (menurut Al-Farabi) atau akal suci atau intuisi (menurut Ibn Sina).
Sehingga bisa kita saksikan bahwa, bahasa filsafat bersifat rasional, sementara bahasa profetik/mistik bersifat simbolis dan mistis. Namun menurut kedua filosof muslim tersebut, baik filsafat maupun tasawuf berbicara tentang kebenaran yang sama. Hanya saja mereka menggunakan cara dan bahasa yang berbeda.
Perbedaan yang mencolok antara modus pengenalan rasional dan pengenalan intuitif atau mistik adalah, bahwa pengetahuan akal membutuhkan “perantara”, berupa konsep atau representasi-semisal kata-kata atau simbol-untuk mengetahui objek yang ditelitinya. Dan mungkin karena itu, maka modus pengenalan rasional (falsafi) disebut ilmu hushuli (acquired knowledge).
Untuk mengetahui pikiran seorang misalnya, kita harus mempelajari pikiran-pikirannya dengan membaca tulisan-tulisan atau mendengarkan ceramah-ceramahnya. Berbeda, tentunya, dengan orang itu sendiri, ketika ia ingin memahami pemikiran-pemikirannya sendiri, ia tidak perlu atau tergantung pada kata-katanya, karena orang itu dapat memahaminya dengan begitu saja, tanpa representasi apapun.
Oleh karena sifatnya yang tidak langsung itulah, maka pengetahuan rasional tidak bisa betul-betul menangkap objeknya secara langsung. Modus pengetahuan seperti itu, menurut Rumi, akan sama dengan orang yang berusaha memetik setangkai bunga mawar dari “M.A.W.A.R.”
Anda, kata Rumi, “tidak akan mampu memetik mawar dari M.A.W.A.R., karena anda baru menyebut namanya. Cari yang empunya nama!”.
Berbeda dengan modus pengenalan rasional, pengenalan intuitif atau mistik (seperti yang dialami oleh para Sufi atau nabi) bersifat langsung, dalam arti tidak butuh pada simbol atau representasi apapun. Ia tidak butuh pada bacaan, huruf atau bahkan konsep dan sebangsanya.
Contoh yang mudah dari pengenalan seperti ini adalah, misalnya, pengetahuan kita tentang diri kita sendiri, atau yang biasa disebut self-knowledge. Untuk mengetahui diri kita sendiri, apakah kita perlu perantara, seperti halnya ketika kita hendak mengerti orang lain? Tentu saja tidak.
Kita tahu tentang diri kita-dengan begitu saja, karena keinginan kita dengan diri kita adalah satu dan sama. Pikiran kita misalnya, bahkan bisa dikatakan telah menyatu dengan diri kita. Ia hadir dan dan tidak bisa dipisahkan lagi dari diri kita. Itulah sebabnya, mengapa modus pengenalan ini disebut ilmu hudhuri (knowledge by presence / presential knowledge).
Karena objek yang diteliti (misalnya pikiran atau keinginan) telah hadir dalam diri kita, bahkan telah menyatu dalam diri kita, maka terjadi kesatuan (identitas) antara subjek dan objek, antara yang berpikir dengan yang dipikirkan, antara alim dan maklum. Akibatnya, maka pengetahuan kita tentang objek tersebut (yang tidak lain dari pada diri kita sendiri) adalah sama dan satu. Di sini kita mengalami bahwa “mengetahui” (to know) adalah sama dengan “ada” itu sendiri (to be).
Meskipun tasawuf dikategorikan oleh Ibn Khaldun sebagai ilmu naqliyyah (agama) dan karena itu berdasarkan pada otoritas, namun menurut kesaksian Ibn Khaldun sendiri dalam Al Muqaddimah-nya, Tasawuf, pada perkembangan berikutnya, telah banyak memasuki dunia filsafat , sehingga sulit bagi keduanya untuk dipisahkan.
Dalam kasus filsafat suhrawardi, misalnya, kita bisa melihat bahwa tasawuf bahkan telah dijadikan dasar bagi filsafatnya, sehingga orang menyebutnya filosof mistik (muta’allih). Sementara pada diri Ibn “Arabi, kita melihat analisis yang sangat filosofis merasuki hampir setiap lembar karya-karyanya. Sehingga tasawufnya sering disebut tasawuf falsafasi. Pada masa berikutnya, kita tahu bahwa Mulla Shadra, pada akhirnya telah dapat mensintesiskan keduanya, dalam apa yang kita sebut filsafat Hikmah Muta’aliyyah, atau teosofi transenden. Disini, unsur-unsur filosofis dan mistik berpadu erat dan saling melengkapi satu sama lain.
Sebagaimana yang telah kita ketahui bersama, bahwa telah terjadi hujatan dan penentangan yang begitu keras dan sekaligus membabi buta dari beberapa kalangan mengenai kehadiran filsafat ke dalam kajian/wilayah agama. Mereka mengatakan filsafat sangat bertentangan dengan ajaran agama, khususnya agama Islam.
filsafat dan agama
Mengutip apa yang dikatakan oleh Al-Kindi, bahwa filsafat dan agama sesungguhnya adalah sama-sama berbicara dan mencari kebenaran, dan karena pengetahuan tentang kebenaran itu meliputi juga pengetahuan tentang Tuhan, tentang keesaan-Nya, tentang apa yang baik dan berguna, maka barang siapa saja yang menolak untuk mencari kebenaran dengan alasan bahwa pencarian seperti itu adalah kafir, maka sesungguhnya yang mengatakan kafir tersebutlah yang sebenarnya kafir.
Diantara filsuf muslim yang paling peduli untuk menjawab perihal hubungan filsafat dengan agama ini adalah Ibn Rusyd. Ibn Rusyd bahkan menulis sebuah karya khusus untuk menjelaskan bagaimana sesungguhnya dan seharusnya hubungan antara filsafat dan agama. Menurut Ibn Rusyd, antara filsafat dan agama sesungguhnya tidak ada pertentangan. Agama alih-alih melarang, bahkan justru mewajibkan pemeluknya untuk belajar filsafat.
Jika filsafat mempelajari secara kritis tentang segala wujud yang ada dan merenungkannya sebagai petunjuk ‘dalil’ adanya sang pencipta dari satu sisi dan syari’ah pada sisi yang lain telah memerintahkan untuk merenungkan segala wujud yang ada, maka sesungguhnya antara apa yang dikaji oleh filsafat dan apa yang dianjurkan oleh syari’ah telah saling bertemu. Dengan kata lain bisa dikatakan bahwa mempelajari filsafat sesungguhnya telah diwajibkan oleh syari’ah.
Penekanan al’quran didalam surat 59 ayat 2 yang berbunyi : “Fa’tabiru ya uli al abshar” (Renungkanlah olehmu, wahai orang-orang yang mempunyai pandangan (visi)) sesungguhya lebih kepada penekanan pentingnya untuk menggunakan akal, atau gabungan antara penalaran intelektual (filsafat) dan penalaran hukum (syari’at).
“Dan apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi dan segala sesuatu yang diciptakan Allah”
Juga adalah ayat yang menganjurkan supaya manusia menggunakan akal dan penalarannya untuk mempelajari totalitas wujud. Dengan demikian maka sesungguhnya syari’at telah mewajibkan kepada kita untuk menggali pengetahuan tentang alam semesta ini dengan penalaran. Namun demikian, untuk bisa melakukan penalaran yang benar maka disyaratkan seseorang itu harus mengetahui terlebih dahulu beberapa metode atau cara berpikiran yang logis dengan mempelajari ilmu logika supaya bisa melakukan pembuktian yang demonstratif.
Ibn Rusyd kemudian membandingkan kewajiban mempelajari ilmu logika sebagai alat untuk berfilsafat dengan kewajiban yang ditetapkan oleh para fuqaha untuk mempelajari katagori-kategori hukum yang termuat dalam ushul al-fiqh.
Ibn Rusyd menyatakan jika para fuqaha menyimpulkan kewajiban untuk memperoleh pengetahuan tentang penalaran hukum dari ayat “fa’tabiru ya uli al abshar”, maka alangkah lebih pantas jika ayat tersebut dijadikan sebagai dalil wajibnya untuk mempelajari pengetahuan rasional (rasional reasoning) bagi mereka yang ingin mengetahui Tuhan dan ciptaan-Nya.
Bagi mereka yang tetap ngotot mengatakan bahwa belajar filsafat tersebut adalah bid’ah, Ibn Rusyd mengatakan, “anggaplah filsafat itu bid’ah karena tidak terdapat dikalangan orang-orang Islam pertama (salaf). Tetapi apakah hal serupa tidak berlaku juga bagi studi penalaran hukum (ushul al-fiqh) yang tercipta juga setelah periode salaf.
Bagaimana mungkin jika yang satu dikatakan tidak bid’ah tetapi yang lainnya dikatakan bid’ah padahal keduanya membicarakan penalaran hukum dan penalaran rasional yang sama-sama diciptakan setelah periode salaf.
Filsafat Islam dewasa ini menjadi domain wacana dan tema diskusi yang kuat di kalangan pemikir (pemerhati filsafat) di Timur maupun di Barat. Setidaknya hal ini terjadi pada abad ke-19 hingga kini.
Sebut saja orang-orang seperti Adam Mez, Henry Corbin, Goldziher, Hitti, HAR. Gibb, atau Seyyed Hossein Nasr, Fazlur Rahman, Joel Kraemer, dan belakangan Oliver Leaman serta beberapa ahli filsafat muslim yang ada di Eropa lainnya ikut mengkaji filsafat Islam secara intens.
Adapun sebelumnya, wacana filsafat Islam seringkali tidak terjamah bahkan mungkin hampir ditiadakan baik itu di kalangan pemikir Barat, maupun dalam sebagian tradisi Islam sendiri.
Filsafat Islam dipandang sebagai sebuah objek yang asing dan serangkaian ilmu import yang harus dilawan dan diperlakukan sebagai anak yatim oleh para sarjana Barat terutama para sejarawan kuno.
Referensi yang selama ini dirujuk oleh para sarjana Barat ketika menghubungkan antara Kebangkitan (Renaissance) di Eropa adalah tradisi keilmuan Yunani yang dikenal dengan zaman logos. Hal ini sangat kuat diyakini terutama dalam cara pandang tentang kehidupan yang dilandasi oleh pemikiran filosofis Yunani. Selalu saja rujukan awal yang dicari adalah para pemikir seperti Socrates, Plato, dan Aristoteles.
Memang hal ini bukanlah sebuah kesalahan fatal. Namun ketika hal tersebut tidak pernah dikaitkan dengan kejayaan yang pernah diraih oleh Islam –dan kita tahu bahwa Islam sangat banyak menyumbangkan pemikiran dan kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan, filsafat, sejarah, dan beberapa bidang lainnya–, ada keterputusan-sejarah yang pada akhirnya menyebabkan kerancuan-ilmiah dalam memandang filsafat secara umum terutama dalam filsafat Barat pasca Renaissance. Karena pada dasarnya ada kotinuitas-historis yang tidak bisa kita abaikan.
Ketika Islam mengalami kejayaan peradaban pada abad ke-9 hingga abad ke-11, dunia Islam sendiri mengakui adanya andil besar gelombang helenisme yang lebih awal dalam mengais kemajuan peradaban. Dalam hal terakhir ini, pengaruh pemikiran Plato, Aristoteles, dan beberapa tokoh lain, coba ditafsirkan oleh para filosof muslim awal seperti al-Farabi, Ibn Sina, dan Ibn Rusyd.
Hasan Hanafi mencoba mendongkrak asumsi-asumsi salah yang dilancarkan para pengkaji filsafat Islam, baik dari kalangan Islam sendiri, maupun dari kalangan orientalis. Menurut Hanafi, selama ini mereka menduga bahwa para filosof muslim hanya melakukan pembacaan terhadap filsafat Yunani, kemudian mengikuti, melakukan anotasi, dan meringkas karya para filsuf Yunani, serta mencampuradukkannya dengan filsafat Islam, dengan memperburuk pemahaman tentang konsep-konsep filosofis.
Namun saya kira, tradisi Yunani pun tidak bisa lepas dari perkembangan tradisi filsafat Timur-Dekat sebagai pendahulunya. Secara genuin, Joel L. Kraemer menjelaskan bahwa filosof-filosof Yunani pra-Socrates seperti Empedokles, umpamanya, dikatakan telah belajar kepada Luqman “sang filosof” (Luqman al-Hakim) di Syro-Palestina pada masa Nabi Daud; atau Pythagoras diyakini telah belajar fisika dan metafisika pada murid-murid Nabi Sulaiman di Mesir, dan belajar geometri pada orang-orang Mesir. Kemudian para filosof semacam ini membawa tradisi “filosofis” yang mereka serap dari Timur menuju Yunani, untuk dikembangkan lebih lanjut.
Ada khazanah yang cukup berharga dari temuan-temuan pada filsafat Islam yang selama ini tidak diakui oleh filosof dan pemerhati filsafat di Barat. Padahal Islam sendiri memiliki tradisi keilmuan yang begitu kokoh, terutama pada abad pertengahan. Atau mungkin sebenarnya mereka banyak mengambil khazanah pemikiran filsafat Islam, namun mereka enggan untuk mengakui keberadaannya secara ontologis dalam rentetan sejarah peradaban dunia.
Tradisi filsafat : Menurut Majid Fakhry, tradisi filsafat bermula muncul di pesisir Samudera Mediterania bagian Timur pada abad ke-6 Sebelum Masehi. Sedangkan bagian Timur ini merupakan wilayah Asia .
Oleh karenanya dalam dunia filsafat terkenal adanya istilah “kearifan timur” sebagai the ancient wisdom, karena memang awal mula munculnya tradisi filsafat adalah dari dunia Timur. Lalu dari Asia Minor yang berada di Barat Asia berpindah ke Aegen –yang bagian Utara dan Baratnya adalah daratan Yunani. Beberapa abad lamanya, tanah Yunani inilah yang menjadi tempat bersemainya filsafat.
Tradisi filsafat mulai merambah kembali ke daerah Timur ketika Iskandar Agung berkuasa sekitar 332 SM di Iskandariah, dan memuncak pada 529 M . Iskandariah merupakan bagian dari Mesir saat ini. Lalu ketika Mesir takluk pada bangsa Arab pada 641 Munasabah di bawah pimpinan ‘Amr bin ‘Ash, Iskandariah tetap menjadi kota budaya yang mengembangkan tradisi filsafat, sains, dan kedokteran.
Perdebatan rasional-filosofis dalam tradisi Islam sebenarnya sudah dimulai pada permulaan abad munculnya Islam, yakni sekitar akhir abad ke-6 dan ke-7 yang diawali oleh aliran-aliran teologis dalam Islam, terutama aliran Mu’tazilah. Namun pembahasan yang mereka lakukan hanya terbatas pada permasalahan ketuhanan dalam bingkai agama. Permasalahan lain seperti realitas alam, manusia, dan kehidupan belum banyak mereka bicarakan dengan pemikiran yang radikal.
Pengaruh filsafat Yunani yang cukup signifikan terjadi pada corak pemikiran filosofis Islam, berlangsung melalui proses penerjemahan, transferensi, dan anotasi yang dilakukan oleh tokoh-tokoh filosof muslim. Banyak sekali buku-buku yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dan cukup mempengaruhi corak pemikiran para filosof muslim, di antaranya Timaeus karya Plato; Analytica Posteriora, Categories, Hermeneutica, Generation and Corruption dan Nicomachean Ethics karya Aristoteles; Isagoge karya Porphyry, dan Synopsis of the Ehtics karya Galen. Semua itu dilakukan pada masa kekuasaan ‘Abbasiyah.
Tradisi penulisan filsafat secara sistematis baru dimulai pada abad ke-9 di kawasan masyriq Islam, oleh Abu Yusuf Ya’qub al-Kindi (w. 866 M ). Lalu berlanjut pada beberapa tokoh yang semakin hari menampakkan kegemilangan filsafat Islam, seperti Abu Bakar al-Razi (w. 925/932/935 M), al-Farabi (w. 950 M ), Ibn Sina (w. 1037 M ), Ibn Miskawaih (w. 1030 M ), dan al-Ghazali (w. 1111 M ).
Berlanjut setelahnya, filsafat Islam pun berkembang di wilayah maghrib dengan beberapa tokohnya seperti Ibn Masarrah (w. 931 M ), Ibn Bajjah (w. 1139 M ), Ibn Thufail (w. 1185), Ibn Sab’in (w. 1270 M ) dan berpuncak pada Ibn Rusyd (w. 1198 M ) serta Ibn Khaldun (w. 1406 M ).
Selama ini berkembang asumsi ahistoris yang disuarakan dengan gencar oleh sebagian ahli filsafat dan para sejarawan, bahwa kajian filsafat Islam telah mati seiring dengan meninggalnya Ibn Rusyd.
Menurut Mustamin al-Mandary asumsi semacam ini, pertama lahir dari studi-studi filsafat Islam yang cenderung terlalu mengagungkan (atau menyimpulkan) bahwa puncak filsafat Islam terletak pada perdebatan filosofis-historis (dialektis) antara al-Ghazali (1059-1111 M ) yang menyerang Ibn Sina sebagai pendiri mazhab Parepatetik dalam filsafat Islam, dengan Ibn Rusyd (1126-1198 M ). Sehingga ketika keduanya wafat, maka tradisi filsafat Islam diasumsikan mati.
Kedua, sebagian besar pengamat filsafat menganggap bahwa “dialektika” filosofis antar Ibn Sina-al-Ghazali-Ibn Rusyd merupakan sebuah pertentangan. Padahal jika kita cermati secara jeli, dialektika yang berlangsung antara mereka merupakan sebuah upaya untuk mempertegas arah dan posisi filsafat Islam, dan pada saat yang sama terdapat nilai-nilai yang mesti dipertegas antara nilai-nilai keIslaman dan nilai-nilai filosofis.
Kritik al-Ghazali terhadap Ibn Sina dan kaum Parepatetik mesti kita dudukkan sebagai usaha besar untuk merubah kecenderungan filsafat Islam, dari klaim-klaim menggelitik tentang filsafat Islam ( filsafat Islam hanyalah sebagai filsafat Yunani yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab ) ke arah filsafat Islam yang khas. Sedangkan usaha kritik-balik yang dilancarkan oleh Ibn Rusyd adalah sebuah upaya bahwa kaum muslim harus benar-benar serius dalam mengedepankan nilai-nilai filosofis dalam filsafat Islam secara mandiri.
Ketiga, pada umumnya, para pengamat sejarah filsafat Islam cenderung melupakan adanya sinergitas dan kontinuitas tradisi filsafat Islam di belahan dunia muslim lainnya. Yakni ketika mereka membatasi kajian filsafat Islam pada tokoh-tokoh dari al-Kindi sampai al-Ghazali dan Ibn Rusyd.
Pandangan ahistoris semacam ini mesti lekas kita tolak, karena pada kenyataannya filsafat Islam terus berkembang terutama dikembangkan di sebagian besar wilayah timur dan beberapa kecil di maghrib. Ada beberapa tokoh yang terus melanjutkan tradisi filosofis dalam Islam meski lahir dengan berbagai perbedaan coraknya, seperti Syihab al-Din Suhrawardi (w. 1191 M ) yang mendirikan mazhab filsafat Illuminasionisme, Muhy al-Din Ibn ‘Arabi (w. 1240 M ) yang memiliki corak teosofi/’irfani (gnostisisme) di maghrib.
Ajaran-ajaran Ibn ‘Arabi ini ternyata lebih berkembang di daerah Persia dengan tokoh-tokohnya semacam Shadr al-Din Qunawi (w. 1274 M ), Quthb al-Din al-Syirazi (w. 1311 M ). Bahkan sampai ke Turki melalui Jalal al-Din Rumi (1273 M ). Tradisi Illuminasionisme berkembang melalui Syahrazuri (w. 1288 M ), Ibn Kammunah (w. 1284 M ), Sayyid Haydar Amuli (w. 1385 M ), dan Mir Damad (w. 1631 M ). Mazhab filsafat peripatetik terus berlanjut melalui Nashir al-Din al-Thusi (w. 1274 M ).
Puncak dari semua aliran filsafat ini berada di tangan Shadr al-Din al-Syirazi (w. 1637 M ) yang mencoba memadukan semua aliran filsafat Islam yang ada sebelumnya di bawah nama al-Hikmah al-Muta’aliyah atau Teosofi Transenden. Setelahnya tradisi filsafat Islam tidak pernah padam bahkan sampai abad modern dewasa ini.
matematik
Tradisi Ilmiah bisa kita temui dihampir semua peradaban sepanjang sejarah umat manusia. Salah satu tradisi ilmiah yang menjadi catatan sejarah adalah tradisi ilmiah Islam. Dalam kesempatan ini kita akan membuka catatan sejarah bagaimana tradisi ilmiah pernah tumbuh subur dikalangan umat Islam, bagaimana ilmuwan-ilmuwan muslim terdahulu mengkaji dan menggali pengetahuan.
>> Angka Nol
>> Angka-Angka Arab
>> Algoritma
>> Aljabar
>> Trigonometri bidang datar, sferis, dan analitis
>> Menghitung persamaan akar kuadrat
>> Tabel Sinus dan Cosinus
>> Persamaan pangkat tiga
>> Karya Banu Musa dalam ilmu geometri
>> Angka-Angka Arab
>> Algoritma
>> Aljabar
>> Trigonometri bidang datar, sferis, dan analitis
>> Menghitung persamaan akar kuadrat
>> Tabel Sinus dan Cosinus
>> Persamaan pangkat tiga
>> Karya Banu Musa dalam ilmu geometri
Prestasi ilmuwan muslim dalam bidang matematika ternyata sangat luar biasa. Prestasi yang paling menonjol bisa kita lihat pada masa pemerintahan Khalifah Al-Mansur, yaitu Kalifah kedua dari Banu Abbasiyah di abad ke-8 Masehi. Selama periode ini, Karya ilmiah dalam bidang matematika dikatakan hanya dihasilkan oleh kalangan Muslim. Dikhabarkan jikapun ada non-muslim yang membuat karya ilmiah dibidang matematika, maka mereka menuliskannya dengan bahasa arab.
Kaum Muslim biasa menuliskan penjumlahan dalam bentuk angka-angka termasuk angka nol bukan dalam bentuk huruf atau kata-kata seperti lazimnya pada masa itu. Dengan demikian mereka membuat perhitungan aritmatika menjadi sederhana dan mudah diaplikasikan pada berbagai masalah sehari-hari, seperti dalam perdagangan dan bisnis. Angka nol mempunyai peran yang sangat penting dalam aritmetika. Tanpa angka nol tidak mungkin kita bisa menuliskan bilangan seperti sepuluh, seratus, dan sebagainya.
Orang Barat belajar menggunakan angka-angka dari Arab, dan kemudian menyebutnya sebagai angka Arab. Penyebaran angka Arab pada masyarakat
Kristen Eropa sangat lambat.
Sistem bilangan ini disebut algoritma (atau algorisme) yang merupakan istilah latin dari Al-Khuwarijmi yaitu seorang pakar matematika, astronomi dan geografi Muslim yang sangat terkenal pada masa Khalifah al-Makmun di abad ke-9 M . Nama lengkap beliau adalah Abu abd Allah Muhammad bin Musa al-Khuwarizmi (meninggal tahun 850 M ). Pengaruh beliau dalam bidang matematika jauh lebih besar dari para ilmuwan lain pada masa itu. Beliau menulis ensiklopedi tentang aritmetika, geometri, musik, dan astronomi.
Atas upaya kaum Muslim pula aljabar (Algebra) menjadi bagian dari ilmu pasti. Al-khawarizmi menulis buku yang membahas bidang ilmu ini dengan judul “Kitab al-Jabr wa al-muqabalah” (buku tentang pengembalian dan pembandingan ).
Kata ‘Jabr’ artinya adalah pengembalian, maksudnya adalah menambahkan sesuatu pada sebuah penjumlahan atau perkalian sehingga menjadi sebanding dengan nilai tertentu. Kata ‘Muqabalah’ berarti perbandingan yang di aplikasikan untuk membandingkan dua sisi dari sebuah persamaan semisal A + B = C.
Istilah al-Jabr (aljabar) pada awalnya digunakan pada operasi yang sederhana seperti penjumlahan atau perkalian , tetapi selanjutnya digunakan dalam permasalahan yang lebih rumit. Selain aljabar, kaum Muslim juga menemukan geometri analitik serta trigonometri bidang datar dan sferis.
Alhajjaj ibnu Yusuf, yang sangat terkenal antara tahun 786 M-833 M di Baghdad adalah orang pertama yang menguraikan dasar-dasar teori euclides-pakar ilmu ukur yunani-kedalam bahasa Arab. Karyanya itu diterjemahkan sebanyak dua kali, yaitu pada masa khalifah Harun ar-Rasyid dan pada masa putranya , khalifah al-Makmun.
Abu Sa’id al-Darir al-Jurfani (meninggal 845 M ), adalah seorang Muslim pakar Astronomi dan matematika. Beliau menulis tentang diskursus mengenai masalah-masalah geometri.
Pada akhir abad ke-10 M , ilmu matematika semakin berkembang dengan munculnya Abu Kamil, Yang merupakan salah satu pakar matematika terkemuka dimasa itu. Beliau menyempurnakan teori aljabar karya al-Khawarizmi, dengan menghitung dan menyusun persamaan akar kuadrat.
Ia melakukan studi khusus tentang pentagon (bidang segi lima ) dan decagon (bidang segi sepuluh) dengan menggunakan teori-teori aljabar, menjelaskan teori perkalian dan pembagian persamaan aljabar, menyusun sistem persamaan hingga memuat lima variable yang tidak diketahui. Karyanya itu dipelajari secara intensif dan banyak digunakan oleh al-Karkhi dan Leonardo dari Pisa .
Kontribusi Abul Wafa terhadap perkembangan trigonometri juga luar biasa. Beliau adalah ilmuwan yang pertamakali menunjukkan generalitas teorema sinus dalam bangun segitiga. Beliau mengajukan suatu metode baru untuk membuat table sinus dan menghitung nilai sinus dan menghtung nilal sinus 30 derajat hingga delapan angka decimal.
Umar ibn Ibrahim al-Khayyam, merupakan salah satu pakar matematika dan astronomi Muslim terbesar abad pertengahan. Bila al-Khawarizmi hanya membahas persamaan kuadrat, maka al-Khayyam banyak mendiskusikan persamaan pangkat tiga. Beliau membuat klasifikasi yang sangat menarik tentang berbagai persamaan berdasarkan kompleksitasnya, yaitu jumlah faktor berbeda yang terkandung dalam persamaan.
Sementara itu, Banu Musa atau keluarga Musa menulis serangkaian studi yang sangat penting. Salah satu topik yang disusun oleh Muhammad ibn Musa membahas tentang ukuran ruang, pembagian sudut dan perhitungan proporsional untuk membentuk suatu pembagian tunggal antara dua nilai tertentu.
Minat beliau tidak terbatas hanya pad geometri. Beliau juga menulis tentang mekanika ruang angkasa, atom, asal usul bumi,dan sebuah esai tentang teori Ptolomeus tentang alam semesta.
Al-Hasan melakukan studi mengenai sifat-sifat geometris dari elips. Al-Hasan barangkali merupakan pakar geometri yang paling berbakat pada masa itu. Ia menerjemahkan enam buku pertama tentang dasar-dasar teori Euclides, namun tidak menyelesaikan buku-buku berikutnya karena sudah mampu menyusun karya ilmiah berdasarkan teori-teori sendiri.
Pakar matematika dan geometri lainnya adalah al-Hasan al-Marakashi, yang terkenal hingga tahun 1262 M . Ia menulis berbagai karya ilmiah tentang astronomi, yang kemudian diwujudkan secara praktis dalam berbagai instrument astronomi dan metodenya.
Ada pula Abdul Abbas Ahmad ibn Muhammad ibn Utsman al-Azdi, seorang ilmuwan Muslim yang sanat popular, yang menullis 74 karya ilmiah tentang matematka dan astronomi. Salah satu bukunyayang berjudul “Talkhis amal al-Hisab” (Ringkasan Operasi Aritmetika) telah dipelajari paling tidak selama 2 abad.
Buku itu sangat dikagumi oleh Ibnu Khaldun, dan diterjemahkan dalam bahasa Prancis diterbitkan pada tahun 1864 M .
tradisi ilmiah
Peradaban Islam, apa dan bagaimanakah tradisi peradaban Islam dimasa yang lalu? Pertanyaan ini sekilas sepertinya hanya ingin bernoltalgia tentang sesuatu yang sudah tidak pada tempatnya.
Dikatakan sudah tidak pada tempatkan karena sebagian besar orang-orang jaman sekarang menganggap kaitan dan atau mengkaitkan segala sesuatu kepada agama adalah sebuah pertanda kemunduran sebagaimana yang dikatakan oleh August Comte, bahwa agama adalah tahap pertama setelah orang agak maju maka mulailah manusia bisa meningkat kepada filsafat ditahap kedua.
Agama dan filsafat sudah usang, orang-orang yang masih sibuk bernoltalgia dengan agama dan berfilsafat maka dia akan terlindas oleh kemajuan jaman, ini musti disadari karena untuk bisa mendapatkan tempat dijaman secanggih sekarang orang-orang harus mau naik ketingkat berikutnya, yaitu tingkat ketiga yang bernama tingkat emphiris.
Kita sudah mendengar apa yang dikatakan Comte dan orang orang yang sepandangan dan atau yang mendukungnya dan untuk menjawabnya nanti akan kita siapkan waktu dan tempat khusus untuk itu.
Dalam kesempatan ini kita tidak kan menjawab Comte secara langsung melainkan kita akan mengurutkan pembicaraan tentang apa itu yang disebut ilmiah dan apapula itu yang disebut dengan sebuah kemajuan (peradaban).
Tidak dapat dipungkiri bahwa pengaruh sebuah peradaban akan selalu menghasilkan kemajuan di semua sektor. Kemajuan peradaban islam juga telah memajukan beberapa sektor kehidupan untuk seluruh umat manusia, termasuk didalamnya adalah sektor ekonomi, politik, etika, fisika, astronomi bahkan sampai kepada kehidupan spiritual.
Awal Peradaban Islam
Pada masa kilafah Bani Abbasiyah ,khususnya zaman khalifah al-Mansur dan al-Makmun,berbagai aktivitas sudah banyak dilakukan untuk menyiapkan dan menerjemahkan berbagai karya ilmiah . Pada akhir abad ke-10 telah banyak karya penting yang berhasil diselesaikan . Para penerjemah berasal dari berbagai etnik, seperti Naubakht dari Persia, Muhammad bin al-Fazari dari Arab, dan Hunain bin Ishaq yang dulunya adalah seorang penganut Kristen Nestorian dari Hirah.
Para Ilmuan Muslim seringkali menerima kesimpulan ilmiah dari pihak lain, kemudian mengujinya dengan melakukan verifikasi. Namun tidak jarang pula mereka melakukan observasi dan eksperimen terhadap masalah-masalah baru hingga menghasilkan penemuan baru. Para ilmuan Muslim biasa menggunakan pendekatan praktis bagi permasalahan ilmiah yang memuat pemikiran-pemikiran abstrak.
Eksperimen-eksperimen ilmiah dalam bidang kimia, fisika, dan farmasi dilakukan dilaboratorium; sedangkan penelitian dalam bidang patologi dan pembedahan dilakukan dirumah sakit- rumah sakit. Sejumlah observatorium juga dibangun dibeberapa lokasi, seperti di Damaskus, Baghdad , Naisabur, untuk melakukan pengamatan astronomi.
Persiapan bedah mayat juga dilakukan dalam rangka praktik pengajaran anatomi. Khalifah al-Mu`tashim pernah mengirimkan kera untuk dijadikan peraga dalam kegiatan ini. Demonstrasi operasi pembedahan bagi para mahasiswa diberikan dirumah sakit-rumah sakit.
Tingkat melek huruf di kalangan kaum Muslim mencapai level tertinggi pada abad 11 dan 12 M . Tingginya semangat keilmuan pada masa itu diindikasikan dengan karya optic Shihab al-Din al-Qirafi,seorang ulama fikih dan juga hakim di Kairo yang menangani 50 macam masalah penglihatan.
Dalam naungan hukum Islam, Para ilmuwan tidak hanya memberikan kontribusi demi kemajuan ilmu pengetahuan, tetapi juga mengaplikasikan penemuan ilmiahnya dalam bentuk inovasi teknologi. Mereka mengamati bintang-bintang ,kemudian menyusun peta bintang untuk keperluan navigasi.
Ibnu Yunus misalnya memanfaatkan pendulum untuk menentukan ukuran waktu. Ibnu Sina menggunakan termometer udara untuk mengetahui temperature udara.
Berbagai kata atau istilah Arab yang banyak digunakan dalam bahasa Eropa menjadi monument hidup atau bukti nyata kontribusi kaum Muslim pada scient modern. Disamping itu sejumlah besar buku diberbagai perpustakaan di Asia dan Eropa, museum-musium diberbagai negeri , serta Masjid dan istana yang dibangun berabad-abad silam juga merupakan bukti adanya fenomena penting ini dalam sejarah dunia.
Beberapa contoh khazanah ilmu pengetahuan yang berasal dari bahasa arab adalah ciphecipher atau didalam istilah perancis disebut chiffre , yang sebenarnya berasal dari kata sifr (Arab) yang berarti kosong atau nol. Kata alkali dalam bidang kimia untuk menyebut zat tertentu yang menghasilkan garam bila dicampur dengan suatu jenis asam ,juga berasal dari bahasa arab yakni al-qali, Istilah dan squadron atau dalam bahasa Prancisnya escadre yang mempunyai arti sebuah kesatuan didalam ketentaraan juga berasal dari kata askariyah yang memiliki makna serupa. Juga istilah admiral berasal dari kata amir al-bahr dan lain-lain.
Dalam proses penerjemahan, banyak nama ilmuwan Muslim yang mengalami perubahan , sehingga membuat para pembaca mengira bahwa mereka adalah orang-arang non-Muslim dari Eropa. Beberapa nama diantaranya adalah Abul Qasim al-Zahrawi (Albucasis) , Muhammad ibnu Jabir ibnu sinan al-Battani (Albetinius) , dan Abu `Ali ibnu Sina ( Avicenna).
Sebelumnya sudah kita bicarakan tentang dua metode filsafat yang paling berpengaruh, yaitu filsafat iluminasi dan peripatetik, yang mana satu sama lain mempunyai ciri khas dan perbedaan tersendiri.
Metode Iluminasi sangat bertumpu kepada kemampuan kita untuk menahan hawa nafsu dan pencerahanan batin sebagai upaya untuk mencapai hakikat selain argumen dan penalaran. Sedangkan metode peripatetik sangat mengandalkan argumen sebagai tumpuan utama dalam mencari hakikat.
Kedua metode ini pada perkembangan berikutnya diakui sangat mempengaruhi kebudayaan Islam. Pendukung dari kedua paham ini diantaranya adalah tokoh-tokoh besar didalam dunia Islam. Namun terlepas dari itu semua, didunia Islam sendiri dikenal juga beberapa metode lainnya yang juga sangat berpengaruh seperti metode tasawuf (irfan) dan metode kalam (teologi) .
Sekarang mari kita lihat lebih kedalam lagi, mari kita perhatikan beberapa metode penting lainnya yang juga mempengaruhi corak filsafat dan yang berada langsung dibawah PENGARUH AJARAN ISLAM. Setidaknya sekarang kita bisa melihat ada 4 metode penting yang digunakan dalam pemikiran filsafat Islam, yaitu :
Metode ini sangat mengutamakan silogisme (qiyas) , argumentasi rasional (istidlal aqli) dan demonstrasi rasional (burhan aqli) . Metode argumentatif peripatetik ini dikenal memiliki banyak pengikut seperti Ibnu Rusyd, Ibnu Bajah, Mir Damad, Al Kindi , Ibnu Sina dan lain-lainnya. Tokoh paham ini yang paling menonjol adalah Ibnu Sina.
Metode ini seperti sudah dijelaskan sebelumnya, bertumpu kepada argumentasi rasional, demonstrasi rasional dan serta berjuang melawan hawa nafsu dan menyucikan jiwa.
Metode tasawuf (irfan) semata-mata hanya bertumpu kepada penyucian jiwa dan mengadakan perjalanan guna mendekatkan diri kepada Allah sehingga mampu mengetahui dan sampai kepada berbagai hakikat. Beda dengan filsafat Iluminatif, metode irfan ini sama sekali tidak bertumpu kepada argumentasi rasional ataupun demonstarsi rasional. Berdasarkan metode ini tujuan bukan hanya untuk menyingkap hakikat TETAPI sampai kepada hakikat itu sendiri.
Metode irfan memilik satu persamaan dan dua sisi perbedaan dengan metode iluminasi. Sisi persamaannya adalah bertumpu kepada penyucian jiwa. Sedangkan perbedaannya adalah tentang penggunaan argumentasi dan demonstrasi rasional.
4. Metode Teologi Argumentatif (kalam)
Para teolog Islam (Mutakallimin) , seperti halnya para filsuf peripatetik bertumpu pada argumentasi penalaran dan demonstrasi rasional, namun demikian terdapat dua perbedaan yang mendasar didalam pengunaannya.
Yang pertama, para teolog muslim khususnya kaum mu’tazilah menggunakan penalaran rasional ‘baik dan buruk’ berdasarkan kemampuan akal. Dan berdasarkan dengan prinsip ini maka kaum mu’tazilah mewujudkan berbagai prinsip yang lain seperti prinsip kelembutan, kewajiban atas Allah untuk mendahulukan yang baik dan sebagainya.
Sedangkan para filsuf berkeyakinan bahwa prinsip ‘baik dan buruk’ merupakan prinsip yang relatif dan klaim manusia.
Yang kedua, para teolog muslim mengklaim bahwa mereka lebih konsisten dalam membela Islam daripada filsuf, mereka berpendapat bahwa pembahasan filsafat adalah pembahasan yang bebas, mereka tidak menentukan tujuan ideologinya. Sementara teolog muslim jelas telah menentukan tujuan ideologinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar