Senin, 12 Oktober 2009

KEDUDUKAN GUARANTOR DALAM KEPAILITAN


LATAR BELAKANG

Dalam suatu perjanjian kredit, pihak kreditur perlu untuk mengantisipasi kemungkinan debitur tidak dapat membayar utangnya sehingga pihak kreditur, misalnya bank dalam memberikan kredit atau utang selalu mensyaratkan adanya jaminan. Hal ini perlu untuk mencegah atau mengurangi resiko kerugian yang mungkin akan dialami kreditur.

Definisi tentang jaminan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) ternyata tidak dirumuskan secara tegas, KUHPerdata hanya memberikan perumusan secara Jaminan secara umum yang diatur dalam pasal 1131 KUHPerdata, yaitu segala kebendaan seseorang baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan. Namun jaminan secara umum ini masih dirasakan kurang memadai oleh kreditur sehingga seringkali kreditur meminta diberikan jaminan khusus.

Jaminan khusus dapat berupa jaminan kebendaan dan jaminan perorangan (borgtocht). Pada jaminan kebendaan, si debitur/yang berhutang memberi jaminan benda kepada kreditur, sebagai jaminan atas hutang yang dipinjam

debitur[1].

Jadi apabila debitur tidak membayar hutangnya pada saat jatuh tempo maka pihak kreditur dapat menuntut eksekusi atas benda yang telah dijaminkan oleh debitur tersebut untuk melunasi hutangnya. Sedangkan dalam jaminan perorangan atau borgtocht ini jaminan yang diberikan oleh debitur bukan berupa benda melainkan berupa pernyataan oleh seorang pihak ketiga (penjamin/guarantor) yang tak mempunyai kepentingan apa-apa baik terhadap debitur maupun terhadap kreditur, bahwa debitur dapat dipercaya akan melaksanakan kewajiban yang diperjanjikan; dengan syarat bahwa apabila debitur tidak melaksanakan kewajibannya maka pihak ketiga itu bersedia untuk melaksanakan kewajiban debitur tersebut[2].

Dengan adanya jaminan perorangan maka pihak kreditur dapat menuntut kepada penjamin untuk membayar hutang debitur bila debitur lalai atau tidak mampu untuk membayar hutangnya tersebut.



POKOK PERMASALAHAN

Dapatkah seorang penjamin lansung digugat oleh kreditur apabila debitur tidak memenuhi kewajibannya itu? dapatkah seorang penjamin dimohonkan pailit apabila ternyata debitur tidak mampu atau hartanya tidak cukup untuk membayar hutangnya atau ternyata debitur telah dinyatakan pailit oleh kreditur lain?
KEPAILITAN

Peraturan mengenai kepailitan pada awalnya diatur oleh Failliessement Verordening, Staatsblad 1905-217 jo 1906-348, namun peraturan tersebut sudah tidak mampu lagi memenuhi tuntutan perkembangan yang terjadi di bidang perekonomian terutama dalam menyelesikan masalah hutang-piutang, untuk itu perlu dilakukan perubahan dan penyempurnaan terhadap peraturan Faillissement Verordening tersebut dengan ditetapkannya Perpu No. 1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Kepailitan tanggal 22 April 1998 yang kemudian menjadi Undang-Undang dengan Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 tentang Undang-Undang Kepailitan (UUK) pada tanggal 9 September 1998  dan dengan berlakunya UUK ini berarti pemerintah telah memenuhi salah satu persyaratan yang diminta oleh krediur-kreditur luar negeri (baca Dana Moneter Internasional/International Monetary Fund), agar para kreditur luar negeri memperoleh jaminan kepastian hukum[3]. Kemudian Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 tentang Undang-Undang Kepailitan (UUK) disempurnakan menjadi Undang-Undang No 37 Tahun 2002 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Penundaan Pembayaran Utang (UUKPKPU).

Istilah kepailitan yang digunakan di Indonesia berasal dari kata pailit yang bersumber dari bahasa Belanda yaitu failliet yang berarti kebangkrutan, bangkrut[4] dan faillissement untuk istilah  kepailitan yang berarti keadaan bangkrut[5]. Sedangkan dalam bahasa Inggris untuk istilah pailit dan kepailitan digunakan istilah bankrupt dan bankruptcy.

Menurut Prof. Subekti, S.H., pailisemen itu adalah suatu usaha bersama untuk mendapatkan pembayaran bagi semua orang berpiutang secara adil[6].

Menurut Prof.Dr. Soekardono , kepailitan adalah penyitaan umum atas kekayaan si pailit bagi kepentingan semua penagihnya,  sehingga Balai Harta Peninggalanlah yang ditugaskan dengan pemeliharaan serta pemberesan boedel dari orang yang pailit[7]

Dalam pasal 1 Faillissement Verordening tidak memberikan definisi tentang failisemen dan hanya memberikan syarat untuk pengajuan permintaan failisemen, yaitu bahwa seseorang telah berhenti membayar. Berhenti membayar ialah kalau debitur sudah tidak mampu membayar atau tidak mau membayar, dan tidak usah benar-benar ‘telah berhenti sama sekali untuk membayar, tetapi apabila dia pada waktu diajukan permohonan failit berada dalam keadaan tidak dapat membayar utang tersebut’ (Putusan Pengadilan Tinggi Bandung Nomor 171/1973/Perd./PTB.tanggal 31 Juli 1973)[8], namun pada hakekatnya failisemen adalah suatu sita umum yang bersifat conservatoir dan pihak yang dinyatakan failit hilang penguasaannya atas harta bendanya, penyelesaian failit diserahkan kepada seorang kurator yang dalam melaksanakan tugasnya diawasi oleh seorang hakim komisaris, yaitu seorang hakim pengadilan yang ditunjuk[9].

Menurut pasal 1 angka 1 UUKPKPU, kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitur pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur dalam undang-undang ini sedangkan pengertian debitur berdasarkan pasal 2 ayat (1) UUKPKPU adalah debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan  baik atas permohonannya sendiri, maupun atas permintaan seseorang atau lebih krediturnya.

Jadi berdasarkan hal tersbut  dapat disimpulkan bahwa dalam kepailitan ada unsur-unsur:

-         adanya keadaan ‘berhenti membayar’ atas suatu utang,

-         adanya permohonan pailit,

-         adanya pernyataan pailit (oleh Pengadilan Niaga)

-         adanya sita dan eksekusi atas harta kekayaan pihak yang dinyatakan pailit (debitur),

-         yang dilakukan oleh pihak yang berwenang,

-         semata-mata untuk kepentingan kreditur.
HUBUNGAN ANTARA KEPAILITAN DAN GUARANTOR

Berdasarkan pasal 1820 KUHPerdata,  borgtocht atau penanggungan adalah suatu perjanjian dimana seorang pihak ketiga guna kepentingan si berpiutang/kreditur mengikatkan diri untuk memenuhi perikatannya si berutang/debitur manakala orang ini sendiri tidak memenuhinya. Dapat disimpulkan bahwa penanggungan adalah jaminan yang:

-            Diberikan oleh pihak ketiga

-            Guna kepentingan kreditur, yaitu

-            Untuk memenuhi kewajiban debitur manakala ia sendiri tidak memenuhinya

Berdasarkan pasal 2 ayat (1) UUKPKPU, yang dapat dinyatakan pailit atau syarat-syarat pailit adalah:

-            Debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur,

-            Debitur tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih.

Hubungan antara borgtocht dengan hukum kepailitan terjadi apabila ada permohonan pernyataan pailit terhadap borg/penjamin/guarantor.
DAPATKAH SEORANG BORG/ PENJAMIN/ GUARANTOR DIPAILITKAN

Berdasarkan pasal 1 angka 1 dan pasal 2 ayat (1) UUKPKPU, syarat untuk dapat dipailitkan adalah seorang debitur, maka yang perlu dibahas adalah apakah seorang penjamin adalah debitur, sehingga kepadanya dapat dimohonkan pailit.

Masalah apakah seorang penjamin adalah debitur merupakan hal sangat penting apabila ingin memailitkan penjamin, hal ini dikarenakan yang dapat dipailitkan hanyalah debitur, yaitu debitur yang mempunyai dua atau lebih krediur dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih.

Maka syarat utama apabila ingin memailitkan penjamin adalah pemohon harus dapat membuktikan bahwa status penjamin telah beralih menjadi debitur, karena hanya debitur yang dapat dipailitkan, setelah itu barulah pemohon harus membuktikan bahwa debitur mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, setelah terbukti barulah debitur dapat dinyatakan pailit.

Untuk menjawab permasalahan tersebut maka dipaparkan beberapa pendapat ahli dan yurisprudensi yang berkaitan dengan permasalahan, yaitu:

Pendapat Elijana S., S.H. [10]

(Hakim Tinggi pada Mahkamah Agung Republik Indonesia)

…yang dapat  dipailitkan  adalah seorang debitur. Guarantor adalah debitur apabila debitur lalai atau cidera janji, jadi seorang guarantor  dapat saja dipailitkan, maka yang menjadi permasalahan adalah kapan seorang penjamin dapat dimohonkan pailit?

-            Untuk guarantor yang tidak melepaskan hak-hak istimewanya maka kreditur harus menggugat debitur utama terlebih dahulu, setelah harta debitur utama disita dan dilelang tetapi tidak cukup utangnya untuk melunasi seluruh utangnya jadi masih ada sisa utang yang belum terbayar atau telah terbukti debitur utama telah tidak mempunyai harta apapun lagi atau debitur utama telah dinyatakan pailit oleh kreditur lain, baru kemudian kreditur dapat menagih utang debitur baru kemudian kreditur dapat menagih utang debitur utama kepada guarantor. Apabila guarantor setelah ditagih  tidak mau membayar maka dapat diajukan permohonan kepailitan, untuk kreditur pemohon harus dapat membuktikan bahwa:

1.Kreditur pemohon telah menagih/menggugat debitur  utama terlebih dahulu tetapi ternyata:

-         debitur utama tidak mempunyai harta sama sekali

-            harta debitur utama tidak cukup untuk melunasi utangnya.

-            debitur utama dalam keadaan pailit.

2.Guarantor sebagai debitur mempunyai lebih dari 1    kreditur.

3.Bahwa salah satu utang tersebut telah jatuh waktu

dan dapat ditagih.

-            Untuk guarantor yang telah melepaskan hak-hak istimewanya, terutama untuk guarantor yang telah menyatakan dirinya bertanggung jawab renteng  dengan debitur utama terhadap utang debitur utama kepada kreditur maka kreditur dapat lansung mengajukan permohonan kepailitan terhadap guarantor tersebut dengan mengajukan sebagai bukti:

1.     Surat perjanjian kredit

2.     Surat perjanjian penanggungan dimana guarantor telah melepaskan hak-hak istimewanya dan menyatakan bertanggung jawab renteng dengan debitur utama.

3.     Guarantor termohon pailit mempunyai utang pada kreditur lain.

4.     Salah satu utang tersebut telah jatuh waktu dan dapat ditagih tetapi guarantor sebagai pihak yang bertanggung jawab renteng dengan debitur utama terhadap utang tersebut, tetap tidak dibayar.

Jadi: “ …Guarantor baik itu Personal atau Coorporate Guarantor dapat dipailitkan hanya kapan, dalam hal apa juga bagaimana caranya harus diperhatikan dan dipenuhi agar Permohonanan Pernyataan Pailit terhadap Guarantor dapat dikabulkan.” 



Pendapat Denny Kailimang, S.H[11]

“ Sebagai debitur, Penanggung/Guarantor dapat saja dipailitkan dengan syarat Penanggung/Guarantor mempunyai lebih dari 1 kreditur, berarti selain mempunyai kewajiban membayar utang kepada kreditur (pemohon pailit) juga mempunyai utang kepada kreditur lainnya dan salah utang telah jatuh tempo dan dapat ditagih.”

Pendapat Yahya Harahap[12]

“ Borg atau Guarantor menurut pasal 1820 KUH Perdata, bukan debitur. Tetapi hanya seseorang yang mengikat diri untuk memenuhi perikatan apabila debitur sendiri tidak memenuhi. Dalam kedudukan perikatan yang demikian baik secara teknis dan subtantif, penjamin bukan berubah menjadi debitur. Kedudukannya secara yuridis telah dilembagakan secara murni dalam bentuk BORGTOCHT.” 



“ Tidak ada dasar hukum untuk menuntut dan menempatkan seorang guarantor dalam keadaan pailit…pada prinsipnya sifat BORGTOCHT, hanya menempatkan guarantor menanggung pembayaran yang akan dilaksanakan debitur, oleh karena itu yang memikul pembayaran utang yang sebenarnya tetap berada pada diri debitur. Pada saat Guarantor berada dalam keadaan tidak mampu kedudukannya sebagai penjamin harus diakhiri dan menggantinya dengan penjamin baru.”

Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa ternyata para ahli juga mempunyai perbedaan pendapat mengenai permasalahan dapatkah seorang guarantor dipailitkan. Menurut pendapat penulis, status penjamin dapat beralih menjadi debitur apabila dalam perjanjian penanggungannya (borgtocht) penjamin tersebut telah secara tegas melepaskan hak istimewanya dan debitur utama tidak dapat memenuhi perjanjiannya, terhadap penjamin yang demikian kedudukannya adalah sebagai debitur sehingga kepadanya dapat dimohonkan pernyataan pailit ke Pengadilan Niaga.

DAFTAR PUSTAKA

Elijana S. “Proses Mengajukan Permohonan Pailit Terhadap Guarantor dan Holding Company”, Penyelesaian Utang-Piutang.

Harahap, M. Yahya. Segi-Segi Hukum Perjanjian, (Bandung:Alumni 1982).

Harahap, Yahya. “Masalah Pailit Dikaitkan dengan Guarantor”, makalah ,  Bukti T-3 dalam perkara No. 037/Pailit/2001/PN.Niaga/JKT.PST.

Kailimang,Denny. “Problematik yang Dihadapi  Debitur/Kreditur Berkaitan dengan Personal Guarantee atau Coorporate Guarantee Sehubungan dengan Gugatan Kepailitan, Penyelesaian Utang-Piutang.

Prodojhamidjojo, Martiman. Proses Kepailitan Menurut Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Tentang Kepailitan, (Jakarta: CV. Mandar Maju, 1999).

Subekti. Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: PT Intermasa, 1987).

Suherman, E. Faillissement (Kefailitan), (Bandung: Binacipta, 1988).

Soekardono. Hukum Dagang Indonesia Jilid 1, (Jakarta: Soeroenga, 1960).

Wojowasito, S. Kamus Umum Belanda-Indonesia, (Jakarta: Ichtiar Baru-Van Hoeve, 1985).





[1]  M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, (Bandung:Alumni 1982), hal.315.


[2]               Ibid, hal.315.


[3]  Martiman Prodojhamidjojo, Proses Kepailitan Menurut Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Tentang Kepailitan, (Jakarta: CV. Mandar Maju, 1999), hal.1.


[4]   S. Wojowasito, Kamus Umum Belanda-Indonesia, (Jakarta: Ichtiar Baru-Van Hoeve, 1985), hal.188.


[5]  Ibid.


[6]   Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: PT Intermasa, 1987), hal. 230.


[7]  Soekardono, Hukum Dagang Indonesia Jilid 1, (Jakarta: Soeroenga, 1960).


[8] E. Suherman, Faillissement (Kefailitan), (Bandung: Binacipta, 1988), hal.5.


[9]  Ibid.


[10]  Elijana S, “Proses Mengajukan Permohonan Pailit Terhadap Guarantor dan Holding Company”, Penyelesaian Utang-Piutang, Op. Cit., hal. 402.


[11]  Denny Kailimang, “Problematik yang Dihadapi  Debitur/Kreditur Berkaitan dengan Personal Guarantee atau Coorporate Guarantee Sehubungan dengan Gugatan Kepailitan, Penyelesaian Utang-Piutang, Op.Cit., hal 412.


[12]   Yahya Harahap, “Masalah Pailit Dikaitkan dengan Guarantor”, makalah ,  Bukti T-3 dalam perkara No. 037/Pailit/2001/PN.Niaga/JKT.PST.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar