Minggu, 04 Oktober 2009

Panduan Hak dan Kewajiban Perpajakan




DAFTAR ISI
 
KATA SAMBUTAN MENTERI KEUANGAN RI
Halaman
KATA PENGANTAR DIREKTUR JENDERAL PAJAK

I.  
PENDAHULUAN

II.   
PENDAFTARAN

III.  
PEMBAYARAN, PEMOTONGAN/PEMUNGUTAN, PELAPORAN

IV. 
KELEBIHAN PEMBAYARAN

V.  
PEMERIKSAAN & PENYIDIKAN

VI. 
PENETAPAN, KEBERATAN, BANDING & PENINJAUAN KEMBALI

VII.
PENAGIHAN

VIII.
HAK-HAK WP LAINNYA

IX.  
INFORMASI LEBIH LANJUT

X.   
PELAYANAN DAN KELUHAN

XI.  
STRUKTUR ORGANISASI DJP

XII. 
SINGKATAN-SINGKATAN

XIII. 
INDEKS

 
 


KATA SAMBUTAN

Saya menyambut baik penerbitan Buku Panduan Hak dan Kewajiban Wajib Pajak yang disusun oleh Direktorat Jenderal Pajak ini. Dengan diterbitkannya buku ini, kita selangkah lebih maju lagi menuju ke arah pelaksanaan sistem perpajakan yang lebih transparan dan lebih adil.

Esensi daripada keadilan di bidang perpajakan adalah keseimbangan antara hak negara dan hak warga negara pembayar pajak. Hak negara adalah hak untuk memperoleh pembayaran pajak oleh warganegara sesuai dengan ketentuanyang berlaku, tidak lebih dan tidak kurang. Hak wajib pajak adalah hak untuk mendapat perlakuan yang adil dari negara dalam melaksanakan kewajibannya kepada negara tersebut dan hak untuk mendapatkan kepastian hukum apabila ia sudah memenuhi kewajibannya.
Agar keadilan itu menjadi kenyataan, dan bukan sekedar teori, baik negara maupun warga negara pembayar pajak perlu mengetahui dengan jelas hak-hak dan kewajiban masing-masing dan selanjutnya menerapkannya dalam praktek.

Buku ini diharapkan dapat memberikan informasi dasar mengenai hak-hak Wajib Pajak (atau sama dengan kewajiban-kewajiban negara terhadap wajib pajak) dan kewajiban-kewajibannya (atau hak-hak negara). Saya mengaharapkan agar buku informasi ini dapat terus disempurnakan di waktu-waktu mendatang berdasarkan masukan-masukan para Wajib Pajak yang menghadapi masalah kongkrit di lapangan agar manfaatnya dapat dirasakan oleh semua pihak.

Semoga upaya kita untuk membangun sistem perpajakan nasional yang modern dan adil dapat secara bertahap kita wujudkan bersama.



Jakarta, 8 Desember 2003
Menteri Keuangan
 
Ttd.

Boediono
  


KATA PENGANTAR

Kami ucapkan selamat kepada anda yang telah terdaftar menjadi Wajib Pajak. Dengan memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) berarti anda telah melakukan suatu langkah awal yang penting dalam melakukan kewajiban perpajakan anda dengan baik dan benar. Hal ini merupakan wujud partisipasi langsung anda dalam Pembangunan Nasional melalui pembayaran pajak. Pajak yang anda bayar merupakan salah satu sumber dana terpenting bagi kesinambungan gerak roda pembangunan nasional yang antara lain terwujud dengan tersedianya sarana-sarana pelayanan umum yang telah kita nikmati bersama.
Seperti Saudara ketahui, perpajakan di Indonesia menganut sistem self assesment, yaitu Wajib Pajak menghitung, melaporkan, dan membayar sendiri pajak terutang yang menjadi kewajibannya.

Dengan dianutnya sistem self assesment dalam sistem perpajakan di Indonesia maka pengetahuan perpajakan yang memadai merupakan salah satu syarat yang harus dimiliki oleh Wajib Pajak agar dapat memenuhi kewajiban perpajakannya secara baik dan benar. Oleh karena itu informasi yang cukup tentang hak dan kewajiban Wajib Pajak harus dapat tersosialisasikan dengan luas dan utuh.

Dengan terbitnya Buku Panduan Hak dan Kewajiban Wajib Pajak ini, diharapkan Wajib Pajak dapat mengenal dan memahami hak dan kewajiban sebagai Wajib Pajak, sekaligus sebagai sarana untuk meningkatkan pemahaman atas hal-hal yang berkaitan dengan ketentuan perpajakan. Dengan meningkatnya pemahaman tersebut diharapkan kepatuhan Wajib Pajak dalam membayar pajak juga semakin meningkat.

Dengan visi Direktorat Jenderal Pajak untuk menjadi model pelayanan masyarakat yang menyelenggarakan sistem dan manajemen perpajakan kelas dunia yang dipercaya dan dibanggakan masyarakat, Direktorat Jenderal Pajak secara terus menerus dan berkesinambungan berupaya untuk meningkatkan citra Direktorat Jenderal Pajak. Hal ini merupakan komitmen dan misi Direktorat Jenderal Pajak yang dilakukan oleh seluruh jajaran Direktorat Jenderal Pajak dalam rangka menghimpun penerimaan dalam negeri dari sektor pajak yang mampu menunjang kemandirian pembiayaan pemerintahan.

Akhirnya, kami ucapkan terima kasih atas partisipasi anda di dalam pembayaran pajak, dan besar harapan kami semoga anda senantiasa dapat memenuhi kewajiban perpajakan anda dengan baik dan benar.  

Jakarta, 19 Nopember 2003
Direktur Jenderal Pajak
 
Ttd.

Hadi Poernomo
NIP 060027375

  Buku Panduan Hak dan Kewajiban

I.
PENDAHULUAN
Pembayaran pajak merupakan perwujudan dari kewajiban kenegaraan dan peran serta Wajib Pajak untuk secara langsung dan bersama-sama melaksanakan kewajiban perpajakan untuk pembiayaan negara dan pembangunan nasional. Sesuai falsafah undang-undang perpajakan, membayar pajak bukan hanya merupakan kewajiban, tetapi merupakan hak dari setiap warga Negara untuk ikut berpartisipasi dalam bentuk peran serta terhadap pembiayaan negara dan pembangunan nasional.

Tanggung jawab atas kewajiban pembayaran pajak, sebagai pencerminan kewajiban kenegaran di bidang perpajakan berada pada anggota masyarakat sendiri untuk memenuhi kewajiban tersebut. Hal tersebut sesuai dengan sistem self assessment yang dianut dalam Sistem Perpajakan Indonesia. Pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak, sesuai dengan fungsinya berkewajiban melakukan pembinaan/penyuluhan, pelayanan, dan pengawasan. Dalam melaksanakan fungsinya tersebut, Direktorat Jenderal Pajak berusaha sebaik mungkin memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai visi dan misi Direktorat Jenderal Pajak. Penerbitan buku saku ini merupakan salah satu perwujudan dari fungsi di atas dengan maksud memberikan pemahaman yang lebih komprehensif tentang hak dan kewajiban selaku Wajib Pajak.

Sebelum sampai pada pembahasan tentang hak dan kewajiban Wajib Pajak pada bab-bab berikutnya, sebagai cakrawala pengetahuan perpajakan perlu diketahui terlebih dahulu tentang jenis dan macam papak yang berlaku di Indonesia.
 

A.
Jenis Pajak
Secara umum, pajak yang berlaku di Indonesia dapat dibedakan menjadi Pajak Pusat dan Pajak Daerah. Pajak Pusat adalah pajak-pajak yang dikelola oleh Pemerintah Pusat yang dalam hal ini sebagian dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak - Departemen Keuangan. Sedangkan Pajak Daerah adalah pajak-pajak yang dikelola oleh Pemerintah Daerah baik di tingkat Propinsi maupun Kabupaten/Kota.

Pajak-pajak Pusat yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak meliputi :


1.
Pajak Penghasilan (PPh)
PPh adalah pajak yang dikenakan kepada orang pribadi atau badan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam suatu Tahun Pajak. Yang dimaksud dengan penghasilan adlah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang berasal baik dari Indonesia maupun dari luar Indonesia yang dapat digunakan untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan dengan nama dan dalam bentuk apapun. Dengan demikian maka penghasilan itu dapat berupa keuntungan usaha, gaji, honorarium, hadiah, dan lain sebagainya.



2.
Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
PPN adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean. Orang Pribadi, perusahaan, maupun pemerintah yang mengkonsumsi Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak dikenakan PPN. Pada dasarnya, setiap barang dan jasa adalah Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak, kecuali ditentukan lain oleh Undang-undang PPN. Tarif PPN adalah tunggal yaitu sebesar 10%. Dalam hal ekspor, tarif PPN adalah 0%. Yang dimaksud Dengan Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, peraian, dan ruang udara diatasnya.



3.
Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPn BM)
Selain dikenakan PPN, atas barang-barang kena pajak tertentu yang tergolong mewah, juga dikenakan PPn BM. Yang dimaksud dengan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah adalah :
a.
Barang tersebut bukan merupakan barang kebutuhan pokok; atau
b.
Barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat tertentu; atau
c.
Pada umumnya barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan tinggi; atau
d.
Barang tersebut dikonsumsi untuk menunjukkan status; atau
e.
Apabila dikonsumsi dapat merusak kesehatan dan moral masyarakat, serta mengganggu ketertiban masyarakat.



4.
Bea Meterai
Bea Meterai adalah pajak yang dikenakan atas dokumen, seperti surat perjanjian, akta notaris, serta kwitansi pembayaran, surat berharga, dan efek, yang memuat jumlah uang atau nominal diatas jumlah tertentu sesuai dengan ketentuan.



5.
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
PBB adalah pajak yang dikenakan atas kepemilikan atau pemanfaatan tanah dan atau bangunan. PBB merupakan Pajak Pusat namun demikian hampir seluruh realisasi penerimaan PBB diserahkan kepada Pemerintah Daerah baik Propinsi maupun Kabupaten/Kota.
 


6.
Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
BPHTB adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Seperti halnya PBB, walaupun BPHTB dikelola oleh Pemerintah Pusat namun realisasi penerimaan BPHTB seluruhnya diserahkan kepada Pemerintah Daerah baik Propinsi maupun Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentuan.



Pajak-pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah baik Propinsi maupun Kabupaten/Kota antara lain meliputi :


1.
Pajak Propinsi
a.
Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air;
b.
Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air;
c.
Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bemotor;
d.
Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan.


2.
Pajak Kabupaten/Kota
a.
Pajak Hotel;
b.
Pajak Restoran;
c.
Pajak Hiburan;
d.
Pajak Reklame;
e.
Pajak Penerangan Jalan;
f.
Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C;
g.
Pajak Parkir.


B.
Manfaat Pajak
Sebagaimana halnya perekonomian dalam suatu rumah tangga atau keluarga, perekonomian negara juga mengenal sumber-sumber penerimaan dan pos-pos pengeluaran. Pajak merupakan sumber utama penerimaan negara. Tanpa pajak, sebagian besar kegiatan negara sulit untuk dapat dilaksanakan. Penggunaan uang pajak meliputi mulai dari belanja pegawai sampai dengan pembiayaan berbagai proyek pembangunan. Pembangunan sarana umum seperti jalan-jalan, jembatan, sekolah, rumah sakit/puskesmas, kantor polisi dibiayai dengan menggunakan uang yang berasal dari pajak. Uang pajak juga digunakan untuk pembiayaan dalam rangka memberikan rasa aman bagi seluruh lapisan masyarakat. Setiap warga negara mulai saat dilahirkan sampai dengan meninggal dunia, menikmati fasilitas atau pelayanan dari pemerintah yang semuanya dibiayai dengan uang yang berasal dari pajak. Dengan demikian jelas bahwa peranan penerimaan pajak bagi suatu negara menjadi sangat dominan dalam menunjang jalannya roda pemerintahan dan pembiayaan pembangunan.

Disamping fungsi budgeter (fungsi penerimaan) di atas, pajak juga melaksanakan fungsi redistribusi pendapatan dari masyarakat yang mempunyai kemampuan ekonomi yang lebih tinggi kepada masyarakat yang kemampuannya lebih rendah. Oleh karena itu tingkat kepatuhan Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya secara baik dan benar merupakan syarat mutlak untuk tercapainya fungsi redistribusi pendapatan. Sehingga pada akhirnya kesenjangan ekonomi dan sosial yang ada dalam masyarakat dapat dikurangi secara maksimal.


II.
PENDAFTARAN
Sesuai dengan sistem self assessment maka Wajib Pajak mempunyai kewajiban untuk mendaftarkan diri ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) atau Kantor Penyuluhan dan Pengamatan Potensi Perpajakan (KP4) yang wilayahnya meliputi tempat tinggal atau kedudukan Wajib Pajak untuk diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP);
Disamping melalui KPP atau KP4, pendaftaran NPWP juga dapat dilakukan melalui e-register, yaitu suatu cara pendaftaran NPWP melalui media elektronik on-line (internet).

Fungsi NPWP adalah :
-
sebagai sarana dalam administrasi perpajakan.
-
sebagai identitas Wajib Pajak.
-
menjaga ketetiban dalam pembayaran pajak dan pengawasan administrasi perpajakan.
-
Dicantumkan dalam setiap dokumen perpajakan.


Dengan memiliki NPWP, Wajib Pajak memperoleh beberapa manfaat langsung lainnya, seperti : sebagai pembayaran pajak di muka (angsuran/kredit pajak) atas Fiskal Luar Negeri yang dibayar sewaktu Wajib Pajak bertolak ke Luar Negeri, memenuhi salah satu persyaratan ketika melakukan pengurusan Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP), dan salah satu syarat pembuatan Rekening Koran di bank-bank.
 

A.
NPWP
NPWP adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana yang merupakan tanda pengenal atau identitas bagi setiap Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajibannya di bidang perpajakan. Untuk memperoleh NPWP, Wajib Pajak wajib mendaftarkan diri pada KPP, atau KP4 dengan mengisi formulir pendaftaran dan melampirkan persyaratan administrasi yang diperlukan, atau dapat pula mendaftarkan diri secara on-line melalui e-register.

Syarat-syarat pendaftaran Wajib Pajak :
1.
Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi, dokumen yang diperlukan hanya berupa Fotokopi KTP yang masih berlaku atau Kartu Keluarga.
2.
Bagi Wajib Pajak Badan, dokumen yang diperlukan antara lain :
a.
Fotokopi Akte Pendirian Perusahaan;
b.
Fotokopi KTP Pengurus; dan
c.
Surat Keterangan Kegiatan Usaha dari Lurah.


Kepada Wajib Pajak diberikan Surat Keterangan Terdaftar (SKT) paling lambat pada hari kerja berikutnya dan Kartu NPWP diberikan paling lambat 3 (tiga) hari kerja setelah diterimanya permohonan secara lengkap. Perlu diketahui masyarakat bahwa untuk pengurusan NPWP tersebut di atas TIDAK DIPUNGUT BIAYA APAPUN.



B.
Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (PPKP)
Setelah memperoleh NPWP, Wajib Pajak sebagai Pengusaha yang dikenakan PPN wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) pada KPP, KP4, atau dapat pula dilakukan secara on-line melalui e-register. Dalam rangka pengukuhan sebagai PKP tersebut maka akan dilakuan penelitian setempat mengenai keberadaan dan kegiatan usaha yang bersangkutan. Dengan dikukuhkannya Pengusaha sebagai PKP maka atas penyerahan barang kena pajak atau jasa kena pajak, wajib diterbitka Faktur Pajak.


III.
PEMBAYARAN, PEMOTONGAN/PEMUNGUTAN, DAN PELAPORAN
Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakan sesuai dengan sistem self assessment wajib melakukan sendiri penghitungan, pembayaran, dan pelaporan pajak terutang.


A.
Pembayaran Pajak
Mekanisme Pembayaran Pajak :


a.
Membayar sendiri pajak yang terutang :
1)
Pembayaran angsuran setiap bulan (PPh Pasal 25)
Pembayaran PPh Pasal 25 yaitu pembayaran pajak penghasilan secara angsuran. Hal ini dimaksudkan untuk meringankan beban Wajib Pajak dalam melunasi pajak yang terutang dalam satu tahun pajak. Wajib Pajak diwajibkan untuk mengangsur pajak yang akan terutang pada akhir tahun dengan membayar sendiri angsuran pajak setiap bulan.
2)
Pembayaran PPh Pasal 29 setelah akhir tahun;
Pembayaran PPh Pasal 29 yaitu pelunasan pajak penghasilan yang dilakukn sendiri oleh Wajib Pajak pada akhir tahun pajak apabila pajak terutang untuk suatu tahun pajak lebih besar dari jumlah total pajak yang dibayar sendiri dan pajak yang dipotong atau dipungut pihak lain sebagai kredit pajak yang


b.
Melalui pemotongan dan pemungutan oleh pihak lain (PPh Pasal 4 (2), PPh Pasal 15, PPh Pasal 21, 22, dan 23, serta PPh Pasal 26).
Pihak lain disini berupa :
1)
Pemberi penghasilan;
2)
Pemberi kerja; atau
3)
Pihak lain yang ditunjuk atau ditetapkan oleh pemerintah.



Penjelasan lebih lanjut mengenai pemotongan dan pemungutan pajak diuraikan lebih lanjut pada bagian Pemotongan/ Pemungutan (butir C).


c.
Pemungutan PPN oleh pihak penjual atau oleh pihak yang ditunjuk pemerintah.


d.
Pembayaran Pajak-pajak lainnya.
1)
Pembayaran PBB yaitu pelunasan berdasarkan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT). Untuk daerah Jakarta, pembayaran PBB sudah dapat dilakukan dengan menggunakan ATM di Bank-bank tertentu.
2)
Pembayaran BPHTB yaitu pelunasan pajak atas perolehan hak atas tanah dan bangunan.
3)
Pembayaran Bea Meterai yaitu pelunasan pajak atas dokumen yang dapat dilakukan dengan cara menggunakan benda meterai berupa meterai tempel atau kertas bermeterai atau dengan cara lain seperti menggunakan mesin teraan.


B.
Pelaksanaan Pembayaran Pajak
Pembayaran pajak dapat dilakukan di bank-bank pemerintah maupun swasta dan kantor pos dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) yang dapat diambil di KPP atau KP4 terdekat, atau dengan cara lain melalui pembayaran pajak secara elektronik (e-payment).


C.
Pemotongan / Pemungutan
Selain pembayaran bulanan yang dilakukan sendiri, ada pembayaran bulanan yang dilakukan dengan mekanisme pemotongan/pemungutan yang dilakukan oleh pihak ketiga. Adapun jenis pemotongan/pemungutan adalah PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, PPh Pasal 26, dan PPN dan PPn BM.

Adapun definisi dari masing-masing pajak penghasilan tersebut adalah sebagai berikut : 


-
PPh Pasal 21 adalah pemotongan pajak yang dilakukan oleh pihak ke-3 sehubungan dengan penghasilan yang diterima oleh Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan (seperti gaji yang diterima oleh pegawai dipotong oleh perusahaan dimana dia bekerja).


-
PPh Pasal 22 adalah pemungutan pajak yang dilakukan oleh pihak ke-3 sehubungan dengan pembayaran atas penyerahan barang, impor barang dan kegiatan usaha di bidang-bidang tertentu (seperti penyerahan barang oleh rekanan kepada bendaharawan pemerintah).


-
PPh Pasal 23 adalah pemotongan pajak yang dilakukan oleh pihak ke-3 sehubungan dengan penghasilan tertentu seperti : deviden, bunga, royalty, sewa, dan jasa yang diterima oleh WP badan dalam negeri, dan BUT.


-
PPh Pasal 26 adalah pemotongan pajak yang dilakukan oleh pihak ke-3 sehubungan denan penghasilan yang diterima oleh WP luar negeri.


-
PPh Final (Pasal 4 ayat (2)
Ada beberapa penghasilan yang dikenakan PPh Final. Yang dimaksud final disini bahwa pajak yang dipotong, dipungut oleh pihak ketiga atau dibayar sendiri tidak dapat dikreditkan (bukan pembayaran di muka) terhadap utang pajak pada akhir tahun dalam penghitungan pajak penghasilan pada SPT Tahunan. Beberapa contoh penghasilan yang dikenakan PPh final : bunga deposito, penjualan tanah dan bangunan, persewaan tanah dan bangunan, hadiah undian, bunga obligasi dsb.


-
PPh Pasal 15 adalah pemotongan pajak penghasilan yang dilakukan oleh Wajib Pajak tertentu yang menggunakan norma penghitungan khusus, antara lain perusahaan pelayaran atau penerbangan international, perushaan asuransi luar negeri, perusahaan pengeboran minyak, gas dan panas bumi, perusahaan dagang asing, perusahaan yang melakukan investasi dalam bentuk bangun guna serah.



Seperti halnya PPh Pasal 25, pemotongan/pemungutan tersebut merupakan angsuran pajak. Untuk PPh dikreditkan pada akhir tahun, sedangkan PPN dikreditkan pada masa diberlakukannya pemungutan dengan mekanisme Pajak Keluaran (PK) dan Pajak Masukan (PM).

Apabila pihak-pihak yang diberi kewajiban oleh DJP untuk melakukan pemotongan/pemungutan tidak melakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, maka dapat dikenakan sanksi administrasi berupa bunga 2% dan kenaikan 100%.
 

D.
Pelaporan
Sebagaimana ditentukan dalam Undang-undang Perpajakan, Surat Pemberitahuan (SPT) mempunyai fungsi sebagai suatu sarana bagi Wajib Pajak di dalam melaporkan dan mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah pajak yang sebenarnya terutang. Selain itu Surat Pemberitahuan berfungsi untuk melaporkan pembayaan atau pelunasan pajak baik yang dilakukan Wajib Pajak sendiri maupun melalui mekanisme pemotongan dan pemungutan yang dilakukan oleh pihak ke-3, melaporkan harta dan kewajiban, dan pembayaran dari pemotong atau pemungut tentang pemotongan dan pemungutan pajak yang telah dilakukan. Sehingga Surat Pemberitahuan mempunyai makna yang cukup penting baik bagi Wajib Pajak maupun aparatur pajak.

Pelaporan pajak disampaikan ke KPP atau KP4 dimana Wajib Pajak terdaftar. SPT dapat dibedakan sebagai berikut :


1)
SPT Masa, yaitu SPT yang digunakan untuk melakukan pelaporan atas pembayaran pajak bulanan. Ada beberapa SPT Masa :
-
PPh Pasal 21,
-
PPh Pasal 22,
-
PPh Pasal 23,
-
PPh Pasal 25,
-
PPh Pasal  26,
-
PPN dan PPnBM,
-
Pemungut PPN


2)
SPT Tahunan, yaitu SPT yang digunakan untuk pelaporan tahunan. Ada beberapa jenis SPT Tahunan :
-
Badan
-
Orang Pribadi
-
Pasal 21



Untuk lampiran 1721 A1 pada SPT Tahunan PPh Pasal 21 dapat digunakan media elektronik (disket dan cartridge).
Saat ini khusus untuk SPT Masa PPN sudah dapat disampaikan secara elektronik (on-line) melalui aplikasi e-filing. Dalam waktu dekat, penyampaian SPT Tahunan PPh dapat dilakukan secara online melalui aplikasi e-SPT.
Keterlambatan pelaporan untuk SPT masa dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp. 50.000,- dan SPT tahunan sebesar Rp. 100.000,-.



No
Jenis SPT
Batas Waktu Pembayaran
Batas Waktu Pelaporan
Masa
1
PPh Pasal 21/26
Tgl. 10 bulan berikut
Tgl. 20 bulan berikut
2
PPh Pasal 23/26
Tgl. 10 bulan berikut
Tgl. 20 bulan berikut
3
PPh Pasal 25
Tgl. 15 bulan berikut
Tgl. 20 bulan berikut
4
PPh Pasal 22, PPN & PPn BM oleh Bea Cukai
1 hari setelah dipungut
7 hari setelah pembayaran
5
PPh Pasal 22 - Bendaharawan Pemerintah
Pada hari yang sama saat penyerahan barang
Tgl. 14 bulan berikujt
6
PPh Pasal 22 - Pertamina
Sebelum Delivery Order dibayar
 
7
PPh Pasal 22 - Pemungut tertentu
Tgl. 10 bulan berikut
Tgl. 20 bulan berikut
8
PPh Pasal 4 ayat (2)
Tgl. 10 bulan berikut
Tgl. 20 bulan berikut
9
PPN dan PPn BM - PKP
Tgl. 15 bulan berikut
Tgl. 20 bulan berikut
10
PPN dan PPn BM - Bendaharawan
Tgl. 17 bulan berikut
Tgl. 14 bulan berikut
11
PPN & PPn BM - Pemungut Non Bendaharawan
Tgl. 15 bulan berikut
Tgl. 20 bulan berikut
Tahunan
1
PPh - Badan, OP, PPh Pasal 21
Tgl. 25 bulan ketiga setelah berakhirnya tahun atau bagian tahun pajak
Tgl. 31 bulan ketiga setelah berakhirnya tahun atau bagian tahun pajak
2
PBB
6 (enam) bulan sejak tanggal diterimanya SPPT
----
3
BPHTB
Dilunasi pada saat terjadinya perolehan hak atas tanah dan bangunan
----
  

IV.
KELEBIHAN PEMBAYARAN
Dalam hal pajak yang terutang untuk suatu tahun pajak ternyata lebih kecil dari jumlah kredit pajak, atau dengan kata lain pembayaran pajak yang dibayar atau dipotong atau dipungut lebih besar dari yang seharusnya terutang, maka Wajib Pajak mempunyai hak untuk mendapatkan kembali kelebihan tersebut. Pengembalian kelebihan pembayaran pajak dapat diberikan dalam waktu 12 (dua belas) bulan sejak surat permohonan diterima secara lengkap.

Untuk Wajib Pajak masuk kriteria Wajib Pajak Patuh, pengembalian kelebihan pembayaran pajak dapat dilakukan paling lambat 3 bulan untuk PPh da 1 bulan untuk PPN sejak permohonan diterima. Perlu diketahui pengembalian ini dilakukan tanpa pemeriksaan.

Wajib Pajak dapat melakukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak melalui dua cara :
Yang Pertama, dengan melalui Surat Pemberitahuan (SPT),

Yang Kedua, dengan mengirimkan surat permohonan yang ditujukan kepada Kepala KPP.
Apabila DJP terlambat mengembalikan kelebihan pembayaran yang semestinya dilakukan, maka Wajib Pajak berhak menerima bunga 2% per bulan maksimum 24 bulan.
 
V.
PEMERIKSAAN & PENYIDIKAN
Untuk menguji kepatuhan Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya, Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak. Pelaksanaan pemeriksaan dilakukan dalam rangka menjalankan fungsi pengawasan terhadap Wajib Pajak yang bertujuan untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak.


A.
Pemeriksaan
Direktorat Jenderal Pajak dapat melakukan pemeriksaan dengan tujuan menguji kepatuhan Wajib Pajak dan tujuan lain yang ditetapkan ole Direktorat Jenderal Pajak.

Dalam hal dilakukan pemeriksaan, Wajib Pajak berhak :
-
Meminta Surat Perintah Pemeriksaan
-
Melihat Tanda Pengenal Pemeriksa
-
Mendapat penjelasan mengenai maksud dan tujuan pemeriksaan
-
Meminta rincian perbedaan antara hasil pemeriksaan dan SPT

 

Pemeriksaan yang dilakukan dapat dibedakan menjadi pemeriksaan rutin, pemeriksaan kriteria seleksi, pemeriksaan khusus, pemeriksaan Wajib Pajak lokasi, pemeriksaan tahun berjalan dan pemeriksaan bukti permulaan. Pemeriksaan yang disebutkan terakhir adalah pemeriksaan yang dilakukan terhadapWajib Pajak yang terindikasi melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.

Berdasarkan ruang lingkunya jenis-jenis pemeriksaan sebagaimana disebutkan di atas dapat dibedakan menjadi pemeriksaan lapangan dan pemeriksaan kantor. Suatu jenis pemeriksaan dapat dilakukan hanya dengan pemeriksaan kantor, sedangkan jenis pemeriksaan lainnya dapat dilakukan dengan keduanya.
 

B.
Penyidikan
Penyidikan adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh Penyidik yaitu Pengawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak, untuk mencari dan mengumpulkan bukti-bukti yang membuat terang tindak pidana di bidang perpajakan.

Tindak pidana di bidang perpajakan dapat berupa kealpaan atau kesengajaan yang dilakukan oleh Wajib Pajak. Yang dimaksud dengan kealpaan disini adalah Wajib Pajak alpa tidak menyampaikan SPT atau menyampaikan SPT tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar, sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara. Kealpaan dapat diartikan tidak sengaja, lalai, tidak hati-hati, atau kurang mengindahkan kewajibannya.

Sedangkan kriteria kesengajaan adalah sebagai berikut :
-
Tidak mendaftarkan diri, atau penyalahgunaan NPWP atau PPKP;
-
Tidak menyampaikan SPT;
-
Menyampaikan SPT dan atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap;
-
Menolak untuk dilakukan pemeriksaan;
-
Memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu;
-
Tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan, tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan buku,     catatan, atau dokumen lainnya; atau
-
Tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut, sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara.

VI.
PENETAPAN, KEBERATAN, BANDING & PENINJAUAN KEMBALI
Berdasarkan hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak, maka akan diterbitkan suatu surat ketetapan pajak, yang dapat mengakibatkan pajak terutang menjadi kurang bayar, lebih bayar, atau nihil. Jika Wajib Pajak tidak sependapat maka dapat mengajukan keberatan atas surat ketetapan tersebut. Selanjutya apabila belum puas dengan keputusan keberatan tersebut maka Wajib Pajak dapat mengajukan banding. Langkah terakhir yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak dalam sengketa pajak adalah peninjauan kembali ke Mahkamah Agung.


A.
Penetapan
Penetapan pajak dapat dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak. Jenis-jenis ketetapan yag dikeluarkan adalah : Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), dan Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN). Disamping itu dapat diterbitkan pula Surat Tagihan Pajak (STP) dalam hal dikenakannya sanksi administrasi dapat berupa denda, bungan, dan kenaikan.




Sanksi Administrasi
No
Pasal
Masalah
Sanksi
Ket.
Denda
1.
7 (1)
SPT Terlambat disampaikan :
 
 
 
 
a. Masa
Rp. 50.000
Per SPT
 
 
b. Tahunan
Rp. 100.000
Per SPT
2.
8 (3)
Pembetulan sendiri dan belum disidik
200%
Dari jumlah pajak yang kurang dibayar
3.
14 (4)
a. Pengusaha kena PPN tidak PKP
2%
  \
    > Dari DPP
  /

 
 
b. Pengusaha tidak PKP buat faktur pajak
2%
 
 
c. PKP tidak buat faktur atau faktur tidak lengkap
2%
Bunga
1.
8 (2)
Pembetulan SPT dalam 2 tahun
2%
Per bulan, dari jumlah pajak yang kurang dibayar
2.
9 (2a)
Keterlambatan pembayaran pajak masa dan tahunan
2%
Per bulan, dari jumlah pajak terutang
3.
13 (2)
Kekurangan pembayaran pajak dalam SKPKB
2%
Per bulan, dari jumlah kurang dibayar, max 24 bulan
4.
13 (5)
SKPKB diterbitkan setelah lewat waktu 10 tahun karena adanya tindak pidana
48%
Dari jumlah paak yang tidak mau atau kurang dibayar.
5.
14 (3)
a. PPh tahunn berjalan tidak/kurang bayar
2%
Per bulan, dari jumlah pajak tidak/kurang dibayr, max 24 bulan
 
 
b. SPT kurang bayar
2%
Per bulan, dari jumlah pajak tidak/kurang dibayr, max 24 bulan
6.
15 (4)
SKPKBT diterbitkan setelah lewat wkatu 10 tahun karena adanya tindak pidana
48%
Dari jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar
7.
19 (1)
SKPKB/T, SK Pembetulan, SK Keberatan, Putusan Banding yang menyebabkan kurang bayar terlambat dibayar
2%
Per bulan, atas jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar
8.
19 (2)
Mengangsur atau menunda
2%
Per bulan, bagian dari bulan dihitung penuh 1 bulan
9.
19 (3)
Kekurangan pajak akibat penundaan SPT
2%
Atas kekurangan pembayaran pajak
 
Kenaikan

1.
8 (5)
Pengungkapan ketidak benaran SPT setelah lewat 2 tahun sebelum terbitnya SKP
50%
Dari pajak yang kurang dibayar
2.
13 (3)
Apabila: SPT tidak disampaikan sebagaimana disebut dalam surat teguran, PPN/PPnBM yang tidak seharusnya dikompensasikan atau tidak tarif 0%, tidak terpenuhinya Pasal 28 dan 29
 
 
 
 
a. PPh yang tidak atau kurang dibayar
50%
Dari PPh yang tidak/kurang dibayar
 
 
b. tidak/kurang dipotong/ dipungut/ disetorkan
100%
Dari PPh yang tidak/kurang dipotong/dipungut
 
 
c. PPN/PPnBM tidak atau kurang dibayar
100%
Dari PPN/PPnBM yang tidak atau kurang dibayar
3.
15 (2)
Kekurangan pajak pada SKPKBT
100%
Dari jumlah kekurangan pajak tersebut


 

B.
Keberatan
Wajib Pajak mempunyai hak untuk mengajukan keberatan atas suatu ketetapan pajak dengan mengajukan keberatan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak paling lambat 3 bulan sejak tanggal surat ketetapan, dan atas keberatan tersebut Direktur Jenderal Pajak akan memberikan keputusan paling lama dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak surat keberatan diterima.

Syarat pengajuan keberatan adalah :


-
Mengajukan surat keberatan kepada Direktur Jenderal Pajak c.q. Kepala Kantor Pelayanan Pajak setempat atas SKPKB, SKPKBT, SKPLB, SKPN, dan Pemotongan dan Pemungutan oleh pihak ketiga.


-
Diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan mengemukakan jumlah pajak terutang menurut perhitungan Wajib Pajak dengan menyebutkan alasan-alasan yang jelas.


-
Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak surat ketetapan pajak, kecuali Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena di luar kekuasaannya.


-
Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan di atas tidak dianggap sebagai Surat Keberatan, sehingga tidak dipertimbangkan.


C.
Banding
Apabila Wajib Pajak masih belum puas dengan Surat Keputusan Keberatan atas keberatan yang diajukannya, maka Wajib Pajak masih dapat mengajukan banding ke Badan Peradilan Pajak. Permohonan banding diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dalam waktu 3 (tiga) bulan sejak keputusan diterima dilampiri surat Keputusan Keberatan tersebut. Terhadap 1 (satu) Keputusan diajukan 1 (satu) Surat Banding. Perlu diketahui bahwa Wajib Pajak yang mengajukan banding harus membayar minimal 50% dari utang pajak yang diajukan banding. Pengadilan Pajak harus menetapkan putusan paling lambat 12 (dua belas) bulan sejak Surat Banding diterima.

Apabila putusan Pengadilan Pajak mengabulkan sebagian atau seluruh Banding, maka kelebihan pembayaran pajak dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan.


D.
Peninjauan Kembali (PK)
Apabila Wajib Pajak masih belum puas dengan Putusan Banding, maka Wajib Pajak masih memiliki hak mengajukan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung. Permohonan Peninjauan Kembali hanya dapat diajukan 1 (satu) kali kepada Mahkamah Agung melalui Pengadilan Pajak.

Pengajuan permohonan PK dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak diketahuinya kebohongan atau tipu muslihat atau sejak putusan Hakim Pengadilan pidana memperoleh kekuatan hukum tetap atau ditemukannya bukti tertulis baru atau sejak putusan banding dikirim.

Mahkamah Agung mengambil keputusan dalam jangka wkatu 6 (enam) bulan sejak permohonan PK diterima.


VII.
PENAGIHAN
Apabila WP tidak membayar pajak terutang sesuai dengan jangka waktu yang telah ditentukan dalam STP, SKPKB, SKPKBT, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, maka DJP dapat melakukan tindakan penagihan. Proses penagihan dimulai dengan Surat Teguran dan dilanjutkan dengan Surat Paksa. Dalam hal WP tetap tidak membayar tagihan pajaknya maka dapat dilakukan penyitaan dan pelelangan atas harta WP yang disita tersebut untuk melunasi pajak yang tidak/belum dibayar.

Adapun jangka waktu proses penagihan sebagai berikut : 
-
Surat Teguran diterbitkan apabila dalam jangka 7 (tujuh) hari dari jatuh tempo pembayaran Wajib Pajak tidak membayar utang pajaknya.
-
Surat Paksa diterbitkan dalam jangka 21 (dua puluh satu) hari setelah Surat Teguran apabila Wajib Pajak tetap belum melunasi utang pajaknya.
-
Sita dilakukan dalam jangka waktu 2 x 24 jam sejak Surat Paksa disampaikan.
-
Lelang dilakukan paling singkat 14 (empat belas) hari setelah pengumuman lelang. Sedangkan pengumuman lelang dilakukan paling singkat 14 (empat belas) hari setelah penyitaan.
 
DJP dapat melakukan pencegahan dan penyanderaan terhadap Wajib Pajak/penanggung pajak yang tidak kooperatif dalam membayar hutang pajaknya.
 
 
VIII.
HAK-HAK WP LAINNYA

-
Kerahasiaan Wajib Pajak
Wajib Pajak mempunyai hak untuk mendapat perlindungan kerahasiaan atas segala sesuatu informasi yang telah disampaikannya kepada Direktorat Jenderal Pajak dalam rangka menjalankan ketentuan perpajakan. Disamping itu pihak lain yang melakukan tugas di bidang perpajakan juga dilarang mengungkapkan kerahasiaan Wajib Pajak, termasuk tenaga ahli, sepert ahli bahasa, akuntan, pengacara yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak untuk membantu pelaksanaan undang-undang perpajakan.
Kerahasiaan Wajib Pajak antara lain :
-
Surat Pemberitahuan, laporan keuangan, dan dokumen lainnya yang dilaporkan oleh Wajib Pajak;
-
Data dari pihak ketiga yang bersifat rahasia;
-
Dokumen atau rahasia Wajib Pajak lainnya sesuai ketentuan perpajakan yang berlaku.

-
Namun demikian dalam rangka penyidikan, penuntutan atu dalam rangka kerjasama dengan instansi pemerintah lainnya, keterangan atau bukti tertuils dari atau tentang Wajib Pajak dapat diberikan atau diperlihatkan kepada pihak tertentu yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

-
Penundaan Pembayaran
Dalam hal-hal atau kondisi tertentu, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan menunda pembayaran pajak.

-
Pengangsuran Pembayaran
Dalam hal-hal atau kondisi tertentu, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan mengangsur pembayaran pajak.

-
Penundaan Pelaporan SPT Tahunan
Dengan alasan-alasan tertentu, Wajib Pajak dapat menyampaikan perpanjangan penyampaian SPT Tahunan baik PPh Badan maupun PPh Pasal 21.

-
Pengurangan PPh Pasal 25
Dengan alasan-alasan tertentu, Wajib Pajak dapat mengajukan pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25.

-
Pengurangan PBB
Wajib Pajak orang pribadi atau badan karena kondisi tertentu objek pajak yang ada hubungannya dengan subjek pajak atau karena sebab-sebab tertentu lainnya serta dalam hal objek pajak yang terkena bencana alam dan juga bagi Wajib Pajak anggota veteran pejuang kemerdekaan dan veteran pembela kemerdekaan, dapat mengajukan permohonan pengurangan atas pajak terutang.

-
Pembebasan Pajak
Dengan alasan-alasan tertentu, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan pembebasan atas pemotongan/ pemungutan pajak penghasilan.

-
Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak
Wajib Pajak yang telah memenuhi kriteria tertentu sebagai Wajib Pajak Patuh dapat diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak dalam jangka waktu paling lambat 1 bulan untuk PPN dan 3 bulan untuk PPh sejak tanggal permohonan.

-
Pajak Ditanggung Pemerintah
Dalam rangka pelaksanaan proyek pemerintah yang dibiayai dengan hibah atau dana pinjaman luar negeri PPh yang terutang atas penghasilan yang diterima oleh kontraktor, konsultan dan supplier utama ditanggung oleh pemerintah.

-
Insentif Perpajakan
Di bidang PPN, untuk Barang Kena Pajak tertentu atau kegiatan tertentu diberikan fasilitas pembebasan PPN atau PPN Tidak Dipungut.  BKP tertentu yang dibebaskan dari pengenaan PPN antara lain Kereta Api, Pesawat Udara, Kapal Laut, Buku-buku, perlengkapan TNI/POLRI. Perusahaan yang melakukan kegiatan di kawasan tertentu seperti Kawasan Berikat mendapat fasilitas PPN Tidak Dipungut antara lain atas impor dan perolehan bahan baku.


IX.
INFORMASI LEBIH LANJUT
Apabila anda ingin mengetahui lebih lanjut tentang perpajakan, anda dapat menghubungi Kantor Wilayah, KPP dan KP4 terdekat. Anda juga dapat mengakses Web Site DJP dengan alamat www.pajak.go.id untuk mengetahui ketentuan perpajakan yang berlaku.
 

X.
PELAYANAN DAN KELUHAN
Sampaikan keluhan, kritik dan saran anda atas pelayanan Direktorat Jenderal Pajak secara langsung ke Kotak Pos 111 JKTM 12700.
Sampaikan keluhan, Kritik dan sarana anda atas pelayanan Direktorat Jenderal Pajak melalui Komisi Ombudsman Nasional, Jl. Adityawarman No. 43 Kebayoran Baru Jakarta 12160 telepon (021) 7258574-78 fax (021) 7258579.
  




XI. STRUKTUR ORGANISASI DJP



XII.
SINGKATAN SINGKATAN
Dibawah ini ada beberapa singkatan yang telah biasa digunakan dalam kegiatan sehari-hari di perpajakan :
-
BKP
:
Barang Kena Pajak
-
BPHTB
:
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
-
DJP
:
Direktorat Jenderal Pajak
-
Dirjen Pajak
:
Direktur Jenderal Pajak
-
JKP
:
Jasa Kena Pajak
-
KARIKPA
:
Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak
-
KPP
:
Kantor Pelayanan Pajak
-
KP PBB
:
Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan
-
KP4
:
Kantor Penyuluhan dan Pengamatan Potensi Perpajakan
-
NOP
:
Nomor Objek Pajak
-
NJOP
:
Nilai Jual Objek Pajak
-
NPWP
:
Nomor Pokok Wajib Pajak
-
PBB
:
Pajak Bumi dan Bangunan
-
PKP
:
Pengusaha Kena Pajak
-
PPKP
:
Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak
-
PPN
:
Pajak Pertambahan Nilai
-
PPn BM
:
Pajak Penjualan atas Barang Mewah
-
PPh
:
Pajak Penghasilan
-
PTKP
:
Penghasilan Tidak Kena Pajak
-
SKP
:
Surat Ketetapan Pajak
-
SKPKB
:
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
-
SKPKBT
:
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan
-
SKPLB
:
Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar
-
SKPN
:
Surat Ketetapan Pajak Nihil
-
SPT
:
Surat Pemberitahuan
-
SPOP
:
Surat Pemberitahuan Objek Pajak
-
SPPT
:
Surat Pemberitahuan Pajak Terutang
-
SSP
:
Surat Setoran Pajak
-
STP
:
Surat Tagihan Pajak
-
WP
:
Wajib Pajak


Tidak ada komentar:

Posting Komentar