Salah satu grey area yang tampak jelas adalah pasal yang mengatur penggabungan (merger), peleburan, pengambilalihan, dan pemisahan perseroan. “Kerancuan timbul karena batang tubuh tidak sinkron dengan penjelasan, sehingga terjadi inkonsistensi,” ujar Indriyanto Senoadji, pakar hukum pidana Universitas Indonesia pada sebuah acara seminar di Jakarta.
Dalam Pasal 126 UU PT disebutkan, penggabungan (merger) memperhatikan kepentingan perseroan, pemegang saham minoritas, karyawan perseroan, kreditor dan mitra usaha lainnya, serta masyarakat. Namun, dalam penjelasannya justru disebutkan, penggabungan tidak dapat dilakukan apabila akan merugikan kepentingan pihak-pihak tertentu. “Pasal 126 UU PT menjadi rancu dimana karyawan seolah-olah memiliki wewenang untuk menyetujui aksi perseroan seperti merger atau pun pemisahan,” kata Indriyanto.
Dalam operasional sebuah perseroan terbatas, menurut dia, lembaga tertinggi yang berwenang memutuskan aksi perseroan hanyalah rapat umum pemegang saham (RUPS). Jika terjadi kerancuan, pihak-pihak yang merasa keberatan dapat mengajukan uji materiil terkait UU tersebut.
“Pengajuan uji materiil itu bisa dilakukan karena UU itu tidak menimbulkan azas kepastian hukum. Itu merupakan alasan fundamental dalam operasional sebuah perseroan terbatas,” ujar Indriyanto.
Menurut Indriyanto, batang tubuh sebuah undang-undang harus menganut azas lex certa atau tidak dapat ditafsirkan berbeda. Karena itu, batang tubuh yang multitafsir perlu dihindari, apalagi bertolak belakang dengan penjelasannya.
Pendapat berbeda dilontarkan anggota Komisi VI DPR Aryo Bimo. Ia menyatakan, ketentuan merger dalam UU PT untuk menghindari kesewenang-wenangan perusahaan terhadap para pemangku kepentingan (stakeholder). “Dalam penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan harus juga dicegah kemungkinan terjadinya monopoli dan monopsoni dalam berbagai bentuk yang merugikan masyarakat,” jelas Aryo Bimo.
Yang dimaksud pihak-pihak yang dirugikan dalam Pasal 126, menurut Aryo Bimo, adalah karyawan, pemegang saham minoritas dan kreditor. Dalam kasus ini, karyawan merupakan pihak yang paling dirugikan. “Sebagai pihak paling bawah, karyawan tidak bisa mencampuri urusan kebijakan perusahaan ketika mengubah suatu keputusan,” jelasnya.
Wakil Ketua Panitia Khusus UU PT Choirul Saleh Rasyid melontarkan hal senada. Ia mengatakan, urusan merger perlu diatur secara jelas agar tidak ada kesewenang-wenangan dari pihak perusahaan atau pemegang saham terbesar kepada karyawannya dan pemegang saham minoritas. Dia berharap, stakeholder ataupun pengusaha jangan menganggap pasal itu menjadi suatu halangan tumbuhnya investasi di Indonesia.
Sebaliknya, menurut Choirul, ketentuan merger itu bisa menciptakan hubungan positif dan harmonis antara pemilik perusahaan dan jajarannya. “Pengusaha jangan hanya memikirkan keuntungan semata dengan perubahan manuver bisnis tersebut,” ujar dia.
Tak Bisa Diam-diam
Aryo Bimo mengingatkan, karyawan atau buruh selalu menjadi pihak pesakitan “Jika kita tidak membuat aturan tersebut, perusahaan akan bertindak sewenang-wenang ketika melakukan suatu perubahan dalam manajemennya,” jelas dia.
Dia mencontohkan, kasus penjualan saham PT Energi Mega Persada Tbk yang menjual kepemilikan sahamnya pada Kalila Energi Ltd dan Pan Asia Enterprise Ltd kepada Freehold Group Limited. Padahal, Freehold Group Limited merupakan pihak ketiga yang tidak terafiliasi dengan kelompok usaha Bakrie. “Seharusnya penjualan tidak boleh dilakukan jika perusahaan tersebut masih terlibat kasus yang merugikan banyak pihak, terutama masyarakat yang terendam lumpur Lapindo,” ujar dia.
Sebelum melakukan perubahan manajemen, menurut Ario Bimo, jajaran direksi dan komisaris wajib menyosialisasikan kepada seluruh karyawannya, termasuk rencana yang akan dilakukan perusahaan. Bila ternyata manuver bisnis itu merugikan pihak tertentu.
Menurut pengamat perbankan Djoko Retnadi, UU PT akan memperkuat spirit proses penggabungan yang tidak boleh hanya memperhatikan kepentingan pemilik perusahaan saja melainkan harus mengakomodasi stakeholder lain, termasuk karyawan. “UU PT semakin memperkuat aturan bahwa proses merger di Indonesia tidak akan seperti di luar negeri yang dilakukan secara diam-diam, dan baru diumumkan setelah matang,” kata Djoko.
Dia menjelaskan, UU PT secara eksplisit sudah mencantumkan beberapa kepentingan stakeholder lain yang harus dipenuhi ketika sebuah perusahaan merger. Aturan serupa sebetulnya sudah ada sebelumnya. Namun, terpisah di beberapa aturan yang berbeda.
Ganggu Konsolidasi Perbankan
Sementara itu, selain perusahaan yang kebingungan harus memenuhi kewajiban tanggung jawab sosial atau corporate sosial responsibility (CSR). Kalangan perbankan juga tak kalah bingung. Pasalnya UU PT ini akan menjadi payung operasional seluruh perusahaan yang ada di Indonesia, termasuk perbankan.
Persoalannya, salah satu pasal UU Perseroan Terbatas itu menyebutkan soal merger. Karyawan berhak mengajukan keberatan bila tak setuju dengan keputusan pemegang saham yang ingin menggabungkan perusahaannya dengan perusahaan lainnya.
Tentu saja, semangat ini tak sesuai dengan keinginan Bank Indonesia (BI) yang ingin melihat ada konsolidasi besar-besaran di industri perbankan paling lambat tahun 2010. Sebab, bila karyawan benar-benar mengajukan keberatan bukan mustahil proses ini akan memperlambat konsolidasi.
Deputi Gubernur Bank Indonesia Muliaman Hadad mengatakan, akan mempelajari isi UU Perseroan Terbatas. “Saya belum bisa berkomentar banyak soal ini. Kami harus mempelajarinya dulu,” kilahnya.
Tak hanya bank sentral. Persatuan Perbankan Nasional (Perbanas) juga kini tengah meneliti isi UU Perseroan Terbatas itu. “Kami malah akan membicarakan isi UU Perseroan Terbatas di rapat Perbanas minggu ini,” ujar Farid Rahman, Sekjen Perbanas yang juga Direktur Utama Bank Saudara.
Namun, Farid memprediksi, perbankan akan menggunakan Undang-Undang Perbankan yang lex spesialis (khusus). “Dengan begitu, kami akan mengacu ke UU Perbankan yang mengatur bisnis bank,” ujar Farid. Hanya, Farid mengatakan, pendapat karyawan memang perlu diakomodasi bank yang akan merger. “Namun hanya sebagai aspirasi saja bukan memutuskan batal atau tidaknya merger,” ujar Farid.
Terkait dampak aturan ini terhadap proses merger di industri perbankan dan asuransi, Djoko melihat tidak ada dampak besar. Seperti pengalaman yang terjadi selama ini, proses merger di dua sektor tersebut sudah dilakukan dengan memperhitungkan berbagai dampak bagi semua stakeholder. “Kita lihat saja tidak banyak perusahaan perbankan yang merger karena pertimbangannya banyak sekali. Dulu ada kabar merger Bank BNI, Bank BTN, dan lain-lain, kini berita itu sudah hilang,” tambah Djoko.
sumber : http://www.hukumonline.com
sumber : http://www.hukumonline.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar