Sabtu, 17 Oktober 2009

Perusahaan yang Rugi Tidak Boleh Merger

 


Menkeu mengeluarkan aturan tentang penggunaan nilai buku bagi badan usaha yang ingin melakukan merger. Salah satu beleid yang diatur dalam PMK itu adalah perusahaan yang menerima pengalihan harta tidak dalam kondisi merugi.

Ada kabar baik bagi badan usaha yang ingin melakukan merger. Belum lama ini Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menerbitkan aturan baru soal insentif pajak bagi badan usaha yang akan melakukan penggabungan usaha (merger). Menkeu tidak lagi menarik pajak berdasarkan harga pasar yang berlaku pada saat merger dilakukan, melainkan berpatokan pada nilai buku suatu badan usaha atau wajib pajak (WP) yang akan melakukan merger.

Peraturan itu tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 43/PMK.03/2008 tentang Penggunaan Nilai Buku Atas Pengalihan Harta Dalam Rangka Penggabungan, Peleburan, Atau Pemekaran Usaha. Dalam PMK yang mulai berlaku sejak 13 Maret 2008 itu disebutkan, Menkeu menetapkan penggunaan nilai lain selain harga pasar, yaitu atas dasar nilai sisa buku (pooling of interest) terhadap perusahaan yang akan melakukan merger.

“Tujuan PMK itu untuk menyelaraskan dengan kebijakan di bidang sosial, ekonomi, investasi, moneter dan kebijakan lainnya,” kata Kepala Biro Hubungan Masyarakat Departemen Keuangan, Samsuar Said, Senin (24/3). Sekedar informasi, penggunaan nilai buku sebelumnya ditetapkan dalam Keputusan Menkeu (KMK) No.  422/KMK.04/1998 dan PMK No. 75/PMK.03/2005. Dengan berlakunya PMK No. 43/PMK.03/2008, maka kedua aturan tadi dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi.

Ada beberapa perubahan mendasar tercantum dalam PMK yang baru ini. Diantaranya mengenai  dihilangkannya kewajiban untuk mengadakan likuidasi bagi badan usaha yang hendak merger. Menurut Samsuar, perubahan pengaturan penggabungan usaha dengan menghilangkan persyaratan likuidasi, dimaksudkan untuk memberikan kepastian kepada WP.

Dalam PMK itu disebutkan, untuk memperoleh fasilitas penggunaan nilai buku dalam rangka penggabungan atau peleburan usaha, WP tidak perlu melakukan likuidasi. Berbeda dengan ketentuan sebelumnya, yang mewajibkan WP untuk terlebih dahulu melikuidasi salah satu perusahaan jika ingin merger.

Meski mendapat fasilitas, namun ada tambahan persyatan yang mesti dipenuhi badan usaha atau wajib pajak yang ingin merger. Pertama, kondisi badan usaha yang menerima pengalihan harta tidak boleh memiliki kerugian atau memiliki kerugian yang lebih kecil. Syarat ini, katanya, bertujuan agar penggabungan atau peleburan usaha sesuai dengan tujuan merger, yakni untuk membuat perusahaan lebih sehat. Dalam ketentuan yang lama, tidak ada batasan kriteria WP yang dapat menerima pengalihan harta dengan menggunakan nilai buku.

Lalu kedua, ada tambahan syarat mengenai tujuan bisnis (business purpose test) perusahaan yang akan merger. Samsuar mengatakan tujuan dari pencantuman syarat itu untuk memastikan bahwa merger memang dilakukan untuk tujuan bisnis (a good faith business purpose). “Sehingga peraturan merger baru ini lebih netral terhadap perkembangan di dunia usaha,” ujarnya.

Pasal 2
Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut:
  1. mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak dengan melampirkan alasan dan tujuan melakukan merger dan pemekaran usaha;
  2. melunasi seluruh utang pajak dari tiap badan usaha yang terkait; dan
  3. memenuhi persyaratan tujuan bisnis (business purpose test).

Syarat lainnya adalah adanya perubahan perlakuan terhadap kerugian atau sisa kerugian dari WP yang menggabungkan diri atau yang meleburkan diri. Dalam PMK itu disebutkan, kerugian atau sisa kerugian dari wajib pajak yang menggabungkan diri atau yang meleburkan diri tidak boleh dialihkan kepada wajib pajak yang dilebur. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah WP memanfaatkan penggabungan atau peleburan usaha untuk mengalihkan kerugian atau sisa kerugiannya.

Pasal 3
Wajib Pajak yang melakukan merger dengan menggunakan nilai buku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak boleh mengkompensasikan kerugianj sisa kerugian dari Wajib Pajak yang menggabungkan dirijWajib Pajak yang dilebur.

Pasal 1 ayat (1)
Wajib Pajak yang melakukan merger dapat menggunakan nilai buku.

Berbeda dari ketentuan yang lama, dimana kerugian atau sisa kerugian WP yang menggabungkan diri atau meleburkan usaha dapat dialihkan kerugiannya, dengan syarat melakukan revaluasi aktiva tetap terlebih dahulu.

Didukung BI
Langkah Menkeu menerbitkan beleid ini sebenarnya pernah diamini oleh Bank Indonesia (BI). Bank sentral itu mendukung sistem penghitungan pajak penggabungan usaha (merger) di industri perbankan sebesar 10 persen dihitung berdasarkan nilai buku. Seperti diketahui, BI dengan Ditjen Pajak sempat tarik ulur soal insentif pajak bagi bank yang akan melakukan merger. 

Direktur Penelitian dan Pengaturan Perbankan BI Halim Alamsyah mengatakan perbankan mempersoalkan penggunaan harga pasar yang pengaruhnya sangat besar terhadap nilai pajak. “Kalau harga buku tentu lebih rendah dari harga pasar, dan itu akan berpengaruh sangat signifikan terhadap penghitung pajak bisa menjadi lebih kecil. Saya kira itu bisa menjadi bagian dari insentif,” ujarnya belum lama ini.

Menurutnya, dengan menggunakan pijakan harga buku, tidak ada pengurangan pajak karena pajak tetap harus dibayar, tapi dengan menggunakan sistem hitung yang berbeda. “Justru, penggunaan harga pasar yang nilai hasil penghitungannya bisa memberatkan bank kecil,” tutunya.

Pengamat perbankan Eko B Supriyanto mengatakan insentif pajak sebesar 10 persen pada tahap awal dinilai positif. Namun, katanya, lebih baik jika merger mendapatkan insentif bebas pajak sehingga tidak ada tarif pajak lagi. Bahkan selain insentif pajak, merger bank perlu mendapat insentif dalam penilaian kesehatan bank.

sumber : www.hukumonline.com
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar