Malu bukan saja karena Andre adalah orang asing, tetapi juga karena nyaris tidak ada pengamat kebahasaan yang jeli membaca ‘penyimpangan’ penggunaan bahasa dalam pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia . Ia menyanjung niat para penyusun Undang-Undang No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan (UU No. 24/2009) yang ingin memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa. Nilai persatuan dan kesatuan bisa dipererat lewat bahasa. Andre menulis catatan itu sekitar dua bulan setelah UU No. 24/2009 berlaku.
Sebaliknya, dengan nada halus, penyusun kamus Swedia – Indonesia itu menyentil para penyusun UU No. 24/2009. Undang-Undang ini antara lain ‘mewajibkan’ para pejabat negara menggunakan bahasa Indonesia dalam pidato resmi. Bahasa Indonesia juga ‘wajib’ digunakan untuk penunjuk jalan, fasilitas umum, rambu umum. Bahasa yang ‘wajib’ dipakai di media massa , kecuali media khusus, adalah bahasa Indonesia . Pasal 31 melanjutkan bahasa Indonesia ‘wajib’ digunakan dalam nota kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan lembaga negara, instansi Pemerintah Republik Indonesia, lembaga swasta Indonesia atau perorangan warga negara Indonesia.
Andre penasaran dengan penggunaan kata ‘wajib’ dalam Undang-Undang ini. Ia mencoba membolak-balik Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Kata ‘wajib’ mengandung arti “harus dilakukan, tidak boleh tidak dilaksanakan”. Sayang sekali, tulis Andree, tak ada larangan ataupun ancaman pidana untuk orang atau perusahaan yang memakai bahasa Indonesia tidak sesuai Undang-Undang ini. Berbeda sekali dengan kata ‘wajib’ dalam pengibaran bendera yang diiringi dengan sanksi. Maka, dalam tulisannya Andre menggunakan tanda kutip dalam setiap kata wajib, karena makna kata wajib dalam UU No. 24/2009 dia nilai “tak sesuai dengan KBBI”.
Andre memang benar. Tak ada satu pun sanksi bagi mereka yang lalai atau sengaja melanggar ‘kewajiban’ berbahasa Indonesia . Padahal, minimal tercatat 16 kali kata ‘wajib’ dimuat dalam Bab III tentang Bahasa Negara, dan hanya 7 kali kata ‘dapat’.
Akademisi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia , Niken Pramanik, mengatakan sulit menerapkan sanksi bagi orang yang tidak berbahasa Indonesia , selain sanksi moral. Niken menganalogikan orang wajib berpakaian sopan. Kalau orang tidak berpakaian sopan, apa sanksinya? Menurut Niken, sanksinya hanya bersifat moral.
Senada, pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia , Fernando Manullang mengatakan wajib tidak identik dengan sanksi. Kalau suatu hukum tidak mengandung sanksi maka hukum itu disebut tidak sempurna. Namun kesempurnaan hukum bukan terletak pada ada tidaknya sanksi. Wajib atau harus itu, kata Fernando, adalah suatu predikat yang dilekatkan pada subjek tertentu. Sanksi melekat pada pelanggaran atas kewajiban. “Sanksi tidak selalu melekat pada wajib,” ujarnya.
Meskipun begitu, Niken sependapat jika bahasa Indonesia dipakai dalam kontrak-kontrak yang dibuat di Indonesia dan melibatkan pihak Indonesia . Lebih aman kalau dibuat dalam dua bahasa. Jika dibuat dalam bahasa asing, Niken khawatir terjadi perbedaan penafsiran terhadap klausul kontrak antara pihak Indonesia dan pihak asing. Ia malah menyayangkan mengapa berbagai dokumen hukum yang dipergunakan untuk menarik publik seperti asuransi atau bank, banyak menggunakan bahasa Inggris. Bagaimana kalau konsumen pelayanan itu tidak mengerti bahasa Inggris?
Bahasa hukum, bahas kaku?
Penggunaan kata ‘wajib’ dalam UU No. 24/1999 sebagaimana disindir Andre Moller bukan satu-satunya masalah kebahasaan yang muncul dalam proses legislasi. Beberapa putusan Mahkamah Konstitusi sebenarnya berusaha meluruskan penggunaan bahasa dalam rumusan Undang-Undang.
Selain penguasaan materi, para pembentuk Undang-Undang memang harus bijak dalam memilih kata-kata yang hendak dirumuskan. Salah memilih kata bisa berakibat fatal. Apalagi jika kesalahan itu menyangkut istilah hukum yang khas. Salah satu contoh konkrit adalah penggunaan kata ‘penetapan’ dalam Pasal 45 A UU No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung –sebelum diubah menjadi UU No. 3 Tahun 2009. Berdasarkan pasal ini, permohonan kasasi yang tidak memenuhi syarat harus dinyatakan tidak dapat diterima melalui penetapan ketua pengadilan negeri. Penggunaan kata penetapan dalam rumusan pasal itu keliru, karena pernyataan hakim tentang tidak dapat diterimanya suatu gugatan harus dituangkan dalam bentuk putusan. Para pembentuk Undang-Undang tampaknya menyamakan “penetapan” dengan “putusan”.
Menyadari adanya kekeliruan itu, dan didasari kekhawatiran menganggu acara di pengadilan, Ketua Mahkamah Agung (kala itu) Bagir Manan meluruskan kesalahan bahasa Undang-Undang itu melalui SEMA No. 6 dan SEMA No. 7 Tahun 2005.
Deputi Direktur Yayasan SET, Agus Sudibyo, punya pengalaman menarik memantau proses legislasi di Senayan. Dalam proses pembahasan, acapkali anggota DPR berdebat lama soal kata yang dipakai dalam rumusan. Malah anggota DPR pernah berdebat perbedaan kata ‘wajib’ dan ‘harus’. Untuk mengakhiri perdebatan biasanya dipanggi ahli bahasa. Agus dapat memaklumi perdebatan itu karena bahasa hukum dan bahasa yang dipakai dalam Undang-Undang harus universal dan seminimal mungkin multitafsir. Kalau bisa, tidak boleh lagi ada penafsiran lain. “Makanya, bahasa hukum itu cenderung rigid, kaku,” ujar Agus.
Cuma, Agus menyayangkan kebiasaan pembentuk Undang-Undang menuliskan frasa “cukup jelas” pada bagian penjelasan. Kebiasaan ini justru menyulitkan pihak lain memahami apa yang dimaksud dalam suatu rumusan. Pihak lain sebenarnya bisa mencari latar belakang dan perdebatan (memorie van toelichting) mengenai rumusan tersebut, atau suasana kebatinan lahirnya suatu rumusan. Sayang, akses terhadap sistem dokumentasi proses legislasi di DPR belum sepenuhnya terbuka.
Sewaktu memantau pembentukan RUU Keterbukaan Informasi Publik dan RUU Rahasia Negara, Agus Sudibyo juga menemukan berbagai istilah yang di mata awam berpotensi menimbulkan multitafsir. Forum pemantauan seperti itu digunakan Agus sebagai tempat belajar untuk lebih memahami bahasa hukum. “Paling tidak, saya mendapatkan sesuatu yang baru,” ujarnya.
Pada tataran ilmiah, kritik terhadap kekakuan bahasa hukum pernah dilontarkan notaris Liliana Tedjosapoetro. Sewaktu mempertahankan disertasinya di UGM Yogyakarta lima belas tahun silam, Liliana menilai bahasa dan format yang dipakai dalam akta notaris sudah ketinggalan zaman, berbelit dan kadang rancu. Ia menyarankan kalangan notaris untuk menggunakan bahasa yang baik dan benar sesuai ejaan yang disempurnakan (EYD). Menteri Kehakiman Ismail Saleh mengutip disertasi Liliana itu dan menuangkannya ke dalam sebuah artikel. “Bahasa hukum sebagai bagian dari bahasa Indonesia harus mengikuti ketentuan-ketentuan, aturan dan kaidah yang ditetapkan bahasa Indonesia ,” tulis sang Menteri.
Dari kalangan punggawa bahasa Indonesia , kritik yang tak kalah pedas datang dari Dad Murniah. Dalam sebuah tulisannya, Kepala Subbid Informasi dan Publikasi Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) ini menilai bahasa hukum itu “rumit dan membingungkan”.
Tetapi, di mata Fernando, teks hukum selalu terbuka akan interpretasi. Serigid apapun kata yang dipilih atau bahasa yang dirumuskan dalam suatu Undang-Undang, masih tetap terbuka kemungkinan penafsiran berbeda oleh orang yang berbeda.
Dengan menggunakan dua bahasa dalam teks hukum, semisal perjanjian, perbedaan tafsir itu, kata Niken, bisa diminimalisir. Yang paling penting UU No. 24 Tahun 2009 sudah menempatkan bahasa Indonesia dalam kedudukan dengan penyangga yang kuat. Meskipun RUU Kebahasaan yang digagas Pusat Bahasa Depdiknas belum dibahas DPR, minimal sudah ada payung hukum bahasa nasional tersebut.
Dalam peraturan perundang-undangan lain, bahasa Indonesia juga diposisikan sebagai bahasa wajib. UU No. 8/1997 tentang Dokumen Perusahaan menyebutkan setiap perusahaan wajib membuat catatan sesuai kebutuhan perusahaan. Catatan-catatan itu wajib disusun dalam bahasa Indonesia . Kalau mau dibuat dalam bahasa asing, perusahaan harus mendapat izin dari Menteri Keuangan.
Instruksi Presiden No. 2 Tahun 2001 tentang Penggunaan Komputer dengan Aplikasi Komputer Berbahasa Indonesia juga menyinggung masalah ini. Terakhir, dalam UU No. 30/2004 tentang Jabatan Notaris disebutkan bahwa akta-akta dibuat dalam bahasa Indonesia . Kalau penghadap tidak mengerti bahasa yang dipakai dalam akta, maka notaris wajib menerjemahkan atau menjelaskan, baik oleh notaris sendiri maupun oleh penerjemah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar