Minggu, 04 Oktober 2009

UNDANG UNDANG MENGENAI BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN/ATAU BANGUNAN


SUSUNAN DALAM SATU NASKAH
 
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini, yang dimaksud dengan :
1.
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan, yang selanjutnya disebut pajak.
2.
Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan.
3.
Hak atas tanah dan atau bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan, beserta bangunan di atasnya, sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Undang-undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun, dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
4.
Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan atau sanksi administrasi berupa bunga dan atau denda.
5.
Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar adalah surat ketetapan yang menentukan besarnya jumlah pajak yang terutang, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah yang masih harus dibayar.
6.
Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan adalah surat ketetapan yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan.
7.
Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Lebih Bayar adalah surat ketetapan yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah pajak yang telah dibayar lebih besar daripada pajak yang seharusnya terutang.
8.
Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Nihil adalah surat ketetapan yang menentukan jumlah pajak yang terutang sama besarnya dengan jumlah pajak yang dibayar.
9.
Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melakukan pembayaran atau penyetoran pajak yang terutang ke kas negara melalui Kantor Pos dan atau Bank Badan Usaha Milik Negara atau Bank Badan Usaha Milik Daerah atau tempat pembayaran lain yang ditunjuk olehMenteri dan sekaligus untuk melaporkan data perolehan hak atas tanah dan atau bangunan.
10.
Surat Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan untuk membetulkan kesalahan tulis, kesalahan hitung dan atau kekeliruan dalam penerapan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang terdapat dalam Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar, Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Lebih Bayar, Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Nihil, atau Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
11.
Surat Keputusan Keberatan adalah surat keputusan atas keberatan terhadap Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar, Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Lebih Bayar, atau Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Nihil yang diajukan oleh Wajib Pajak.
12.
Putusan Banding adalah putusan badan peradilan pajak atas banding terhadap Surat Keputusan Keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak.
13.
Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia.
Penjelasan Pasal 1
Cukup jelas
BAB II
OBJEK PAJAK
Pasal 2
(1)
Yang menjadi objek pajak adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan.
(2)
Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi:

a.
pemindahan hak karena:


1.
jual beli;


2.
tukar-menukar;


3.
hibah;


4.
hibah wasiat;


5.
waris;


6.
pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya;


7.
pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;


8.
penunjukan pembeli dalam lelang;


9.
pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;


10.
penggabungan usaha;


11.
peleburan usaha;


12.
pemekaran usaha;


13.
hadiah.

b.
pemberian hak baru karena:


1.
kelanjutan pelepasan hak;


2.
di luar pelepasan hak.
(3)
Hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah:

a.
hak milik;

b.
hak guna usaha;menerbitkan:

c.
hak guna bangunan;

d.
hak pakai;

e.
hak milik atas satuan rumah susun;

f.
hak pengelolaan.”
Penjelasan Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Angka 1)
Cukup jelas
Angka 2)
Cukup jelas
Angka 3)
Cukup jelas
Angka 4)
Hibah wasiat adalah suatu penetapan wasiat yang khusus mengenai pemberian hak atas tanah dan atau bangunan kepada orang pribadi atau badan hukum tertentu, yang berlaku setelah pemberi hibah wasiat meninggal dunia.
Angka 5)
Cukup jelas
Angka 6)
Yang dimaksud dengan pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan dari orang pribadi atau badan kepada Perseroan Terbatas atau badan hukum lainnya sebagai penyertaan modal pada Perseroan Terbatas atau badan hukum lainnya tersebut.
Angka 7)
Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah pemindahan sebagian hak bersama atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan kepada sesama pemegang hak bersama.
Angka 8)
Penunjukan pembeli dalam lelang adalah penetapan pemenang lelang oleh Pejabat Lelang sebagaimana yang tercantum dalam Risalah Lelang.
Angka 9)
Sebagai pelaksanaan dari putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, terjadi peralihan hak dari orang pribadi atau badan hukum sebagai salah satu pihak kepada pihak yang ditentukan dalam putusan hakim tersebut.
Angka 10)
Penggabungan usaha adalah penggabungan dari dua badan usaha atau lebih dengan cara tetap mempertahankan berdirinya salah satu badan usaha dan melikuidasi badan usaha lainnya yang menggabung.
Angka 11)
Peleburan usaha adalah penggabungan dari dua atau lebih badan usaha dengan cara mendirikan badan usaha baru dan melikuidasi badan-badan usaha yang bergabung tersebut.
Angka 12)
Pemekaran usaha adalah pemisahan suatu badan usaha menjadi dua badan usaha atau lebih dengan cara mendirikan badan usaha baru dan mengalihkan sebagian aktiva dan pasiva kepada badan usaha baru tersebut yang dilakukan tanpa melikuidasi badan usaha yang lama.
Angka 13)
Hadiah adalah suatu perbuatan hukum berupa penyerahan hak atas tanah dan atau bangunan yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan hukum kepada penerima hadiah.
Huruf b
Angka 1)
Yang dimaksud dengan pemberian hak baru karena kelanjutan pelepasan hak adalah pemberian hak baru kepada orang pribadi atau badan hukum dari Negara atas tanah yang berasal dari pelepasan hak.
Angka 2)
Yang dimaksud dengan pemberian hak baru di luar pelepasan hak adalah pemberian hak baru atas tanah kepada orang pribadi atau badan hukum dari Negara atau dari pemegang hak milik menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ayat (3)
Huruf a
Hak milik adalah hak turun-temurun, terkuat, dan terpenuh yang dapat dipunyai orang pribadi atau badan-badan hukum tertentu yang ditetapkan oleh Pemerintah.
Huruf b
Hak guna usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara dalam jangka waktu sebagaimana yang ditentukan oleh perundang-undangan yang berlaku.
Huruf c
Hak guna bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu yang ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.
Huruf d
Hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Huruf e
Hak milik atas satuan rumah susun adalah hak milik atas satuan yang bersifat perseorangan dan terpisah. Hak milik atas satuan rumah susun meliputi juga hak atas bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama yang semuanya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan satuan yang bersangkutan.
Huruf f
Hak pengelolaan adalah hak menguasai dari Negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegang haknya, antara lain, berupa perencanaan peruntukan dan penggunaan tanah, penggunaan tanah untuk keperluan pelaksanaan tugasnya, penyerahan bagian-bagian dari tanah tersebut kepada pihak ketiga dan atau bekerja sama dengan pihak ketiga.
Pasal 3
(1)
Objek pajak yang tidak dikenakan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah objek pajak yang diperoleh:

a.
perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;

b.
Negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum;

c.
badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di luar fungsi dan tugas badan atau perwakilan organisasi tersebut;

d.
orang pribadi atau badan karena konversi hak atau karena perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama;

e.
orang pribadi atau badan karena wakaf;

f.
orang pribadi atau badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah.
(2)
Objek pajak yang diperoleh karena waris, hibah wasiat, dan pemberian hak pengelolaan pengenaan pajaknya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Penjelasan Pasal 3
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Yang dimaksud dengan tanah dan atau bangunan yang digunakan untuk penyelenggaraan pemerintahan dan atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum adalah tanah dan atau bangunan yang digunakan untuk penyelenggaraan pemerintahan baik Pemerintah Pusat maupun oleh Pemerintah Daerah dan kegiatan yang semata-mata tidak ditujukan untuk mencari keuntungan, misalnya, tanah dan atau bangunan yang digunakan untuk instansi pemerintah, rumah sakit pemerintah, jalan umum.
Huruf c
Badan atau perwakilan organisasi internasional yang dimaksud dalam pasal ini adalah badan atau perwakilan organisasi internasional, baik pemerintah maupun non pemerintah.
Huruf d
Yang dimaksud dengan konversi hak adalah perubahan hak dari hak lama menjadi hak baru menurut Undang-undang Pokok Agraria, termasuk pengakuan hak oleh Pemerintah.
Contoh:
1.
Hak Guna Bangunan menjadi Hak Milik tanpa adanya perubahan nama;
2.
Bekas tanah hak milik adat (dengan bukti surat Girik atau sejenisnya) menjadi hak baru.
Yang dimaksud dengan perbuatan hukum lain misalnya memperpanjang hak atas tanah tanpa adanya perubahan nama.
Contoh :
Perpanjangan Hak Guna Bangunan (HGB), yang dilaksanakan baik sebelum maupun setelah berakhirnya HGB.
Huruf e
Yang dimaksud wakaf adalah perbuatan hukum orang pribadi atau badan yang memisahkan sebagian dari harta kekayaannya yang berupa hak milik tanah dan atau bangunan dan melembagakannya untuk selama-lamanya untuk kepentingan peribadatan atau kepentingan umum lainnya tanpa imbalan apapun.
Huruf f
Cukup jelas
Ayat (2)
Pokok-pokok muatan Peraturan Pemerintah tersebut antara lain berisi tata cara menghitung besarnya Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan atas objek pajak yang diperoleh karena waris.
BAB III
SUBJEK PAJAK
Pasal 4
(1)
Yang menjadi subjek pajak adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan.
(2)
Subjek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dikenakan kewajiban membayar pajak menjadi Wajib Pajak menurut Undang-undang ini.
Penjelasan Pasal 4
Cukup jelas
BAB IV
TARIF PAJAK
Pasal 5
Tarif pajak ditetapkan sebesar 5% (lima persen).
Penjelasan Pasal 5
Cukup jelas
BAB V
DASAR PENGENAAN DAN CARA PENGHITUNGAN PAJAK
Pasal 6
(1)
Dasar pengenaan pajak adalah Nilai Perolehan Objek Pajak.
(2)
Nilai Perolehan Objek Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dalam hal :

a.
jual beli adalah harga transaksi;

b.
tukar-menukar adalah nilai pasar;

c.
hibah adalah nilai pasar;

d.
hibah wasiat adalah nilai pasar;

e.
waris adalah nilai pasar;

f.
pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah nilai pasar;

g.
pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah nilai pasar;

h.
peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap adalah nilai pasar;

i.
pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah nilai pasar;

j.
pemberian hak baru atas tanah di luar pelepasan hak adalah nilai pasar;

k.
penggabungan usaha adalah nilai pasar;

l.
peleburan usaha adalah nilai pasar;

m.
pemekaran usaha adalah nilai pasar;

n.
hadiah adalah nilai pasar;

o.
penunjukan pembeli dalam lelang adalah harga transaksi yang tercantum dalam Risalah Lelang.
(3)
Apabila Nilai Perolehan Objek Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a sampai dengan n tidak diketahui atau lebih rendah daripada Nilai Jual Objek Pajak yang digunakan dalam pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan pajak yang dipakai adalah Nilai Jual Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan.
(4)
Apabila Nilai Jual Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) belum ditetapkan, besarnya Nilai Jual Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan ditetapkan oleh Menteri.
Penjelasan Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan harga transaksi adalah harga yang terjadi dan telah disepakati oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
Cukup jelas
Huruf h
Cukup jelas
Huruf i
Cukup jelas
Huruf j
Cukup jelas
Huruf k
Cukup jelas
Huruf l
Cukup jelas
Huruf m
Cukup jelas
Huruf n
Cukup jelas
Huruf o
Cukup jelas
Ayat (3)
Contoh :
Wajib Pajak “A” membeli tanah dan bangunan dengan Nilai Perolehan Objek Pajak (harga transaksi) Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah). Nilai Jual Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan tersebut yang digunakan dalam pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan adalah sebesar Rp35.000.000,00 (tiga puluh lima juta rupiah), maka yang dipakai sebagai dasar pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah Rp35.000.000,00 (tiga puluh lima juta rupiah) dan bukan Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah).
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 7
(1)
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan secara regional paling banyak Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah), kecuali dalam hal perolehan hak karena waris, atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan secara regional paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
(2)
Ketentuan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Penjelasan Pasal 7
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan secara regional adalah penetapan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak untuk masing-masing Kabupaten/Kota.
Contoh:
1.
Pada tanggal 1 Februari 2001, Wajib Pajak “A” membeli tanah yang terletak di Kabupaten “AA” dengan Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) untuk perolehan hak selain karena waris, atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, untuk Kabupaten “AA” ditetapkan sebesar Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). Mengingat NPOP lebih kecil dibandingkan NPOPTKP, maka perolehan hak tersebut tidak terutang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
2.
Pada tanggal 1 Februari 2001, Wajib Pajak “B” membeli tanah dan bangunan yang terletak di Kabupaten “AA” dengan NPOP Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). NPOPTKP untuk perolehan hak selain karena waris, atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, untuk Kabupaten “AA” ditetapkan sebesar Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). Besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak (NPOPKP) adalah Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dikurangi Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) sama dengan Rp40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah), maka perolehan hak tersebut terutang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
3.
Pada tanggal 2 Maret 2001, Wajib Pajak “C” mendaftarkan warisan berupa tanah dan bangunan yang terletak di Kota “BB” dengan NPOP Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah). NPOPTKP untuk perolehan hak karena waris untuk Kota “BB” ditetapkan sebesar Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). Besarnya NPOPKP adalah Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah) dikurangi Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) sama dengan Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah), maka perolehan hak tersebut terutang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
4.
Pada tanggal 2 Februari 2001, Wajib Pajak orang pribadi “D” mendaftarkan hibah wasiat dari orang tua kandung, sebidang tanah yang terletak di Kota “BB” dengan NPOP Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) NPOPTKP untuk perolehan hak karena hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, untuk Kota “BB” ditetapkan sebesar Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). Mengingat NPOP lebih kecil dibandingkan NPOPTKP, maka perolehan hak tersebut tidak terutang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
Ayat (2)
Pokok-pokok muatan Peraturan Pemerintah tersebut, antara lain :
1.
NPOPTKP ditetapkan untuk masing-masing Kabupaten/Kota dengan memperhatikan usulan Pemerintah Daerah;
2.
NPOPTKP dapat diubah dengan mempertimbangkan perkembangan perekonomian regional.
Pasal 8
(1)
Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak adalah Nilai Perolehan Objek Pajak dikurangi dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak.
(2)
Besarnya pajak yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak.
Penjelasan Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Contoh :
Wajib Pajak “A” membeli tanah dan bangunan dengan
Nilai Perolehan Objek Pajak ….
Rp35.000.000,00
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ………………
Rp30.000.000,00 (-)
Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak
Rp 5.000.000,00
Pajak yang terutang = 5% x Rp5.000.000,00 = Rp250.000,00

BAB VI
SAAT DAN TEMPAT PAJAK YANG TERUTANG
Pasal 9
(1)
Saat terutang pajak atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan untuk:

a.
jual beli adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;

b.
tukar-menukar adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;

c.
hibah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;

d.
waris adalah sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya ke Kantor Pertanahan;

e.
pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;

f.
pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;

g.
lelang adalah sejak tanggal penunjukan pemenang lelang;

h.
putusan hakim adalah sejak tanggal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap;

i.
hibah wasiat adalah sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya ke Kantor Pertanahan;

j.
pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah sejak tanggal ditandatangani dan diterbitkannya surat keputusan pemberian hak;

k.
pemberian hak baru di luar pelepasan hak adalah sejak tanggal ditandatangani dan diterbitkannya surat keputusan pemberian hak;

l.
penggabungan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;

m.
peleburan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditanda-tanganinya akta;

n.
pemekaran usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;

o.
hadiah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta.
(2)
Pajak yang terutang harus dilunasi pada saat terjadinya perolehan hak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(3)
Tempat terutang pajak adalah di wilayah Kabupaten, Kota, atau Propinsi yang meliputi letak tanah dan atau bangunan
Penjelasan Pasal 9
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta dalam pasal ini adalah tanggal dibuat dan ditandatanginya akta pemindahan hak di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
Yang dimaksud dengan sejak tanggal penunjukan pemenang lelang adalah tanggal ditandatanganinya Risalah Lelang oleh Kepala Kantor Lelang Negara atau kantor lelang lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang memuat antara lain nama pemenang lelang.
Huruf h
Cukup jelas
Huruf i
Cukup jelas
Huruf j
Cukup jelas
Huruf k
Cukup jelas
Huruf l
Cukup jelas
Huruf m
Cukup jelas
Huruf n
Cukup jelas
Huruf o
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
BAB VII
PEMBAYARAN, PENETAPAN, DAN PENAGIHAN
Pasal 10
(1)
Wajib Pajak wajib membayar pajak yang terutang dengan tidak mendasarkan pada adanya surat ketetapan pajak.
(2)
Pajak yang terutang dibayar ke kas negara melalui Kantor Pos dan atau Bank Badan Usaha Milik Negara atau Bank Badan Usaha Milik Daerah atau tempat pembayaran lain yang ditunjuk oleh Menteri dengan Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
(3)
Tata cara pembayaran pajak diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.
Penjelasan Pasal 10
Ayat (1)
Sistem pemungutan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah self assessment dimana Wajib Pajak diberi kepercayaan untuk menghitung dan membayar sendiri pajak yang terutang dengan menggunakan Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, dan melaporkannya tanpa mendasarkan diterbitkannya surat ketetapan pajak.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 11
(1)
Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sesudah saat terutangnya pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain ternyata jumlah pajak yang terutang kurang dibayar.
(2)
Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga 2% (dua persen) sebulan untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, dihitung mulai saat terutangnya pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar.
Penjelasan Pasal 11
Ayat (1)
Menurut ketentuan ini bilamana berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain ternyata jumlah pajak yang terutang kurang dibayar, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar.
Ayat (2)
Contoh :
Wajib Pajak memperoleh tanah dan bangunan pada tanggal 29 Maret 1998.
Nilai Perolehan Objek Pajak …………
Rp110.000.000,00
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak …………………………
Rp 30.000.000,00 (-)
Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak
Rp 80.000.000,00
Pajak yang terutang = 5% x Rp80.000.000,00 = Rp 4.000.000,00

Berdasarkan hasil pemeriksaan yang dilakukan pada tanggal 30 Desember 1998, ternyata ditemukan data yang belum lengkap yang menunjukkan bahwa nilai Perolehan Objek Pajak sebenarnya adalah Rp160.000.000,00 maka pajak yang seharusnya terutang adalah sebagai berikut :
Nilai Perolehan Objek Pajak …………
Rp160.000.000,00
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak …………………………
Rp 30.000.000,00 (-)
Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak
Rp130.000.000,00
Pajak yang seharusnya terutang =

5% x Rp130.000.000,00 =
Rp 6.500.000,00
Pajak yang telah dibayar …………… .
Rp 4.000.000,00 (-)
Pajak yang kurang dibayar……………
Rp 2.500.000,00
Sanksi administrasi berupa bunga dari 29 Maret 1998 sampai dengan 30 Desember 1998 = 10 x 2% x Rp2.500.000,00 = Rp500.000,00
Jadi, jumlah pajak yang harus dibayar sebesar Rp2.500.000,00 + Rp500.000,00 = Rp3.000.000,00
Pasal 12
(1)
Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sesudah saat terutangnya pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan apabila ditemukan data baru dan atau data yang semula belum terungkap yang menyebabkan penambahan jumlah pajak yang terutang setelah diterbitkannya Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar.
(2)
Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah kekurangan pajak tersebut, kecuali Wajib Pajak melaporkan sendiri sebelum dilakukan tindakan pemeriksaan.
Penjelasan Pasal 12
Ayat (1)
Contoh sebagaimana disebut dalam penjelasan Pasal 11 ayat (2), 5 (lima) tahun kemudian, yaitu pada tahun pajak 2003, kepada Wajib Pajak yang bersangkutan dapat diterbitkan Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan dalam hal ditemukan data baru atau data yang semula belum terungkap berdasarkan pemeriksaan atau keterangan lain yang mengakibatkan penambahan jumlah pajak yang terutang.
Penerbitan Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan paling lama 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak yaitu 29 Maret 2003, dan bukan 30 Desember 2003.
Ayat (2)
Contoh :
Pada tahun pajak 2003, dari hasil pemeriksaan atau keterangan lain diperoleh data baru bahwa nilai perolehan objek pajak sebagaimana tersebut dalam penjelasan Pasal 11 ayat (2) ternyata adalah Rp200.000.000,00 maka pajak yang seharusnya terutang adalah sebagai berikut :
Nilai Perolehan Objek Pajak …………
Rp200.000.000,00
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak …………………………
Rp 30.000.000,00 (-)
Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak
Rp170.000.000,00
Pajak yang seharusnya terutang =

5% x Rp170.000.000,00 =
Rp 8.500.000,00
Pajak yang telah dibayar …………… .
Rp 6.500.000,00 (-)
Pajak yang kurang dibayar……………
Rp 2.000.000,00
Sanksi administrasi berupa kenaikan = 100% x Rp2.000.000,00 = Rp2.000.000,00
Jadi, jumlah pajak yang harus dibayar sebesar Rp2.000.000,00 + Rp2.000.000,00 = Rp4.000.000,00
Pasal 13
(1)
Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan apabila :

a.
pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar;

b.
dari hasil pemeriksaan Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan terdapat kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat salah tulis dan atau salah hitung;

c.
Wajib Pajak dikenakan sanksi adaministrasi berupa denda dan atau bunga.
(2)
Jumlah pajak yang terutang yang tidak atau kurang dibayar dalam Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b ditambah sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan sejak saat terutangnya pajak.
(3)
Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan surat ketetapan pajak.
Penjelasan Pasal 13
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Yang dimaksud pemeriksaan pada ayat ini adalah pemeriksaan kantor.
Huruf c
Cukup jelas
Ayat (2)
Ayat ini mengatur pengenaan sanksi administrasi berupa bunga atas Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang diterbitkan karena :
a.
pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar;
b.
pemeriksaan Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang menghasilkan pajak kurang dibayar karena terdapat salah tulis dan atau salah hitung.
Contoh :
1.
Pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar.
Dari perolehan tanah dan bangunan pada tanggal 21 September 1998, Wajib Pajak “A” terutang pajak sebesar Rp5.000.000,00. Pada saat terjadinya perolehan tersebut, pajak dibayar sebesar Rp4.000.000,00. Atas kekurangan pajak tersebut diterbitkan Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan tanggal 23 Desember 1998 dengan penghitungan sebagai berikut :

Kekurangan bayar ……………………
Rp 1.000.000,00

Bunga = 4 x 2% x Rp1.000.000,00 = …
Rp 80.000,00 (+)

Jumlah yang harus dibayar dalam Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
Rp 1.080.000,00
2.
Hasil pemeriksaan Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
Wajib Pajak “B” memperoleh tanah dan bangunan pada tanggal 18 Juni 1998. Berdasarkan pemeriksaan Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang disampaikan Wajib Pajak “B”, ternyata terdapat salah hitung yang menyebabkan pajak kurang dibayar sebesar Rp1.500.000,00. Atas kekurangan pajak tersebut diterbitkan Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan pada tanggal 23 September 1998 dengan penghitungan sebagai berikut :

Kekurangan bayar ……………………
Rp 1.500.000,00

Bunga = 4 x 2% x Rp1.500.000,00 =
Rp 120.000,00 (+)

Jumlah yang harus dibayar dalam Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
Rp 1.620.000,00
Ayat (3)
Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dipersamakan kekuatan hukumnya dengan surat ketetapan pajak, sehingga penagihannya dapat dilanjutkan dengan penerbitan Surat Paksa.
Pasal 14
(1)
Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar, Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan, Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan maupun Putusan Banding yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, merupakan dasar penagihan pajak.
(2)
Pajak yang terutang berdasarkan Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar, Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan, Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan maupun Putusan Banding yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, harus dilunasi dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak diterima oleh Wajib Pajak.
(3)
Tata cara penagihan pajak diatur dengan Keputusan Menteri
Penjelasan Pasal 14
Ayat (1)
Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar, Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan, Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan maupun Putusan Banding yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, merupakan sarana administrasi bagi Direktur Jenderal Pajak untuk melakukan penagihan pajak.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 15
Jumlah pajak yang terutang berdasarkan Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar, Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan, Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan maupun Putusan Banding yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, yang tidak atau kurang dibayar pada waktunya dapat ditagih dengan Surat Paksa.
Penjelasan Pasal 15
Yang dimaksud dengan Surat Paksa adalah surat perintah membayar pajak dan tagihan yang berkaitan dengan pajak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB VIII
KEBERATAN, BANDING, DAN PENGURANGAN
Pasal 16
(1)
Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktur Jenderal Pajak atas suatu :

a.
Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar;

b.
Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan;

c.
Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Lebih Bayar;

d.
Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Nihil.
(2)
Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan mengemukakan jumlah pajak yang terutang menurut perhitungan Wajib Pajak dengan disertai alasan-alasan yang jelas.
(3)
Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterimanya Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan atau Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Lebih Bayar atau Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Nihil oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kecuali apabila Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya.
(4)
Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) tidak dianggap sebagai Surat Keberatan sehingga tidak dipertimbangkan.
(5)
Tanda penerimaan Surat Keberatan yang diberikan oleh pejabat Direktorat Jenderal Pajak yang ditunjuk untuk itu atau tanda pengiriman Surat Keberatan melalui pos tercatat menjadi tanda bukti penerimaan Surat Keberatan tersebut bagi kepentingan Wajib Pajak.
(6)
Apabila diminta oleh Wajib Pajak untuk keperluan pengajuan keberatan, Direktur Jenderal Pajak wajib memberikan keterangan secara tertulis hal hal yang menjadi dasar pengenaan pajak.
(7)
Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar pajak dan pelaksanaan penagihan pajak.
Penjelasan Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan alasan-alasan yang jelas adalah mengemukakan dengan data atau bukti bahwa jumlah pajak yang terutang atau pajak lebih bayar yang ditetapkan oleh fiskus tidak benar.
Ayat (3)
Pengertian di luar kekuasaannya adalah keterlambatan Wajib Pajak mengajukan keberatan yang bukan karena kesalahannya, misalnya, Wajib Pajak sedang sakit atau kena musibah.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Tanda bukti penerimaan Surat Keberatan sangat diperlukan untuk memenuhi ketentuan formal.
Diterima atau tidaknya hak mengajukan Surat Keberatan dimaksud, tergantung dipenuhinya ketentuan batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), yang dihitung mulai diterbitkannya surat ketetapan pajak sampai saat diterimanya Surat Keberatan tersebut oleh Direktorat Jenderal Pajak.
Tanda bukti penerimaan tersebut oleh Wajib Pajak dapat juga digunakan sebagai alat kontrol baginya untuk mengetahui sampai kapan batas waktu 12 (dua belas) bulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) berakhir.
Tanda bukti penerimaan itu diperlukan untuk memastikan bahwa keberatannya dikabulkan, apabila dalam jangka waktu tersebut Wajib Pajak tidak menerima surat keputusan dari Direktur Jenderal Pajak atas Surat Keberatan yang diajukan.
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Cukup jelas
Pasal 17
(1)
Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal Surat Keberatan diterima, harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan.
(2)
Sebelum surat keputusan diterbitkan, Wajib Pajak dapat menyampaikan alasan tambahan atau penjelasan tertulis.
(3)
Keputusan Direktur Jenderal Pajak atas keberatan dapat berupa mengabulkan seluruhnya atau sebagian, menolak, atau menambah besarnya jumlah pajak yang terutang.
(4)
Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah lewat dan Direktur Jenderal Pajak tidak memberi suatu keputusan, keberatan yang diajukan tersebut dianggap dikabulkan.
Penjelasan Pasal 17
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Dalam keputusan keberatan tidak tertutup kemungkinan utang pajaknya bertambah berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain karena ada data baru yang tadinya belum terungkap atau belum dilaporkan.
Ayat (4)
Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum baik bagi Wajib Pajak maupun fiskus dan dalam rangka tertib administrasi, yaitu apabila dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak tanggal diterimanya Surat Keberatan, Direktur Jenderal Pajak tidak memberikan keputusan atas keberatan yang diajukan, berarti keberatan tersebut dikabulkan.
Pasal 18
(1)
Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada badan peradilan pajak terhadap keputusan mengenai keberatannya yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak
(2)
Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan disertai alasan-alasan yang jelas dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak keputusan keberatan diterima, dilampiri salinan surat keputusan tersebut.
(3)
Pengajuan permohonan banding tidak menunda kewajiban membayar pajak dan pelaksanaan penagihan pajak.
Penjelasan Pasal 18
Cukup jelas
Pasal 19
Apabila pengajuan keberatan atau permohonan banding dikabulkan sebagian atau seluruhnya, kelebihan pembayaran pajak dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dihitung sejak tanggal pembayaran yang menyebabkan kelebihan pembayaran pajak sampai dengan diterbitkannya Keputusan Keberatan atau Putusan Banding.
Penjelasan Pasal 19
Cukup jelas
Pasal 20
(1)
Atas permohonan Wajib Pajak, pengurangan pajak yang terutang dapat diberikan oleh Menteri karena:

a.
kondisi tertentu Wajib Pajak yang ada hubungannya dengan Objek Pajak, atau

b.
kondisi Wajib Pajak yang ada hubungannya dengan sebab-sebab tertentu, atau

c.
tanah dan atau bangunan digunakan untuk kepentingan sosial atau pendidikan yang semata-mata tidak untuk mencari keuntungan.
(2)
Ketentuan mengenai pemberian pengurangan pajak yang terutang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri.”
Penjelasan Pasal 20
Ayat (1)
Huruf a
Kondisi tertentu Wajib Pajak yang ada hubungannya dengan Objek Pajak, contoh :
1.
Wajib Pajak tidak mampu secara ekonomis yang memperoleh hak baru melalui program pemerintah di bidang pertanahan;
2.
Wajib Pajak pribadi menerima hibah dari orang pribadi yang mempunyai hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah.
Huruf b
Kondisi Wajib Pajak yang ada hubungannya dengan sebab-sebab tertentu, contoh :
1.
Wajib Pajak yang memperoleh hak atas tanah melalui pembelian dari hasil ganti rugi pemerintah yang nilai ganti ruginya di bawah Nilai Jual Objek Pajak;
2.
Wajib Pajak yang memperoleh hak atas tanah sebagai pengganti atas tanah yang dibebaskan oleh pemerintah untuk kepentingan umum yang memerlukan persyaratan khusus;
3.
Wajib Pajak yang terkena dampak krisis ekonomi dan moneter yang berdampak luas pada kehidupan perekonomian nasional sehingga Wajib Pajak harus melakukan restrukturisasi usaha dan atau utang usaha sesuai dengan kebijaksanaan pemerintah.
Huruf c
Contoh :
Tanah dan atau bangunan yang digunakan, antara lain, untuk panti asuhan, panti jompo, rumah yatim piatu, pesantren, sekolah yang tidak ditujukan mencari keuntungan, rumah sakit swasta institusi pelayanan sosial masyarakat.
Ayat (2)
Cukup jelas
BAB IX
PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMBAYARAN
Pasal 21
(1)
Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak kepada Direktur Jenderal Pajak.
(2)
Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak diterimanya permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memberikan keputusan.
Penjelasan Pasal 21
Ayat (1)
Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak, antara lain, dalam hal :
a.
pajak yang dibayar lebih besar daripada yang seharusnya terutang;
b.
pajak yang terutang yang dibayarkan oleh Wajib Pajak sebelum akta ditandatangani, namun perolehan hak atas tanah dan atau bangunan tersebut batal.
Ayat (2)
Keputusan Direktur Jenderal Pajak atas permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dapat berupa kurang bayar dengan menerbitkan Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar atau berupa lebih bayar dengan menerbitkan Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Lebih Bayar atau mengukuhkan pajak yang terutang tetap dengan menerbitkan Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Nihil.
Pasal 22
(1)
Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan menerbitkan :

a.
Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Lebih Bayar, apabila jumlah pajak yang dibayar ternyata lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang atau dilakukan pembayaran pajak yang tidak seharusnya terutang;

b.
Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Nihil, apabila jumlah pajak yang dibayar sama dengan jumlah pajak yang terutang.
(2)
Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) telah terlampaui dan Direktur Jenderal Pajak tidak memberi keputusan, permohonan kelebihan pembayaran pajak dianggap dikabulkan serta Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Lebih Bayar harus diterbitkan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan.
(3)
Pengembalian kelebihan pembayaran pajak dilakukan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) bulan sejak diterbitkannya Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Lebih Bayar.
(4)
Apabila pengembalian kelebihan pembayaran pajak dilakukan setelah lewat jangka waktu 2 (dua) bulan, Direktur Jenderal Pajak memberikan imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan atas keterlambatan pembayaran kelebihan pembayaran pajak.
(5)
Tata cara pengembalian kelebihan pembayaran pajak diatur dengan Keputusan Menteri.
Penjelasan Pasal 22
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan pemeriksaan adalah :
a.
pemeriksaan kantor;
b.
pemeriksaan lapangan.
Ayat (2)
Ayat ini memberikan kepastian hukum baik kepada Wajib Pajak maupun fiskus dan dalam rangka tertib administrasi perpajakan. Oleh karena itu, permohonan kelebihan pembayaran pajak yang diajukan oleh Wajib Pajak harus diberi keputusan oleh Direktur Jenderal Pajak.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
BAB X
PEMBAGIAN HASIL PENERIMAAN PAJAK
Pasal 23
(1)
Penerimaan negara dari Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dibagi dengan imbangan 20% (dua puluh persen) untuk Pemerintah Pusat dan 80% (delapan puluh persen) untuk Pemerintah Daerah yang bersangkutan.
(1a)
Bagian Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibagikan kepada seluruh Pemerintah Kabupaten/Kota secara merata.
(2)
Bagian Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibagi dengan imbangan 20% (dua puluh persen) untuk Pemerintah Propinsi yang bersangkutan dan 80% (delapan puluh persen) untuk Pemerintah Kabupaten/Kota yang bersangkutan.
(3)
Tata cara pembagian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (1a), dan ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.
Penjelasan Pasal 23
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (1a)
Cukup jelas
Ayat (2)
Bagian Daerah dibagi dengan perincian sebagai berikut :
a.
bagian Propinsi yang bersangkutan sebesar 16% (enam belas persen), atau 20% (dua puluh persen) dari 80% (delapan puluh persen);
b.
bagian Kabupaten/Kota yang bersangkutan sebesar 64% (enam puluh empat persen), atau 80% (delapan puluh persen) dari 80% (delapan puluh persen).
Ayat (3)
Cukup jelas
BAB XI
KETENTUAN BAGI PEJABAT
Pasal 24
(1)
Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris hanya dapat menandatangani akta pemindahan hak atas tanah dan atau bangunan pada saat Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak berupa Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
(2)
Pejabat Lelang Negara hanya dapat menandatangani Risalah Lelang perolehan hak atas tanah dan atau bangunan pada saat Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak berupa Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
(2a)
Pejabat yang berwenang menandatangani dan menerbitkan surat keputusan pemberian hak atas tanah hanya dapat menandatangani dan menerbitkan surat keputusan dimaksud pada saat Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak berupa Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
(3)
Terhadap pendaftaran peralihan hak atas tanah karena waris atau hibah wasiat hanya dapat dilakukan oleh Pejabat Pertanahan Kabupaten/Kota pada saat Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak berupa Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
Penjelasan Pasal 24
Ayat (1)
Penyerahan bukti pembayaran pajak dilakukan dengan menyerahkan fotokopi pembayaran pajak (Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan) dan menunjukkan aslinya.
Ayat (2)
Yang dimaksud Pejabat Lelang Negara adalah Pejabat Lelang pada Kantor Lelang Negara Kelas I dan Pejabat Lelang Kelas II.
Ayat (2a)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud pendaftaran peralihan hak atas tanah adalah pendaftaran hak atas tanah pada buku tanah yang terjadi karena pemindahan hak atas tanah.
Pasal 25
(1)
Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris dan Kepala Kantor Lelang Negara melaporkan pembuatan akta atau Risalah Lelang perolehan hak atas tanah kepada Direktorat Jenderal Pajak selambat-lambatnya pada tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya.
(2)
Tata cara pelaporan bagi pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Penjelasan Pasal 25
Ayat (1)
Contoh :
Semua peralihan hak pada bulan Januari 1998 oleh Pejabat yang bersangkutan harus dilaporkan selambat-lambatnya tanggal 10 bulan Februari 1998 kepada Direktorat Jenderal Pajak.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 26
(1)
Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris dan Pejabat Lelang Negara yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2), dikenakan sanksi administrasi dan denda sebesar Rp7.500.000,00 (tujuh juta lima ratus ribu rupiah) untuk setiap pelanggaran.
(2)
Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1), dikenakan sanksi administrasi dan denda sebesar Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) untuk setiap laporan.
(2a)
Pejabat yang berwenang menandatangani dan menerbitkan surat keputusan pemberian hak atas tanah yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2a), dikenakan sanksi menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3)
Pejabat Pertanahan Kabupaten/Kota yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (3), dikenakan sanksi menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3a)
Kepala Kantor Lelang Negara, yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1), dikenakan sanksi menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(4)
Dihapus
Penjelasan Pasal 26
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (2a)
Peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi pejabat dalam pasal ini, antara lain, Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (3a)
Cukup jelas
BAB XII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 27
Dengan berlakunya Undang-undang ini, Ordonansi Bea Balik Nama Staatsblad 1924 Nomor 291 dengan segala perubahannya sepanjang mengenai pungutan Bea Balik Nama atas pemindahan harta tetap yang berupa tanah dan atau bangunan, dinyatakan tidak berlaku.
Catatan :
(Ketentuan Pasal ini diatur dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997)
Penjelasan Pasal 27
Cukup jelas
Pasal 27A
Terhadap hal-hal yang tidak diatur dalam Undang-undang ini, berlaku ketentuan dalam Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Penjelasan Pasal 27A
Cukup jelas
Catatan:
Dengan berlakunya Undang-undang ini, peraturan pelaksanaan yang telah ada di bidang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan berdasarkan Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, yang diberlakukan dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1997 tentang Penangguhan Mulai Berlakunya Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Menjadi Undang-undang, tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum diatur dengan peraturan pelaksanaan yang baru berdasarkan Undang-undang ini. (Sesuai dengan Pasal 27B Undang-undang Nomor 20 Tahun 2000).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar