Kamis, 01 Oktober 2009

PRINSIP-PRINPSIP DASAR HAK TANGGUNGAN ATAS TANAH





DAFTAR ISI :

A.     Latar Belakang
B.     Definisi Hak Tanggungan
C.    Asas-asas Hak Tanggungan
D.    Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan
E.     Peringkat Hak Tanggungan
F.     Beralihnya Hak Tanggungan
G.    Pemberian, Pendaftaran dan Pencoretan Hak Tanggungan
H.     Hapusnya Hak Tanggungan
I.         Harta Kepailitan dan Eksekusi Hak Tanggungan


A. LATAR BELAKANG

Setelah menunggu selama 34 tahun sejak UUPA No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria menjanjikan akan adanya undang-undang tentang Hak Tanggungan, pada tanggal 9 April 1996, lahirlah UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Banda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah.

-lihat St. Remy Sjahdeini, Hak Tanggungan, Asas, Ketentuan-Ketentuan Pokok dan Masalah yang Dihadapi oleh Perbankan (Suatu Kajian Mengenai Undang-Undang Hak Tanggungan), Alumni, Bandung, 1999, him. 1.
-Lihat juga buku A.P. Parlindungan, Komentar Undang- Undang tentang Tanggungan Atas Tanah Beserta Banda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah (UU No. 4 Tahun 1996 April 1996/LN No. 42) dan Sejarah Terbentuknya Mandar Maju, Bandung, 1996, hlm. 1,)
- serta buku Sudargo Gautama, Komentar Peraturan Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Pokok Agraria (1996), Tenting Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha, Hak Guna Pakai, Hak Tanggungan, Rumah Tinggal untuk Orang Asing dan Rumah Susun, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hlm 1.

Kehadiran lembaga hak tanggungan ini dimaksudkan sebagai pengganti dari Hypotheek (selanjutnya disebut dengan hipotek) sebagaimana yang diatur dalam Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia sepanjang mengenai tanah, dan Credietverband yang diatur dalam Staatsblad 1908-542 sebagaimana telah diubah dengan Staatsblad 1937-190, yang berdasarkan Pasal 51 UUPA No. 5 Tahun 1960, masih diberlakukan sementara sampai dengan terbentuknya Undang-Undang Hak Tanggungan tersebut. Kehadiran UndangUndang Hak Tanggungan ini telah lama ditunggu-tunggu oleh masyarakat.

Dalam Penjelasan Umum UUHT dikemukakan bahwa ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan mengenai Hypotheek dan Credietverband berasal dari zaman kolonial Belanda dan didasarkan pada hukum tanah yang berlaku sebelum berlakunya hukum tanah nasional, sebagaimana ketentuannya telah diatur dalam UUPA clan dimaksudkan diberlakukan untuk sementara waktu, sambil menunggu terbentuknya undang-undang yang dimaksud dalam Pasal 51 UUPA.

(lihat St. Remy Sjahdeini, Hak Tanggungan, Asas, Ketentuan-Ketentuan Pokok dan Masalah yang Dihadapi oleh Perbankan (Suatu Kajian Mengenai Undang-Undang Hak Tanggungan), Alumni, Bandung, 1999, him. 2-3.

St. Remy Sjahdeini mengatakan bahwa Ketentuan tentang Hypotheek dan Credietverband itu tidak sesuai lagi dengan asas-asas hukum tanah nasional
dan dalam kenyataannya tidak dapat menampung perkembangan yang terjadi
dalam bidang perkreditan dan hak jaminan sebagai akibat dan kemajuan pembangunan ekonomi. Akibatnya, timbul perbedaan pandangan dan penafsiran mengenai berbagai jaminan atas tanah. Misalnya pencantuman titel
eksekutorial, pelaksanaan eksekusi dan lain sebagainya sehingga peraturan perundang-undangan tersebut dirasa kurang memberikan jaminan kepastian
hukum dalam kegiatan perkreditan (Penjelasan Umum UUHT).


B. DEFINISI HAK TANGGUNGAN

Dalam Pasal 1 ayat (1) UUHT dinyatakan bahwa Hak Tanggungan adalah Hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang PokokAgraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain.

Beranjak dari definisi di atas, dapat ditarik unsur pokok dari hak tanggungan, sebagai berikut.
(1)          Hak Tanggungan adalah hak jaminan untuk pelunasan utang.
(2)          Objek Hak Tanggungan adalah hak atas tanah sesuai UUPA.
(3)          Hak Tanggungan dapat dibebankan atas tanahnya (hak atas tanah) saja, tetapi dapat pula dibebankan berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu.
(4)          Utang yang dijamin adalah suatu utang tertentu.
(5)          Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain.

Untuk memberikan gambaran yang jelas mengenai definisi Hak Tanggungan tersebut, pada kesempatan ini akan diuraikan definisi mengenai hipotek sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1162 KUH Perdata. Dalam Pasal 1162 KUH Perdata tersebut dinyatakan bahwa: Hipotek adalah suatu hak kebendaan atas benda-benda tak bergerak, untuk mengambil penggantian dari padanya bagi pelunasan suatu perikatan.

Dengan berpatokan pada definisi tersebut, unsur pokok yang terkandung di dalamnya adalah
(1)   hipotek adalah suatu hak kebendaan;
(2)   objek hipotek adalah benda-benda tak bergerak;
(3)   untuk pelunasan suatu perikatan.


C. ASAS-ASAS HAK TANGGUNGAN

Tujuan mempelajari asas hak tanggungan adalah untuk membedakannya dengan hak-hak tanggungan yang telah ada sebelum terbitnya UU Hak Tanggungan yang baru ini, termasuk asas hipotek yang ada sebelumnya. Untuk lebih jelasnya, asas-asas tersebut akan diuraikan sebagai berikut.


1.      Hak Tanggungan Memberikan Kedudukan Hak yang Diutamakan

Mencermati pengertian Hak Tanggungan yang terdapat pada Pasal 1 UU Nomor 4 Tahun 1996, dapat disimpulkan bahwa Hak Tanggungan memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain.

Menelaah dengan saksama terhadap kalimat "kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu kepada kreditor lain", hal ini tidak dijumpai dalam ketentuan Pasal 1 maupun penjelasannya, namun kalimat tersebut dapat diketemukan dalam penjelasan umum Undang-Undang Hukum Hak Tanggungan (UUHT) dinyatakan bahwa:

Bahwa jika debitur cedera janji, kreditor pemegang Hak Tanggungan berhak menjual melalui pelelangan umum tanah yang dijadikan jaminan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, dengan hak mendahului daripada keditor-kreditor lain. Kedudukan diutamakan tersebut sudah barang tentu tidak mengurangi preferensi piutang-piutang negara menurut ketentuan hukum yang berlaku.

Selain dalam penjelasan umum UUHT ditemukan pengertian mengenai kalimat "kedudukan yang diutamakan tertentu terhadap kreditor lain, juga dapat ditemukan dalam Pasal 20 ayat (1) UUHT ketentuan yang berbunyi bahwa:

Apabila debitor cedera janji, maka berdasarkan: (a) hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual objekHak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6; atau (b) titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), objek Hak Tanggungan dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditemukan dalam peraturan perundang-undangan untuk pelunasan piutang pemegang Hak Tanggungan dengan hak mendahulu daripada kreditor-kreditor lainnya.

Berdasarkan uraian di atas, walaupun kreditor tertentu lebih didahulukan dibandingkan dengan kreditor lainnya, akan tetapi tetap mengalah kepada piutang-piutang negara. Dalam ketentuan piutang negara yang harus didahulukan dibandingkan dengan kreditor lainnya tersebut, maka dasar hukumnya dapat diketemukan dalam UU Nomor 9 Tahun 1994 tentang Perubahan UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dijumpai ketentuan yang menentukan tagihan pajak mempunyai hak mendahului lainnya. Hal ini sesuai Pasal 21 UU Nomor 9 Tahun 1994 dinyatakan bahwa:

Hak mendahulu tagihan pajak melebihi segala hak mendahulu lainnya kecuali terhadap:
(a)   biaya perkara yang semata-mata disebabkan suatu penghukuman untuk melelang suatu barang;
(b)   biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan suatu barang;
(c)   biaya perkara yang semata-mata disebabkan pelelangan dan penyelesaian suatu warisan.


2.      Hak Tanggungan Tidak Dapat Dibagi-bagi

Hak Tanggungan memiliki sifat yang tidak dapat dibagi-bagi, hal ini sesuai
ketentuan dalam Pasal 2 UU Nomor 4 Tahun 1996, dinyatakan bahwa:

Hak Tanggungan mempunyai sifat tidak dapat dibagi-bagi, kecuali jika diperjanjikan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Apabila hak tanggungan dibebankan pada beberapa hak atas tanah, dapat diperjanjikan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan, bahwa pelunasan utang yang dijamin dapat dilakukan dengan cara angsuran yang besarnya sama dengan nilai masing-masing hak atas tanah yang merupakan bagian dari objek Hak Tanggungan, yang akan dibebankan dari Hak Tanggungan tersebut, sehingga kemudian Hak Tanggungan itu hanya membebani sisa objek Hak Tanggungan untuk menjamin sisa utang yang belum dilunasi.

Berdasarkan ketentuan Pasal 2 UU Nomor 4 Tahun 1996 di atas, dalam penjelasannya dinyatakan bahwa:

Yang dimaksud dengan sifat tidak dapat dibagi-bagi dari Hak Tanggungan adalah bahwa Hak Tanggungan membebani secara utuh objek Hak Tanggungan dan setiap bagian daripadanya. Telah dilunasinya sebagian dari utang yang dijamin tidak berarti terbebasnya sebagian objek Hak Tanggungan dari beban Hak Tanggungan untuk sisa utang yang belum dilunasi. Ketentuan ini merupakan pengecualian dari asas yang ditetapkan pada ayat (1) untuk menampung kebutuhan perkembangan dunia perkreditan, antara lain untuk mengakomodasi keperluan pendanaan pembangunan kompleks perumahan yang semula menggunakan kredit untuk pembangunan seluruh kompleks kemudian akan dijual kepada pemakai satu per satu, sedangkan untuk pembayarannya pemakai akhir ini juga menggunakan kredit dengan jaminan rumah yang bersangkutan. Sesuai ketentuan ayat ini apabila Hak Tanggungan itu dibebankan pada beberapa hak atas tanah yang terdiri dari beberapa bagian yang masing-masing merupakan suatu kesatuan yang berdiri sendiri dan dapat dinilai secara tersendiri, asas tidak dapat dibagi-bagi ini dapat disimpangi asal hal itu diperjanjikan secara tegas dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan


3.      Hak Tanggungan Hanya Dibebankan pada Hak Atas Tanah yang Telah Ada

Secara yuridis formal asas yang menyatakan bahwa Hak Tanggungan hanya dapat dibebankan pada hak atas tanah ada diatur dalam Pasal 8 ayat (2) dinyatakan bahwa kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek Hak Tanggungan harus ada pada pemberi Hak Tanggungan pada saat pendaftaran Hak Tanggungan. St. Remy Sjahdeini mengatakan bahwa 3: (ST. Remy Sjahdeini, op. cit, hlm. 25).

Hak Tanggungan hanya dapat dibebankan pada hak atas tanah yang telah dimiliki oleh pemegang Hak Tanggungan. Oleh karena itu, hak atas tanah yang baru akan dipunyai oleh seseorang di kemudian hari tidak dapat dijaminkan dengan Hak Tanggungan bagi pelunasan suatu utang. Begitu juga tidaklah mungkin untuk membebankan Hak Tanggungan pada suatu hak atas tanah yang baru akan ada di kemudian hari.

Asas,ini juga merupakan asas yang sebelumnya sudah dikenal di dalam hipotek. Menurut Pasal 1175 KUH Perdata, hipotek hanya dapat dibebankan atas benda-benda yang sudah ada. Hipotek atas benda-benda baru akan ada di kemudian hari adalah batal .4 (lbid., hlm. 26.)



4.      Hak Tanggungan Dapat Dibebankan selain Atas Tanahnya juga Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah Tersebut

Dalam kenyataannya Hak Tanggungan dapat dibebankan bukan saja pada tanahnya, tetapi juga segala benda yang mempunyai keterkaitan dengan tanah  tersebut. Hal ini sesuai ketentuan dalam Pasal 4 ayat (4) UU Nomor 4 Tahun 1996, dinyatakan:

Hak Tanggungan dapat juga dibebankan pada hak atas tanah berikut bangunan, tanaman, dan hasil karya yang telah ada atau akan ada yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut, dan yang merupakan milik pemegang hak atas tanah yang pembebanannya dengan tegas dinyatakan di dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan.

Berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (4) di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dapat dijadikan jaminan selain benda-benda yang berkaitan dengan tanah, juga benda-benda yang bukan dimiliki oleh pemegang hak atas tanah tersebut.


5.      Hak Tanggungan Dapat Dibebankan Juga Atas Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah yang Baru akan Ada di Kemudian Hari

Meskipun Hak Tanggungan hanya dapat dibebankan atas tanah yang telah ada, sepanjang Hak Tanggungan itu dibebankan pula atas benda-benda yang
berkaitan dengan tanah, ternyata pada Pasal 4 ayat (4) memungkinkan Hak Tanggungan dapat dibebankan pula atas benda-benda yang berkaitan dengan tanah tersebut, sekalipun benda-benda tersebut belum ada, tetapi baru akan ada di kemudian hari.5

Lebih jauh St. Remy Sjandeini mengatakan bahwa dalam pengertian "yang baru akan ada" ialah benda-benda yang pada saat Hak Tanggungan dibebankan belum ada sebagai bagian dari tanah (hak atas tanah) yang dibebani Hak Tanggungan tersebut. Misalnya karena benda-benda tersebut baru ditanam (untuk tanaman) atau baru dibangun (untuk bangunan dan hasil karya) kemudian setelah Hak Tanggungan itu dibebankan atas tanah (hak atas tanah) tersebut .6

Sejalan dengan asas yang berlaku di dalam Hak Tanggungan di atas, dalam kenyataannya hal tersebut sama dengan ketentuan dalam Pasal 1165 KUH I Perdata bahwa setiap hipotek meliputi juga segala apa yang menjadi satu dengan benda itu karena pertumbuhan atau pembangunan. Dengan kata lain, tanpa harus diperjanjikan terlebih dahulu, segala benda yang berkaitan dengan tanah yang baru akan ada di kemudian hari demi hukum terbebani pula dengan hipotek.


6.      Perjanjian Hak Tanggungan adalah Perjanjian Accessoir

Perjanjian Hak Tanggungan bukanlah merupakan perjanjian yang berdiri sendiri, akan tetapi mengikuti perjanjian yang terjadi sebelumnya yang disebut perjanjian induk. Perjanjian induk yang terdapat pada Hak Tanggungan adalah perjanjian utang-piutang yang menimbulkan utang yang dijamin. Perjanjian yang mengikuti perjanjian induk ini dalam terminologi hukum. Belanda disebut perjanjian accessoir

Penegasan terhadap asas accesoir ini, dijelaskan dalam poin 8 penjelasan UU Nomor 4 Tahun 1996 yang menyatakan bahwa:

Oleh karena Hak Tanggungan menurut sifatnya merupakan ikutan atau accessoir pada suatu piutang tertentu, yang didasarkan pada suatu perjanjian utang-piutang atau perjanjian lain, maka kelahiran dan keberadaannya ditentukan oleh adanya piutang yang dijamin pelunasannya.

Selain penegasan yang termuat dalam penjelasan umum poin 8 di atas, secara tegas diatur dalam Pasal 10 ayat (1) dan Pasal 18 ayat (1) UU Nomor 4 'Tahun 1996. Dalam Pasal 10 ayat (1) dinyatakan bahwa perjanjian untuk memberikan Hak Tanggungan merupakan bagian tak terpisahkan dari perjanjian Utang-piutang yang bersangkutan, sedangkan Pasal 18 ayat (1) huruf a menyatakan bahwa Hak Tanggungan hapus karena hapusnya utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan.

7.      Hak Tanggungan Dapat Dijadikan Jaminan untuk Utang yang Akan Ada

Salah satu keistimewaan dari Hak Tanggungan adalah diperbolehkannya menjaminkan utang yang akan ada. Hal ini sesuai ketentuan dalam Pasal 3 ayat (1) UUHT yang menyatakan bahwa:

Utang yang dijamin pelunasannya dengan Hak Tanggungan dapat berupa utang yang telah ada atau yang telah diperjanjikan dengan jumlah tertentu atau jumlah yang pada saat permohonan eksekusi Hak Tanggungan diajukan dapat ditentukan berdasarkan perjanjian utang-piutang atau perjanjian lain yang menimbulkan hubungan utang-piutang yang bersangkutan.

Berkaitan dengan ketentuan Pasal 3 ayat (1) UUHT di atas, St. Remy Sjahdeini mengatakan bahwa 7: (Ibid., hlm. 31.)

Seperti yang dikemukakan dalam penjelasan Pasal 3 ayat (1) UUHT, dapat dijadikannya Hak Tanggungan untuk menjamin utang yang baru akan ada di kemudian hari adalah untuk menampung kebutuhan dunia perbankan berkenaan dengan timbulnya utang dari nasabah bank sebagai akibat dilakukannya pencairan atas suatu garansi bank. Juga untuk menampung timbulnya utang sebagai akibat pembebanan bunga atas pinjaman pokok dan pembebanan ongkos-ongkos lain yang jumlahnya baru dapat ditentukan kemudian.

Sehubungan dengan terjadinya Hak Tanggungan terhadap utang yang baru ada, St. Remy Sjahdeini memberikan contoh, yaitu utang yang timbul sebagai akibat nonpayment L/C ekspor oleh opening bank di luar negeri atas penyerahan dokumen-dokumen ekspor yang mengandung discrepancies (dokumen-dokumen yang diserahkan tidak sesuai dengan syarat-syarat yang ditentukan dalam L/C), sedangkan sementara itu negotiating/paying bank (I i dalam negeri telah mengambil alih dokumen-dokumen tersebut dan telah membayarkan utangnya kepada eksportir. Apabila karena nonpayment  tersebut eksportir tidak mampu dengan seketika membayar kembali dana yang telah dibayarkan oleh negotiating/paying bank kepadanya itu dan terpaksa diutang, utang yang timbul adalah utang yang muncul kemudian setelah Hak Tanggungan dibebankan.

Selain persyaratan yang telah dikemukakan di atas, masih terdapai persyaratan yang lain, yaitu utang yang baru akan ada di kemudian hari harus telah diperjanjikan terlebih dahulu. St. Remy Sjahdeini menyatakan 8: (Ibid hlm. 12)

Mengingat ketentuan Pasal 3 ayat (1) di atas, adalah mutlak bahwa bank clan nasabah harus terlebih dahulu telah diperjanjikan di muka atas utang yang baru akan ada di kemudian hari yang timbul sebagai akibat pencairan bank garansi yang merupakan fasilitas dari bank yang telah diterima oleh nasabah atau yang timbul sebagai akibat terjadinya payment atas L/C eskspor yang diterima nasabah dari luar negeri melalui bank yang bersangkutan. Dengan kata lain, selain dari adanya garansi bank (Jaminan bank), dan Letter of Credit yang diteruskan oleh bank kepada eksportir, mutlak harus ada pula perjanjian kredit antara bank dan nasabah untuk menampung timbulnya utang nasabah debitor apabila garansi bank dicairkan atau apabila terjadinya payment terhadap L/C tersebut. Dengan demikian, perjanjian kredit tersebut merupakan stand-by-loan agreement.

Sementara itu, sikap hipotek sama dengan sikap yang terdapat dalam UUHT
mengenai dapatnya Hak Tanggungan dibebani terhadap utang yang akan ada
di kemudian hari. Hal ini diatur dalam Pasal 1176 KUH Perdata dinyatakan bahwa: Suatu hipotek hanyalah sah, sekadar jumlah utang untuk mana is telah diberikan, adalah tentu dan ditetapkan dalam kata. Jika utang bersyarat ataupun jumlahnya tidak tertentu maka pemberian hipotek senantiasa adalah sah sampai jumlah harga-taksiran, yang para pihak diwajibkan menerangkannya di dalam aktanya.

Beranjak dari ketentuan Pasal 1176 KUH Perdata di atas, maka penegasan dapat dilihat dalam Putusan H.R. 30 Januari 1953 N.J. 1953, 578 yang membenarkan bahwa hipotek boleh diberikan untuk menjamin utang yang pada saat hipotek itu dipasang, belum seluruhnya diserahkan oleh kreditor kepada debitor atau digunakan oleh kreditor kepada debitor atau digunakan debitor.9 (Mariam Darus Badruszaman, Bab-bab Tentang Hipotek, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991, hal. 61)


8.      Hak Tanggungan Dapat Menjamin Lebih dari Satu Utang

Kelebihan dari Hak Tanggungan adalah berlakunya asas bahwa Hak Tanggungan dapat menjamin lebih dari satu utang. Hal ini sesuai ketentuan dalam Pasal 3 ayat (2) dinyatakan bahwa:

Hak Tanggungan dapat diberikan untuk suatu utang yang berasal dari satu hubungan hukum atau untuk satu utang atau lebih yang berasal dari beberapa hubungan hukum.

Dalam kaitannya dengan ketentuan Pasal 3 ayat (2) di atas, maka dalam penjelasan Pasal 3 ayat (2) dinyatakan bahwa:

Sering kali terjadi debitor berutang kepada lebih dari satu kreditor masing-masing didasarkan pada perjanjian utang-piutang yang berlainan, misalnya kreditor adalah suatu bank dan suatu badan afiliasi bank yang bersangkutan. Piutang pada kreditor tersebut dijamin dengan suatu Hak Tanggungan kepada semua kreditor dengan satu akta pemberian Hak Tanggungan. Hak Tanggungan tersebut dibebankan atas tanah yang sama. Bagaimana hubungan para kreditor satu dengan yang lain, diatur oleh mereka sendiri, sedangkan dalam hubungannya dengan debitor dan pemberi Hak Tanggungan kalau bukan debitor sendiri yang memberinya, mereka menunjuk salah seorang kreditor yang akan bertindak atas Hama mereka. Misalnya mengenai siapa yang akan menghadap PPAT dalam pemberian Hak Tanggungan yang diperjanjikan dan siapa yang akan menerima dan menyimpan sertifikat Hak Tanggungan yang bersangkutan.
Dengan berlakunya asas ini, St. Remy Sjahdeini memberikan tanggapan dengan menyatakan bahwa:  (St. Remy Sjahdeini, op. cit, hlm. 37.)

Perjanjian dengan hanya berupa satu Hak Tanggungan bagi beberapa kreditor berdasarkan beberapa perjanjian kredit bilateral antara debitor yang sama dengan masing-masing kreditor itu, hanyalah mungkin dilakukan apabila sebelumnya (sebelum kredit diberikan oleh kreditor-kreditor itu) telah disepakati oleh semua kreditor. Kesemua kreditor bersama-sama harus bersepakat bahwa terhadap kredit yang akan diberikan oleh masing-masing kreditor (bank) kepada satu debitor yang sama itu, jaminannya adalah berupa satu Hak Tanggungan saja bagi meraka bersama-sama kredit dari kesemua kreditor diberikan secara serentak. Bila tidak demikian halnya, para kreditor itu akan menjadi pemegang Hak Tanggungan pertama, kedua, ketiga, dan seterusnya. Masing-masing kreditor past akan soling mendahulu untuk memperoleh hak yang diutamakan terhadap kreditor yang lain.


9. Hak Tanggungan Mengikuti Objeknya dalam Tongan Siapa pun Objek Hak Tanggungan Itu Berada

Asas Hak Tanggungan memiliki berbagai kelebihan karenaundang-undang memberikan prioritas terhadap pemegang Hak Tanggungan dibandingkan dengan pemegang hak-hak lainnya. Salah satu asas selain asas yang telah diuraikan di atas, adalah asas Hak Tanggungan mengikuti objek di manapun objek itu berada Hal ini sesuai ketentuan Pasal 7 UU Nomor 4 Tahun 1996 dinyatakan bahwa Hak Tanggungan tetap mengikuti objeknya dalam tangan siapa pun objek tersebut berada.

Menurut St. Remy Sjahdeini, hak tanggungan tidak akan berakhir sekalipun objek Hak Tanggungan itu beralih kepada pihak lain oleh sebab apa pun juga. Berdasarkan asas ini, pemegang Hak Tanggungan akan selalu dapat melaksanakan haknya dalam tangan siapa pun benda itu berpindah. Ketentuan Pasal 7 Undang-Undang Hak Tanggungan (UUHT) ini merupakan materialisasi dari asas yang disebut droit de suite atau zaakgevolg. Asas ini juga diambil dari hipotek yang diatur dalam KUH Perdata Pasal 1163 ayat (2) dan Pasal 1198 KUH Perdata."

Sejalan dengan pendapat St. Remy Sjahdeini di atas, maka menurut Mariam Daruz Badrulzaman bahwa : (Mariam Darus Badruszaman, Bab-bab Tentang Hipotek, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991, hal. 16-18)

Asas ini seperti halnya dalam Hipotek, memberikan hak kebendaan (zakelijkrecht). Hak Kebendaan dibedakan dengan hak perorangan (persoonlijkrecht). Hak kebendaan adalah hak mutlak. Artinya, hak ini dapat dipertahankan terhadap siapa pun. Pemegang hak tersebut berhak untuk menuntut siapa pun juga yang mengganggu haknya itu. Dilihat secara pasif setiap orang wajib menghormati hak itu. Sedangkan hak perorangan adalah relatif. Artinya, hak ini hanya dapat dipertahankan terhadap debitor tertentu saja. Hak tersebut hanya dapat dipertahankan terhadap debitor itu saja. Secara pasif dapat dikatakan bahwa seseorang tertentu wajib melakukan prestasi terhadap pemilik dari hak itu.


10. Di atas Hak Tanggungan Tidak Dapat Diletakkan Sita oleh Peradilan

Alasan kehadiran asas Hak Tanggungan tidak dapat diletakkan sita oleh peradilan merupakan respons terhadap seringnya peradilan meletakkan sita terhadap hak atas tanah yang di atasnya diletakkan hipotek. St. Remy Sjahdeini mengatakan bahwa:

Memang seharusnya menurut hukum terhadap Hak Tanggungan tidak dapat diletakkan sita. Alasannya adalah karena tujuan dari (diperkenankannya) hak jaminan pada umumnya dan khususnya Hak Tanggungan itu sendiri. Tujuan dari Hak Tanggungan adalah untuk memberikan jaminan yang kuat bagi kreditor yang menjadi pemegang Hak Tanggungan itu untuk didahulukan dari kreditor-kreditor lain. Bila terhadap Hak Tanggungan itu dimungkinkan sita  oleh pengadilan, berarti pengadilan mengabaikan bahkan meniadakan kedudukan yang diutamakan dan kreditor pemegang Hak Tanggungan.

Berdasarkan pendapat yang dikemukakan oleh St. Remy Sjahdeini di atas, maka dalam perkembangannya sebelum diundangkannya UU Nomor 4 Tahun 1996 telah direspons oleh Mahkamah Agung dengan putusannya Nomor 394k/
Pdt/ 1984 tanggal 31 Mei 1985 dengan amar putusannya berbunyi bahwa barangbarang yang sudah dijadikan jaminan utang (dalam perkara tersebut adalah jaminan utang kepada Bank Rakyat Indonesia Cabang Gresik) tidak dapat diletakkan sita jaminan.


11. Hak Tanggungan Hanya Dapat Dibebankan atas Tanah Tertentu

Asas yang berlaku. terhadap Hak Tanggungan yang hanya dapat dibebankan hanya atas tanah tertentu, diilhami oleh asas yang juga berlaku di dalam hipotek, yaitu yang diatur Pasal 1174 KUH Perdata. Sementara itu asas ini diatur dalam Pasal 8 dan Pasal 11 huruf c UU Nomor 4 Tahun 1996. Dalam Pasal 8 UU Nomor 4 Tahun 1996 dinyatakan bahwa:

Pemberi Hak Tanggungan adalah orang-perseorangan atau badan hukum  yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek Hak Tanggungan yang bersangkutan. Kewenangan untuk meletakkan perbuatan hukum terhadap objek Hak Tanggungan, harus ada pada pemberi Hak Tanggungan pada saat pendaftaran Hak Tanggungan dilakukan.

Berkaitan dengan ketentuan Pasal 8 di atas, maka dalam penjelasan Pasal 8 ayat (2) dinyatakan bahwa:

Karena lahirnya Hak Tanggungan adalah pada saat didaftarnya Hak Tanggungan tersebut, maka kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek Hak Tanggungan diharuskan ada pada pemberi Hak Tanggungan pada saat pembuatan buku-tanah Hak Tanggungan. Untuk itu harus dibuktikan keabsahan kewenangan tersebut pada saat didaftarnya Hak Tanggungan yang bersangkutan.  (Ibid., hlm. 42)

Berkaitan dengan ketentuan Pasal 8 UU Nomor 4 Tahun 1996 di atas, selanjutnya ketentuan Pasal 11 ayat (1) huruf e menyatakan bahwa uraian yang jelas mengenai objek Hak Tanggungan. Menurut St. Remy Sjahdeini bahwa:

Di dalam akta pemberian Hak Tanggungan wajib dicantumkan uraian jelas mengenai objek Hak Tanggungan, tidaklah mungkin untuk memberikan uraian yang jelas sebagaimana yang dimaksud itu apabila objek Hak Tanggungan belum ada dan belum diketahui ciri-cirinya.

Kata-kata "uraian yang jelas mengenai objek Hak Tanggungan " dalam Pasal 11 ayat (1) huruf e menunjukkan bahwa objek Hak Tanggungan harus secara spesifik dapat ditunjukkan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan."

Beranjak dari uraian yang dikemukakan oleh St. Remy Sjandeini mengenai asas tersebut, lebih lanjut beliau mengatakan bahwa:
.
Walaupun demikian, sepanjang dibebankan atas "benda-benda yang berkaitan dengan tanah tersebut", Hak Tanggungan dapat dibebankan atas benda-benda yang berkaitan dengan tanah tersebut, yang baru akan ada, sepanjang hal itu telah diperjanjikan secara tegas. Karena belum dapat diketahui apa wujud dari benda-benda yang berkaitan-dengan tanah itu, juga karena baru akan ada di kemudian hari, hal itu berarti asas spesialitas tidak berlaku sepanjang mengenai "benda-benda yang berkaitan dengan tanah ".


12. Hak Tanggungan Wajib Didaftarkan

Dalam kaitannya dengan asas Hak Tanggungan wajib didaftar, hal ini sesuai ketentuan Pasal 13 UU Nomor 4 Tahun 1996 dinyatakan:

Bahwa pemberian Hak Tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan. Selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah penandatanganan Akta Pemberian Hak Tanggungan, PPAT wajib mengirimkan Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan dan warkah lain yang diperlukan kepada Kantor Pertanahan. Pendaftaran Hak Tanggungan dilakukan oleh kantor Pertanahan dengan membuatkan buku-tanah Hak Tanggungan dan mencatatnya dalam buku-tanah hak atas tanah yang menjadi objek Hak Tanggungan Berta menyalin catatan tersebut pada sertifikat hak atas tanah yang bersangkutan.

Sejalan dengan ketentuan Pasal 13 di atas, St. Remy Sjahdeini menyatakan bahwa:

Adalah tidak adil bagi pihak ketiga untuk terikat dengan pembebanan suatu Hak Tanggungan atas suatu objek Hak Tanggungan bila pihak ketiga tidak dimungkinkan untuk mengetahui tentang pembebanan Hak Tanggungan itu. Hanya dengan cara pencatatan pendaftaran yang terbuka bagi umum yang memungkinkan pihak ketiga dapat mengetahui tentang adanya pembebanan Hak Tanggungan atas suatu hak atas tanah.

Lebih jauh St. Remy Sjahdeini mengatakan bahwa asas publisitas ini juga merupakan pasal hipotek sebagaimana ternyata dalam Pasal 1179 KUH Perdata yang dinyatakan bahwa pembukuan Hipotek harus dilakukan dalam register-register umum yang memang khusus disediakan untuk itu. Jika pembukuan demikian tidak dilakukan, Hipotek yang bersangkutan tidak mempunyai kekuatan apa pun, juga tidak mempunyai kekuatan terhadap kreditor-kreditor preferen (yang tidak dijaminkan dengan Hipotek).


13. Hak Tanggungan Dapat Diberikan dengan Disertai Janji-janji Tertentu

Asas Hak Tanggungan dapat diberikan dengan disertai janji-janji tertentu diatur dalam Pasal 11 ayat (2) yang dinyatakan sebagai berikut:

Dalam Akta pemberian Hak Tanggungan dapat dicantumkan janji-janji antara lain:

(a)     janji yang membatasi pemberian Hak Tanggungan untuk menyewakan objek Hak Tanggungan dan/atau menentukan atau mengubah jangka waktu sews dan/atau menerima uang sewa di muka, kecuali dengan persetujuan tertulis lebih dahulu dari pemegang Hak Tanggungan;

(b)     janji yang membatasi kewenangan pemberi Hak Tanggungan untuk mengubah bentuk atau tats susunan objek Hak Tanggungan, kecuali dengan persetujuan tertulis lebih dahulu dari pemegang Hak Tanggungan;

(c)     janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk mengelola objek Hak Tanggungan berdasarkan penetapan Ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi letak objek Hak Tanggungan apabila debitor sungguh-sungguh cedera janji;

(d)     janji yang memberi kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk menyelamatkan objek Hak Tanggungan, jika hal itu diperlukan untuk pelaksanaan eksekusi atau untuk mencegah menjadi hapusnya stall dibatalkannya hak yang menjadi objek Hak Tanggungan karena tidak dipenuhi atau dilanggarnya ketentuan undang-undang;

(e)     janji bahwa pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri objek Hak Tanggungan apabila debitor cedera janji;

(f)       janji yang diberikan oleh pemegang Hak Tanggungan pertama bahwa, objek Hak Tanggungan tidak akan dibersihkan dari Hak Tanggungan;

(g)     janji bahwa pemberi Hak Tanggungan tidak akan melepaskan haknya atau objek Hak Tanggungan tanpa persetujuan tertulis lebih dahulu dari pemegang Hak Tanggungan;

(h)     janji bahwa pemegang Hak Tanggungan akan memperoleh seluruh atau sebagian dari ganti rugi yang diterima pemberi Hak Tanggungan untukpelunasan piutangnya apabila objekHak Tanggungan dilepaskan haknya oleh pemberi Hak Tanggungan atau dicabut haknya untuk kepentingan umum;

(i)       janji bahwa pemegang Hak Tanggungan akan memperoleh seluruh atau sebagian dari uang asuransi yang diterima pemberi Hak Tanggungan untuk pelunasan piutangnya, jika objek Hak Tanggungan diasuransikan;

(j)        janji bahwa pemberi Hak Tanggungan akan mengosongkan objek Hak Tanggungan pada waktu eksekusi Hak Tanggungan.

Berangkat dari ketentuan Pasal 1 ayat (2) di atas, maka menurut St. Remy Sjahdeini, janji-janji yang disebutkan dalam Pasal 11 ayat (2) UUHT itu bersifat fakultatif dan limitatif. Bersifat fakultatif karena janji-janji itu boleh dicantumkan atau tidak dicantumkan, balk seluruhnya maupun sebagiannya, Bersifat tidak limitatif karena dapat pula diperjanjikan janji-janji lain, selain dari janji-janji yang telah disebutkan dalam Pasal 11 ayat (2).


14. Hak Tanggungan Tidak Boleh Diperjanjikan untuk Dimiliki Sendiri  oleh Pemegang Hak Tanggungan Apabila Cedera Janji

Asas Hak Tanggungan yang mencanturnkan tidak boleh diperjanjikan untuk dimiliki sendiri oleh pemegang Hak Tanggungan bila cedera janji, sebenarnya beralasan dari asas yang tercantum dalam Hipotek sesuai ketentuan Pasal 1178 KUH Perdata, yang janji demikian tersebut disebut Vervalbeding Pengaturan asas Hak Tanggungan yang tidak boleh diperjanjikan untuk dimilik  sendiri oleh pemegang Hak Tanggungan bila cedera janji diatur Pasal 12 U I I Nomor 4 Tahun 1996 dinyatakan bahwa, janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk memiliki objek Hak Tanggungan apabila debitor cedera janji, batal demi hukum.

Dalam penjelasan Pasal 12 Undang-Undang Hak Tanggungan (UUHT) dinyatakan bahwa, ketentuan ini diadakan dalam rangka melindungi kepentingan debitor dan pemberi Hak Tanggungan lainnya, terutama jika nilai objek Hak Tanggungan melebihi besarnya utang yang dijamin. Pemegang Hak Tanggungan dilarang untuk secara serta merta menjadi pemilik objek Hak Tanggungan karena debitor cedera janji. Walaupun demikian tidaklah dilarang bagi pemegang Hak Tanggungan untuk menjadi pembeli objek Hak Tanggungan asalkan melalui prosedur yang diatur dalam Pasal 20 Undang-Undang Hak Tanggungan (UUHT).
Sejalan dengan penjelasan Pasal 12 UUHT di atas, St. Remy Sjahdeini" mengatakan:

Larangan pencantuman janji yang demikian, dimaksudkan untuk melindungi debitor, agar dalam kedudukan yang lemah dalam menghadap kreditor (bank) karena dalam keadaan sangat membutuhkan utang (kredit) terpaksa menerima janji dengan persyaratan yang berat dan merugi kannya.


15. Pelaksanaan Eksekusi Hak Tanggungan Mudah dan Pasti

Pencantuman asas Hak Tanggungan ini berkaitan dengan mencegah terjadinya cedera janji yang dilakukan pemegang Hak Tanggungan. Oleh karena itu, apabila terjadi cedera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mendapatkan prioritas pertama menjual objek Hak Tanggungan. Hal ini sesuai  ketentuan Pasal 6 UUHT dinyatakan bahwa:

Apabila debitor cedera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut.

Berkaitan dengan ketentuan Pasal 6 UUHT di atas, dalam penjelasan Pasal 6 tersebut dijelaskan sebagai berikut:

Hak untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri merupakan salah satu perwujudan dari kedudukan diutamakan yang dipunyai oleh pemegang Hak Tanggungan atau pemegang Hak Tanggungan. Hak tersebut didasarkan pada janji yang diberikan oleh pemegang Hak Tanggungan bahwa apabila debitor cedera janji, pemegang Hak Tanggungan berhak untuk menjual objek Hak Tanggungan melalui pelelangan umum tanpa memerlukan persetujuan lagi dari pemberi Hak Tanggungan dan selanjutnya mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan itu lebih dahulu daripada kreditor-kreditor yang lain. Sisa hasil penjualan tetap menjadi hak pemegang Hak Tanggungan.

Dengan mengacu pada ketentuan Pasal 6 di atas, maka apabila debitor cedera janji, hal ini dapat dimintakan untuk melaksanakan eksekusi atau yang lazim disebut parate eksekusi. Oleh karena itu, parate eksekusi yang terdapat di dalam Hipotek berbeda dengan parate eksekusi yang terdapat di dalam Hak Tanggungan. Pada parate eksekusi yang terdapat pada Hipotek, pemegang Hipotek hanya mempunyai hak untuk melakukan parate eksekusi apabila sebelumnya telah diperjanjikan hal yang demikian itu dalam pemberian Hak Hipoteknya.

Sementara dalam Hak Tanggungan, hak pemegang Hak Tanggungan untuk dapat melakukan parate eksekusi adalah hak yang diberikan oleh Pasal 6 UUHT atau dengan kata lain, diperjanjikan atau tidak diperjanjikan, hak itu demi hukum dipunyai oleh pemegang Hak Tanggungan.
Sertifikat Hak Tanggungan yang merupakan tanda bakti adanya Hak Tanggungan yang diberikan oleh Kantor Pertanahan dan yang memuat irahirah dengan kata-kata "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA", mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan berlalu sebagai pengganti grosse acte Hipotek sepanjang mengenai tanah."  (ibid., hlm. 47)


D. SURAT KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN
Penentuan pembebanan Hak Tanggungan harus dilakukan atau dibuat dengan perantaraan kuasa yang akta autentik, sebagai penjabaran ketentuan sebelumnya yang terdapat dalam Pasal 1171 KUH Perdata ayat (2) yang pada prinsipnya untuk memasang Hipotek harus dibuat dengan akta autentik. Akta autentik yang dimaksudkan adalah akta yang dibuat oleh notaris. Sementara itu, khusus Surat kuasa pembebanan Hak Tanggungan diatur dalam Pasal 15  ayat (1) UUHT dinyatakan bahwa:

Surat kuasa membebankan Hak Tanggungan wajib dibuat dengan akta notaris atau akta PPAT dan memenuhi persyaratan sebagai berikut :

(a)     tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain daripada membebankan hak tanggungan (Yang dimaksud dengan tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain dalam ketentuan ini, misalnya tidak memuat kuasa untuk menjual, menyewakan objek Hak Tanggungan, atau memperpanjang hak atas tanah.)

(b)     tidak memuat hak subsitusi (Yang dimaksud dengan pengertian substitusi menurut undang-undang ini adalah penggantian penerima kuasa melalui pengalihan. Bukan merupakan substitusi, jika penerima kuasa memberikan kuasa kepada pihak lain dalam rangka penugasan untuk bertindak mewakilinya, misalnya Direksi Bank menugaskan pelaksanaan kuasa yang diterimanya kepada Kepala cabangnya untuk atau pihak lain).

(c)     mencantumkan secara jelas objek Hak Tanggungan, Jumlah utang dengan nama serta identitasnya kreditornya, nama dan identitas debitor apabila debitor bukan pemberi Hak Tanggungan. (Kejelasan mengenai unsur-unsur pokok dalam pembebanan Hak Tanggungan sangat diperlukan untuk kepentingan perlindungan pemberi Hak Tanggungan. Jumlah utang yang dimaksud pada huruf ini adalah Jumlah utang sesuai dengan yang diperjanjikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (I).)

(d)     Kuasa untuk membebankan Hak Tanggungan tidak dapat ditarik kembali tidak dapat berakhir oleh sebab apa pun juga kecuali karena kuasa tersebut telah dilaksanakan atau karena telah habis jangka waktunya. Surat kuasa membebankan Hak Tanggungan mengenai hak atas tanah yang sudah terdaftar wajib diikuti dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sesudah diberikan. Surat kuasa membebankan Hak Tanggungan atas tanah yang belum terdaftar wajib diikuti dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sesudah diberikan. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) tidak berlaku dalam hal Surat Kuasa membebankan Hak Tanggungan diberikan untuk menjamin kredit tertentu yang ditetapkan dalam peraturan perundangundangan yang berlaku. Surat kuasa membebankan Hak Tanggungan yang tidak diikuti dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan dalam waktu yang telah ditentukan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) atau ayat (4), atau waktu yang ditentukan menurut ketentuan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (5) batal demi hukum.

Sejalan dengan ketentuan Pasal 15 di atas, khusus penjelasan Pasal 15 ayat (1) dinyatakan bahwa:

Sebagaimana telah dikemukakan dalam Penjelasan Umum angka 7 pada asasnya pemberian Hak Tanggungan wajib dilakukan sendiri oleh pemberi Hak Tanggungan. Hanya apabila benar-benar diperlukan, yaitu dalam hal pemberi Hak Tanggungan tidak dapat hadir di hadapan PPAT diperkenankan penggunaan Surat Kuasa membebankan Hak Tanggungan.

Sejalan dengan itu, surat kuasa tersebut harus diberikan langsung oleh pemberi Hak Tanggungan dan harus memenuhi persyaratan mengenai muatannya sebagaimana ditetapkan pada ayat ini. Tidak dipenuhinya syarat   ini mengakibatkan surat kuasa yang bersangkutan batal demi hukum, yang berarti bahwa surat kuasa yang bersangkutan tidak dapat digunakan sebagai dasar pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan. PPAT wajib menolak permohonan untuk membuat Akta Pemberian Hak Tanggungan apabila surat kuasa membebankan Hak Tanggungan tidak dibuatkan sendiri oleh pemberi Hak Tanggungan atau tidak memenuhi persyaratan termasuk di atas.

Beranjak dari ketentuan Pasal 15 UUHT dan penjelasannya, khusus untuk ketentuan Pasal 15 ayat (5) Undang-Undang Hak Tanggungan (UUHT) telah dikeluarkan peraturan pelaksanaannya, yaitu Peraturan Meneg Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Nomor 4 Tahun 1996 tentang Penetapan Batas Waktu Penggunaan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan untuk Menjamin Pelunasan Kredit-Kredit Tertentu tanggal 8 Mei 1996. Dalam Pasal 1 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional (PMNA/KBPN) dinyatakan bahwa, Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) yang diberikan untuk menjamin pelunasan jenis-jenis Kredit Usaha Kecil sebagaimana dimaksud dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 26/24/KEP/DIR tanggal 28 Mei 1993, berlaku sampai saat berakhirnya masa berlakunya perjanjian pokok yang bersangkutan. Dalam kaitannya dengan adanya jenis-jenis kredit tersebut, dalam Pasal 1 PMNA/ KBPN disebutkan jenis-jenis Kredit Usaha Kecil sebagai berikut.

(1) Kredit yang diberikan kepada nasabah usaha kecil, yang meliputi:
(a) Kredit kepada Koperasi Unit Desa;
(b) Kredit Usaha Tani;
(c) Kredit kepada Koperasi Primer untuk anggotanya.

(2) Kredit Pemilikan Rumah
yang diberikan untuk pengadaan perumahan, yaitu
(a) Kredit yang diberikan untuk membiayai pemilikan rumah inti, rumah sederhana, atau
-rumah susun dengan luas tanah maksimum 200 m2 (dua ratus meter persegi);
(b) Kredit yang diberikan untuk pemilikan Kapling Siap Bangun (KSB) dengan luas tanah 54 M2 (lima puluh empat meter persegi) sampai dengan 72 m2 (tujuh puluh dua meter persegi) dan kredit yang diberikan untuk membiayai bangunannya;
(c) Kredit yang diberikan untuk perbaikan/pemugaran rumah sebagaimana dimaksud huruf a dan b.

(3) Kredit produktif lain yang diberikan oleh Bank Umum dan Badan Perkreditan Rakyat dengan plafon kredit tidak melebihi Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) antara lain:
a) Kredit Umum Pedesaan;
b) Kredit Kelayakan Usaha (yang disalurkan oleh Bank Pemerintah),

Sementara untuk objek Hak Tanggungan berupa hak atas tanah yang pensertifikatannya sedang dalam pengurusan, dalam Pasal 2 peraturan MNA/ KBPN ditentukan sebagai berikut.

Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) yang diberikan untuk menjamin pelunasan jenis-jenis kredit di bawah ini dengan objek Hak Tanggungan berupa hak atas tanah yang pensertifikatannya sedang dalam pengurusan, berlaku sampai 3 (tiga) bulan sejak tanggal dikeluarkannya sertifikat hak atas tanah yang menjadi objek Hak Tanggungan:

(1) Kredit produktif yang termasuk Kredit Usaha Kecil sebagaimana dimaksud Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. Kep.26/24/KEP/DIR tanggal 29 Mei 1993 yang diberikan oleh Bank Umum dan Bank Perkereditan Rakyat dengan plafon kredit Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) ke atas sampai dengan Rp.250. 000. 000, 00 (dua ratus lima puluh juta rupiah);

(2) Kredit Pemilikan Rumah yang termasuk dalam golongan Kredit Usaha Kecil sebagaimana dimaksud Surat Direksi Bank Indonesia sebagaimana disebut pada poin 1, yang tidak termasuk jenis kredit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2, yaitu kredit yang diberikan untuk pemilikan rumah toko (ruko) oleh usaha kecil dengan luas tanah maksimum 200 m2 (dua ratus meter persegi) dan luas bangunan rumah dan toko tersebut masing-masing tidak lebih dari 70 M2 (tujuh puluh meter persegi) dengan plafon tidak melebihi        Rp.250. 000. 000, 00 (dua ratus lima puluh juta rupiah), yang dijamin dengan hak atas tanah yang dibiayai pengadaannya dengan kredit tersebut;

(3) Kredit untuk perumahan inti dalam rangka KKPA PIRTRANS atau PIR lainnya yang dijamin dengan hak atas tanah yang pengadaannya dibiayai dengan kredit tersebut;
(4) Kredit pembebasan tanah dan kredit konstruksi yang diberikan kepada pengembang dalam rangka Pemilikan Kredit rumah yang termasuk Pasal 1 angka 2 dan Pasal 2 angka 2 yang dijamin dengan hak atas tanah yang pengadaan dan pengembangannya dibiayai dengan kredit tersebut.


E. PERINGKAT HAK TANGGUNGAN

Hak Tanggungan memiliki peringkat sesuai dengan waktu pendaftarannya.
Hak Tanggungan tersebut didaftar di Kantor Pertanahan. Hal ini sesuai
ketentuan Pasal 5 UUHT Nomor 4 Tahun 1996 dinyatakan bahwa:

Suatu objek Hak Tanggungan dapat dibebani dengan lebih dari satu Hak Tanggungan guna menjamin pelunasan lebih dari satu utang. Apabila suatu objek Hak Tanggungan dibebani dengan lebih dari satu Hak Tanggungan, peringkat masing-masing Hak Tanggungan ditentukan menurut tanggal pendaftarannya pada Kantor Pertanahan. Peringkat Hak Tanggungan yang didaftar pada tanggal yang sama ditentukan menurut tanggal pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan (Pasal 1, 2 dan 3).

Sejalan dengan ketentuan dalam Pasal 5 di atas, St. Remy Sjandeini mengatakan bahwa: (St. Remy Sjahdeini, op. cit, hlm. 125)

Ketentuan mengenai penentuan dari urutan peringkat dari beberapa  Hak Tanggungan yang telah dibukukan pada tanggal yang sama sebagaimana dikemukakan di atas merupakan perbaikan dari ketentuan mengenai penentuan peringkat dari beberapa Hipotek yang dibukukan pada tanggal yang sama sebagaimana dalam Pasal 1181 ayat (2) KUHPerdata. Dalam Pasal 1181 KUH Perdata tersebut dinyatakan bahwa mereka yang dibukukan pada hari yang sama, bersama-sama mempunyai suatu Hipotek yang bertanggal sama, tidak peduli pada jam mana pembukuan itu dilakukan, sekalipun jam dilakukan pembukuan   itu dicatat oleh pegawai penyimpan Hipotek.


F. BERALIHNYA HAK TANGGUNGAN

Suatu hal yang tidak dapat dipungkiri bahwa sebagai suatu hak, konsekuensinya suatu saat akan beralih atau dialihkan kepada pihak yang lain. Hal ini pulalah yang menimpa mengenai Hak Tanggungan, suatu saat akan berpindah ke pihak lain. Hal ini diatur dalam Pasal 16 UUHT Nomor 4 Tahun 1996 dinyatakan bahwa:

Jika piutang yang dijamin dengan Hak Tanggungan beralih karena cessie (Cessie adalah perbuatan hukum mengalihkan piutang oleh kreditor pemegang Hak Tanggungan kepada pihak lain.),  subrogasi (Subrogasi adalah penggantian kreditor oleh pihak ketiga yang melunasi utang debitor),  pewarisan,  atau sebab-sebab lain (Yang dimaksud dengan sebab-sebab lain, adalah hal-hal lain selain yang diperinci pada ayat ini, misalnya dalam hal terjadinya pengambilalihan atau penggabungan perusahaan sehingga menyebabkan beralihnya piutang dari perusahaan semula kepada perusahaan yang baru).

Hak Tanggungan tersebut ikut beralih karena hukum kepada kreditor yang baru (ayat (1)). Beralihnya Hak Tanggungan wajib didaftarkan oleh kreditor yang baru kepada Kantor Pertanahan (ayat (2)). Pendaftaran beralihnya Hak Tanggungan dilakukan oleh Kantor Pertanahan dengan mencatatnya pada buku-tanah Hak Tanggungan dan buku-tanah hak atas tanah yang menjadi objek Hak Tanggungan serta menyalin catatan tersebut pada sertifikat Hak Tanggungan dan sertifikat hak atas tanah yang bersangkutan (ayat (3)). Tanggal pencatatan pada buku-tanah adalah tanggal hari ketujuh setelah diterimanya secara lengkap surat-surat yang diperlukan bagi pendaftaran beralihnya Hak Tanggungan dan jika hari ketujuh itu jatuh tempo pada hari libur, catatan itu diberi bertanggal hari kerja berikutnya (ayat (4)). Beralihnya Hak Tanggungan mulai berlaku bagi pihak ketiga pada hari tanggal pencatatan (ayat (5)).

Berangkat dari ketentuan Pasal 16 di atas, maka dalam penjelasan Pasal 16 ayat (1) dinyatakan bahwa, karena beralihnya Hak Tanggungan yang diatur dalam ketentuan ini terjadi karena hukum, hal tersebut tidak perlu dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT. Pencatatan beralihnya Hak Tanggungan ini cukup dilakukan berdasarkan akta yang membuktikan beralihnya piutang yang dijamin kepada kreditor yang baru.

Sejalan dengan uraian di atas, menurut St. Remy Sjahdeini mengatakan bahwa: (St. Remy Sjahdeini, op. cit, hlm. 131)

Ketentuan ini sangat penting bagi praktik perbankan. Dalam praktik perbankan, sering kredit bank, dalam arti sebagai piutang bank, diambil alih oleh bank lain. Dengan kata lain, terjadi penggantian kreditor dengan nasabah debitor yang sama. Hal ini sering pula terjadi dalam  hal kredit sindikasi, yaitu peserta sindikasi dari pasar sindikasi perdana (primary market of syndicated loan) menjual penyertaannya kepada peserta sindikasi baru dalam pasar sekunder (secondary market of syndicated loan). Jual bell penyertaan sindikasi kredit tersebut sering terjadi bagi kredit-kredit sindikasi yang berbentuk transferable loan facility. Transaksi penjualan penyertaan sindikasi kredit ini lazim disebut debt sale.

Mencermati ketentuan Pasal 16 di atas, maka akan menimbulkan persoalan baru, yakni berkisar pada praktik perbankan yang sering timbul terjadinya pergantian debitor. Sebab yang dipersoalkan pada Pasal 16 ini, hanya pergantian kreditor (bank) saja. Pertanyaan ini diatur dalam KUH Perdata, ditentukan bahwa terjadinya penggantian debitur dapat dilakukan dengan menggunakan lembaga novasi (pembaruan utang).

Menurut St. Remy Sjahdeini, Hak Tanggungan tidak dapat beralih karena novasi. Menurut Pasal 1381 KUH Perdata, perjanjian (lama) berakhir karena dibuatnya perjanjian baru atau novasi. Sementara menurut Pasal 18 ayat (1) UUHT, Hak Tanggungan hapus karena hapusnya utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan itu. Jadi, karena perjanjian baru yang mengakhiri perjanjian lama, Hak Tanggungan menjadi berakhir pula  (ibid, hlm. 132)

Ketentuan dalam Pasal 16 UUHT di atas yang tidak mengatur tentang diperbolehkannya pergantian debitur berpatokan pada Pasal 1422 KUH Perdata yang dinyatakan pergantian debitur tidak mengakibatkan beralihnya Hipotek atas benda milik debitur lama kepada pemilik debitur baru. Apabila pembaruan utang diterbitkan dengan penunjukan debitur baru yang menggantikan debitur lama, maka hak-hak istimewa dan hipotek-hipotek yang dari semula mengikuti piutang, tidak berpindah atas barang-barang debitur baru.

Dengan demikian, apabila Hak Tanggungan diberlakukan untuk menjamin utang baru akibat perjanjian novasi tidak dapat dimungkinkan dengan menerapkan Pasal 3 ayat (1) UUHT, sekalipun Pasal 3 ayat (1) dinyatakan, Hak Tanggungan dapat dijadikan jaminan utang baru, akan tetapi utang yang baru itu harus telah diperjanjikan sebelumnya. Perjanjian novasi yang dikemukakan di atas tidaklah mungkin diperjanjikan sebelumnya.

Untuk mengatasi persoalan di atas, St. Remy Sjahdeini menawarkan konsep dengan menyatakan bahwa:

Untuk mengakomodasi kebutuhan perbankan agar Hak Tanggungan dapat tetap melekat pada kredit (yang bermasalah) yang dialihkan oleh bank kepada pihak lain sebagai debitor baru yang menggantikan debitor yang lama, haruslah penggantian debitor itu ditempuh bukan melalui lembaga novasi. Karena KUH Perdata tidak terdapat yang memungkinkan terjadinya penggantian debitor selain dari novasi, maka harus dibuat perjanjian khusus di antara pihak yang menginginkan terjadinya penggantian debitor itu tanpa mengakhiri perjanjian utang piutangnya. Perjanjian tersebut adalah "Perjanjian Pengambilalihan Utang".


G. PEMBERIAN, PENDAFTARAN, DAN PENCORETAN HAK TANGGUNGAN

Suatu proses yang ditempuh dalam peralihan hak atas tanah yang dijadikan jaminan Hak Tanggungan adalah melalui suatu proses pemberian, pendaftaran, dan pencoretan Hak Tanggungan tersebut.


1. Tata Cara Pemberian dan Pendaftaran Hak Tanggungan

Tata cara pemberian dan pendaftaran Hak Tanggungan, diatur dalam Pasa 1 17 UUHT Tahun 1996 dinyatakan bahwa:

Bentuk dan isi Akta Pemberian Hak Tanggungan, bentuk dan isi bukutanah Hak Tanggungan, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan tats cara pemberian dan pendaftaran Hak Tanggungan ditetapkan dan diselenggarakan berdasarkan Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

Ketentuan Pasal 17 UUHT di atas menginginkan agar peraturan pelaksanaannya ditindaklanjuti dengan ketentuan Peraturan Pemerintah, akan tetapi yang dikeluarkan oleh Pemerintah adalah Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor  3 Tahun 1996 tentang Bentuk Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan, Akta Pemberian Hak Tanggungan, Buku Tanah Hak Tanggungan, dan sertifikat Hak Tanggungan. Oleh karena itu, peraturan pemerintah yang akan dijadikan jabaran Pasal 17 UUHT ini, misalnya PP Nomor 27 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

Tata cara pemberian Hak Tanggungan merupakan kunci terjadinya proses pelimpahan kepada pihak ketiga, karena di dalamnya terdapat janji pelunasan utang. Tata cara ini diatur dalam Pasal 10 ayat (2) UUHT yang dinyatakan sebagai berikut :

Pemberian Hak Tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu, yang dituangkan di dalam dan merupakan bagian tak terpisahkan dari perjanjian utang-piutang yang bersangkutan atau perjanjian lainnya yang menimbulkan utang tersebut. Pemberian Hak Tanggungan dilakukan dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan oleh PPAT sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Apabila objek Hak Tanggungan berupa hak atas tanah yang berasal dari konversi hak lama yang telah memenuhi syarat untuk didaftarkan akan tetapi pendaftarannya belum dilakukan, pemberian Hak Tanggungan dilakukan bersamaan dengan permohonan pendaftaran hak atas tanah yang bersangkutan (ayat 1, 2, dan 3).

Sejalan dengan ketentuan Pasal 10 ayat(2) di atas, dalam penjelasan Pasal 10 ayat (3) dinyatakan bahwa:

Yang dimaksud dengan hak lama adalah hak kepemilikan atas tanah menurut hukum adat yang telah ada, akan tetapi proses administrasi dalam konversinya belum selesai dilaksanakan. Syarat-syarat yang harus dipenuhi adalah syarat-syarat yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Mengingat tanah dengan hak sebagaimana dimaksud di atas pada waktu ini masih banyak, pembebanan Hak Tanggungan pada hak atas tanah itu dimungkinkan asalkan pemberiannya dilakukan bersamaan dengan permohonan pendaftaran hak atas tanah tersebut. Kemungkinan ini dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada pemegang hak atas tanah yang belum bersertifikat untuk memperoleh kredit.

Di samping itu, kemungkinan di atas dimaksudkan juga untuk mendorong pensertifikatan hak atas tanah pada umumnya. Dengan adanya ketentuan ini berarti bahwa penggunaan tanah yang bukti kepemilikannya berupa girik, petuk dan lain-lain yang sejenis masih dimungkinkan sebagai agunan.

Menurut St. Remy Sjahdeini, ketentuan Pasal 10 ayat (3) itu merupakan keterkaitan dengan ketentuan Pasal 8 UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang di didalam penjelasan pasal tersebut dikemukakan bahwa tanah girik, petuk, dan lain-lain yang sejenis dapat digunakan sebagai agunan.

Menelaah dengan cermat ketentuan Pasal 10 ayat (3) UUHT dan penjelasannya, serta ketentuan Pasal 8 UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, maka menurut penulis pada tataran hukum formal dimungkinkan untuk menjadikan bukti girik, petuk, dan sejenisnya dijadikan jaminan utang, akan tetapi pada tataran operasional bank sulit menerima tanda bukti tersebut.

Hal inilah yang menjadi permasalahan, sebab dalam kenyataan bank akan menerima tanah yang akan dijadikan agunan kalau tanah tersebut telah memiliki sertifikatnya.

Sementara itu, banyak masyarakat di desa yang memiliki tanah dengan hanya mengandalkan tanda bukti yang bukan merupakan girik, petuk, sebab girik dan petuk hanya dikenal di Pulau Jawa dan Sumatra.

Dengan demikian, yang perlu dilakukan oleh pemerintah untuk menindaklanjuti ketentuan Pasal 8 UU Nomor 7 Tahun 1992 tersebut, perlu dibuatkan peraturan yang membedakan antara tanda girik dan petuk yang ada di Jawa dan Sumatra dengan yang ada di luar Jawa dan Sumatra tersebut. Dalam artian bahwa di luar Jawa dan Sumatra tanda bukti yang telah diakui oleh masyarakat setempat diterima sama dengan girik dan petuk yang terdapat di Jawa dan Sumatra tersebut.

Dalam kaitannya dengan ketentuan Pasal 10 UUHT di atas, pemberian Hak Tanggungan juga harus memenuhi persyaratan yang berkaitan dengan identitas pemegang Hak Tanggungan tersebut. Hal ini sesuai ketentuan Pasal 11 UUHT dinyatakan bahwa:

Di dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan wajib dicantumkan:
(a)     nama dan identitas pemegang dan pemberi Hak Tanggungan (Apabila Hak Tanggungan dibebankan pula pada benda-benda yang merupakan satu kesatuan dengan tanah milik orang-perorangan atau badan hukum lain daripada pemegang hak atas tanah, pemberi Hak Tanggungan adalah pemegang hak atas tanah bersama-sama pem i I ik benda tersebut.)

(b)     domisili pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada huruf a, dan apabila di antara mereka ada yang berdomisili di luar Indonesia, baginya harus pula dicantumkan domisili pilihan di Indonesia, dan dalam hal domisili pilihan itu tidak dicantumkan, kantor PPAT tempat pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan dianggap sebagai domisili yang dipilih (Dengan dianggapnya kantor PPAT sebagai domisili di Indonesia, bagi pihak yang berdomisili di luar negeri apabila domisili pilihannya tidak disebut di dalam akta, syarat pencantuman domisili pilihan tersebut dianggap sudah dipenuhi).

(c)      penunjukan secara jelas utang atau utang-utang yang dijamin sebagaimana dimaksud Pasal 3 dan Pasal 10 ayat (1). (penunjukan utang atau utang-utang yang dijamin sebagaimana dimaksud pada huruf ini meliputi juga nama dan identitas debitor yang bersangkutan)

(d)     nilai tanggungan;

(e)     uraian yang jelas mengenai objek Hak Tanggungan.  (Uraian yang jelas mengenai Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada huruf ini meliputi rincian mengenai sertifikat hak atas tanah yang bersangkutan atau bagi tanah yang belum terdaftar sekurang-kurangnya memuat uraian mengenai kepemilikan, letak, batas-batas, dan Iuas tanahnya)

Berkaitan dengan ketentuan Pasal 11 ayat (1) di atas, maka dalam penjelasan Pasal 11 ayat (1) di atas dinyatakan bahwa:

Ketentuan ini menetapkan isi yang sifatnya wajib untuk sahnya Akta Pemberian Hak Tanggungan. Tidak dicantumkannya secara lengkap hal-hal yang disebut pada ayat ini dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan mengakibatkan akta tersebut batal demi hukum. Ketentuan ini dimaksudkan untuk memenuhi asas spesialitas dari Hak Tanggungan, balk mengenai objek maupun utang yang dijamin.


2. Tata Cara Pendaftaran Hak Tanggungan

Dalam Pasal 13 ayat (1) diatur mengenai pemberian Hak Tanggungan, yaitu wajib didaftarkan pada kantor pertanahan. Kemudian di dalam Pasal 11 ayat (2) dan ayat (3) dijelaskan baigaimana caranya pendaftaran Hak Tanggungan itu dilakukan. Menurut St. Remy Sjahdeini, tats cara pelaksanaan adalah sebagai berikut.

(a)   Setelah penandatanganan Akta pemberian Hak Tanggungan yang dibuat oleh PPAT dilakukan oleh pars pihak, PPAT mengirimkan Akta pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan dan warkah lain yang diperlukan oleh kantor Pertanahan. Pengiriman tersebut wajib dilakukan oleh PPAT yang bersangkutan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah penandatanganan Akta Pemberian Hak Tanggungan.

(b)   Pendaftaran Hak Tanggungan dilakukan oleh Kantor Pertanahan dengan membuatkan buku tanah Hak Tanggungan dan mencatatnya dalam buku tanah hak atas tanah yang menjadi objek Hak Tanggungan serta menyalin catatan tersebut pada sertifikat hak atas tanah yang bersangkutan.

(c)   Tanggal buku tanah Hak Tanggungan adalah tanggal hari ketujuh setelah penerimaan secara lengkap surat-surat yang diperlukan bagi pendaftarannya dan jika hari ketujuh itu jatuh pada hari libur, buku tanah yang bersangkutan diberi bertanggal hari kerja berikutnya:

Dengan berpatokan pada ketentuan Pasal 13 UUHT di atas, maka teknis pendaftaran mengenai Hak Tanggungan tetap mengacu kepada ketentuan Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1996 tentang Pendaftaran Hak Tanggungan, kemudian Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.


3. Tata Cara Pencoretan Hak Tanggungan

Suatu Hak Tanggungan dapat dilakukan pencoretan apabila tanah yang dijadikan objek Hak Tanggungan telah dihapus. Namun demikian, dalam kaitannya dengan pencoretan Hak Tanggungan, hal ini diatur dalam Pasal 22 ayat (1) UUHT dinyatakan bahwa:

Setelah Hak Tanggungan hapus sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 18, Kantor Pertanahan mencoret catatan Hak Tanggungan tersebut pada buku-tanah hak atas tanah dan sertifikatnya. Dengan hapusnya Hak Tanggungan, sertifikat Hak Tanggungan yang bersangkutan ditarik dan bersama-sama buku tanah Hak Tanggungan dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Kantor Pertanahan.

Sejalan dengan pencoretan Hak Tanggungan di atas, maka sebelum dilakukannya pencoretan, harus didahului dengan mengajukan pemohonan oleh para pihak kepada Kantor Pertanahan. Hal ini sesuai ketentuan dalam Pasal 22 ayat (4) dinyatakan bahwa:

Permohonan pencoretan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh pihak yang berkepentingan dengan melampirkan sertifikat Hak Tanggungan yang telah diberikan catatan oleh kreditor bahwa Hak Tanggungan hapus karena piutang yang dijamin pelunasannya dengan Hak Tanggungan itu sudah lunas, atau pernyataan tertulis dari kreditor bahwa Hak Tanggungan telah hapus karena piutang yang dijamin pelunasannya dengan Hak Tanggungan telah lunas atau karena kreditor melepaskan Hak Tanggungan yang bersangkutan.

Berkaitan dengan ketentuan dalam Pasal 22 ayat (4) di atas, bagaimana kalau ada pihak yang berkepentingan tidak mau melakukan pencoretan terhadap Hak Tanggungan. Permasalahan ini dijawab oleh Pasal 22 ayat (5), (6), dan ayat (7) UUHT yang dinyatakan sebagai berikut.

Apabila kreditor tidak bersedia memberikan pernyataan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), pihak yang berkepentingan dapat mengajukan permohonan perintah pencoretan tersebut kepada Ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat Hak Tanggungan yang bersangkutan didaftar Apabila permohonan perintah pencoretan timbul dari sengketa yang sedang diperiksa oleh pengadilan lain, permohonan tersebut harus diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang memeriksa perkara yang bersangkutan (Pasal 6). Permohonan pencoretan catatan Hak Tanggungan berdasarkan perintah Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6) diajukan kepada Kepala Kantor Pertanahan dengan melampirkan salinan penetapan atau putusan Pengadilan Negeri yang bersangkutan (ayat (7)).


H. HAPUSNYA HAK TANGGUNGAN

Hak Tanggungan akan mengalami suatu proses berakhir, yang sama dengan hak-hak atas tanah yang lainnya. Ketentuan hapusnya Hak Tanggungan diatur dalam Pasal 18 UUHT Nomor 4 Tahun 1996 yang menyatakan bahwa:

Hak Tanggungan hapus karena hal-hal sebagai berikut: :
(a) hapusnya utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan;
(b) dilepaskannya Hak Tanggungan oleh pemegang Hak Tanggungan; (c) pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri;
(d) hapusnya hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan (ayat (1)). Hapusnya Hak Tanggungan karena dilepaskan oleh pemegangnya dilakukan dengan pemberian pernyataan tertulis mengenai dilepaskannya Hak Tanggungan tersebut oleh pemegang Hak Tanggungan kepada pemberi Hak Tanggungan (ayat (2)).

Hapusnya Hak Tanggungan karena pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri terjadi karena permohonan pemberi hak atas tanah yang dibebankan Hak Tanggungan tersebut agar hak atas tanah yang dibelinya itu dibersihkan dari beban Hak Tanggungan (ayat (3)). Hapusnya Hak Tanggungan karena hapusnya hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan tidak menyebabkan hapusnya utang yang dijamin (ayat (4)).

Sejalan dengan ketentuan dalam Pasal 18 UUHT di atas, dalam penjelasan Pasal 18 ayat (1) dinyatakan bahwa:
]
Sesuai dengan sifat accesoir dari Hak Tanggungan, adanya Hak Tanggungan tergantung pada adanya piutang yang dijamin pelunasannya. Apabila piutang itu hapus karena pelunasan atau sebab-sebab lain, dengan sendirinya Hak Tanggungan yang bersangkutan hapus juga.

Selain itu, pemegang Hak Tanggungan melepaskan Hak Tanggungannya dan hak atas tanah dapat hapus yang mengakibatkan hapusnya Hak Tanggungan.

Hak atas tanah dapat hapus antara lain karena hal-hal sebagaimana disebut dalam Pasal 27, Pasal 34, dan Pasal 40 UUPA, atau peraturan perundang-undangan lainnya. Dalam hal Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, atau Hak Pakai yang dijadikan objek Hak Tanggungan berakhir jangka waktu berlakunya dan dapat diperpanjang berdasarkan permohonan yang diajukan sebelum berakhirnya jangka waktu tersebut, Hak Tanggungan dimaksud tetap melekat pada hak atas tanah yang bersangkutan.

Sementara itu, hapusnya Hak Tanggungan karena pembersihan Hak
Tanggungan berdasarkan penetapan Ketua Pengadilan Negeri, hal ini diatur lebih lanjut dalam Pasal 19 ayat (1) UUHT yang dinyatakan sebagai berikut. Pembeli obyek Hak Tanggungan, balk dalam suatu pelelangan umum atas perintah Ketua Pengadilan Negeri maupun dalam jual beli sukarela dapat meminta kepada pemegang Hak Tanggungan agar benda yang dibelinya itu dibersihkan dari segala beban Hak Tanggungan yang melebihi harga pembelian.

Berdasarkan ketentuan Pasal 19 ayat (1) UUHT di atas, maka bagaimana penyelesaiannya apabila pemegang Hak Tanggungan tidak mengabulkan permohonan pembeli? Persoalan ini dijawab oleh Pasal 19 ayat (3) dinyatakan sebagai berikut.

Apabila objek Hak Tanggungan dibebani lebih dari satu Hak Tanggungan dan tidak terdapat kesepakatan di antara Para pemegang Hak Tanggungan tersebut mengenai pembersihan objek Hak Tanggungan dari beban melebihi harga pembeliannya, pembeli benda tersebut dapat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi objek Hak Tanggungan yang bersangkutan untuk menetapkan pembersihan itu dan sekaligus menetapkan ketentuan pembagian hasil penjualan lelang di antara Para yang berpiutang dan peringkat mereka menurut perundang-undangan yang berlaku.

Berdasarkan ketentuan Pasal 19 ayat (1) dan ayat (3) UUHT di atas, St. Remy Sjahdeini menyatakan bahwa: (St. Remy Sjahdeini, op. cit, hlm. 155-156.)

Sekalipun tidak ditentukan secara eksplisit di dalam UUHT mengenai apa yang dapat ditempuh oleh pembeli apabila pemegang Hak Tanggungan dalam hal hanya ada satu Hak Tanggungan yang dibebankan atas objek hak tanggungan ternyata tidak bersedia memberikan persetujuannya (memberikan surat persetujuan) agar benda yang dibeli oleh pembeli itu dibersihkan dari segala beban Hak Tanggungan yang melebihi harga pembelian.

Karena itu, sejalan dengan asas yang ditentukan dalam Pasal 19 ayat (3) UUHT, pembeli dapat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi letak objek Hak Tanggungan yang bersangkutan untuk melakukan pembersihan yang dimaksud, maka bila cara ini tidak dimungkinkan untuk ditempuh, sudah barang tentu tidaklah mungkin terjadi pembelian di dalam pelelangan dalam rangka eksekusi Hak Tanggungan itu (pelelangan umum tidak ada pembelinya). Siapa yang akan ikut menjadi pembeli dari pelelangan umum mengingat sudah menjadi kenyataan di dalam praktik, bahwa harga penjualan pelelangan umum sering tidak dapat terjadi pada harga nilai pasar dari objek Hak Tanggungan itu. Pembeli lelang selalu ingin memperoleh kesempatan  membeli dengan harga murah (di bawah harga pasar).

Beranjak dari ketentuan Pasal 19 ayat (1) di atas, khusus untuk Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai untuk rumah tempat tinggal yang sedang dibebani Hak Tanggungan dan pemiliknya bermaksud untuk meningkatkan statusnya menjadi Hak Milik. Hal ini diatur dalam Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 5 Tahun 1996 tentang Perubahan Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai atas Tanah Untuk Rumah Tinggal yang dibebani Hak Tanggungan menjadi Hak Milik.

Sehubungan dengan ketentuan ini, berlaku ketentuan sebagaimana disebut di bawah ini.
(1)          Perubahan hak tersebut dimohonkan oleh pemegang hak atas tanah dengan persetujuan dari pemegang Hak Tanggungan.
(2)          Perubahan hak tersebut mengakibatkan Hak Tanggungan hapus.
(3)          Kepala Kantor Pertahanan karena jabatannya mendaftar hapusnya Hak Tanggungan yang membebani Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai yang diubah menjadi Hak Milik, bersamaan dengan pendaftaran Hak Milik yang bersangkutan.
(4)          Untuk melindungi kepentingan kreditor/bank yang semula dijamin dengan Hak Tanggungan atas Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai yang menjadi hapus, sebelum perubahan hak didaftar, pemegang hak atas tanah dapat memberikan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan dengan objek Hak Milik yang diperolehnya sebagai perubahan dari Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai tersebut.
(5)          Setelah perubahan hak dilakukan, pemegang hak atas tanah dapat membuat Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) atas Hak Milik yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dengan hadir sendiri atau melalui SKMHT.

Berdasarkan ketentuan PNMA/KBPN tersebut, secara hukum hapusnya Hak Tanggungan adalah pada saat pendaftaran Hak Milik tersebut dilakukan. Oleh karena itu, sebelum perubahan hak didaftar, pemegang Hak atas tanah sebaiknya memberikan SKMHT dengan objek Hak Milik yang diperolehnya, karena setelah Hak Milik di daftar, Hak Tanggungan menjadi hapus. Pada saat hapusnya Hak Tanggungan itu kreditor menjadi kreditor konkuren yang hanya dijamin dengan SKMHT. Namun kemudian kreditor dapat membuat APHT berdasarkan SKMHT itu. Hak Tanggungan lahir pada tanggal buku tanah Hak Tanggungan, yaitu tanggal hari ketujuh setelah penerimaan secara lengkap surat-surat yang diperlukan bagi pendaftarannya. (Ibid, hlm. 157-158)


1.      HARTA KEPAILITAN DAN EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN
Suatu masalah yang sering kali timbul adalah posisi pemegang Hak Tanggungan akibat pemberi Hak Tanggungan mengalami pailit. Masalah ini  telah diatur dalam Pasal 21 UUHT yang menyatakan bahwa apabila pemberi Hak Tanggungan dinyatakan pailit, pemegang Hak Tanggungan tetap berwenang melakukan segala hak yang diperolehnya menurut ketentuan undang-undang ini.

Berkaitan dengan posisi pemegang Hak Tanggungan terhadap pailitnya pemberi Hak Tanggungan, maka kedudukan pemegang Hak Tanggungan akibat jatuh pailitnya pemberi Hak Tanggungan selanjutnya diatur oleh UU Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan (sebagaimana diganti dengan UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU). Dalam Pasal 56A UU Kepailitan tersebut dinyatakan hak preferen dari kreditor pemegang Hak Tanggungan untuk mengeksekusi hak atas tanah ditangguhkan pelaksanaannya untuk jangka waktu paling lama 90 hari terhitung sejak tanggal putusan pailit ditetapkan. Meskipun ditangguhkan eksekusinya, hak atas tanah tersebut tidak boleh dipindah-tangankan oleh kurator. Harta  pailit yang dapat digunakan atau dijual oleh kurator terbatas hanya pada barang persediaan (inventory) dan atau barang bergerak (current asset) meskipun harta pailit tersebut dibebani dengan hak agunan kebendaan.

Dalam kaitannya dengan ketentuan Pasal 56A di atas, dalam penjelasan Pasal 56A dinyatakan bahwa:

Maksud penangguhan ini bertujuan antara lain untuk memperbesar kemungkinan tercapainya perdamaian, atau untuk memperbesar kemungkinan mengoptimalkan harta pailit, atau untuk memungkinkan kurator melaksanakan tugasnya secara optimal. Selama berlangsungnya jangka waktu penangguhan, segala tuntutan hukum untuk memperoleh Pelunasan atas suatu piutang tidak dapat dijatuhkan dalam sidang peradilan, dan balk kreditor maupun pihak ketiga dimaksud dilarang mengeksekusi atau memohonkan sita atas barang yang menjadi agunan.

Sebagaimana diketahui bahwa Hak Tanggungan bertujuan untuk menj am in utang yang diberikan pemegang Hak Tanggungan kepada debitur. Apabila debitur cedera janji, tanah (hak atas tanah) yang dibebani dengan Hak Tanggungan itu berhak dijual oleh Pemegang Hak Tanggungan tanpa persetujuan dari pemberi Hak Tanggungan dan Pemberi Hak Tanggungan tidak dapat menyatakan keberatan atas penjualan tersebut. (St. Remy Sjahdeini, op. cit, hlm. 164.)

Untuk menjaga jangan sampai penjualan tersebut tidakfair, maka penjualan atas hak yang dijadikan jaminan Hak Tanggungan tersebut dilakukan secara lelang. Hal ini sesuai ketentuan Pasal 20 ayat (1) yang pada prinsipnya menyatakan: objek Hak Tanggungan dijual melalui pelelangan umum menurut tats cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan untuk pelunasan piutang pemegang Hak Tanggungan dengan hak mendahulu daripada kreditor-kreditor lainnya.

Berkaitan dengan penjualan jaminan benda di mans pemegang Hak Tanggungan pertama mendapatkan hak istimewa untuk melakukan penjualan terhadap objek Hak Tanggungan tersebut, ketentuan ini didasarkan Pasal 6 UUHT yang menyatakan bahwa apabila debitur cedera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutang dari hasil penjualan tersebut.

Selain pemegang pertama pemegang Hak Tanggungan mempunyai hak untuk menjual objek Hak Tanggungan tersebut di pelelangan umum, pemegang Hak Tanggungan pertama juga mendapatkan hak untuk melakukan penjualan di bawah tangan. Hal ini sesuai ketentuan Pasal 20 ayat (2) UUHT dinyatakan bahwa atas kesepakatan pemberi dan pemegang Hak Tanggungan, penjualan objek Hak Tanggungan dapat dilaksanakan di bawah tangan jika dengan demikian itu akan diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak.

Berkaitan dengan penjualan objek Hak Tanggungan dilakukan di bawah tangan di atas, St. Remy Sjahdeini menyatakan (Ibid, hlm. 165)

Karena penjualan di bawah tangan dari objek Hak tanggungan hanya dilaksanakan apabila ada kesepakatan antara pemberi dan pemegang Hak Tanggungan, bank tidak mungkin-melakukan penjualan di bawah tangan dari objek Hak Tanggungan atau agunan kredit itu apabila debitor tidak menyetujuinya.

Berkaitan dengan masalah diperbolehkannya pemegang Hak Tanggungan melakukan penjualan terhadap objek Hak Tanggungan di bawah tangan, timbul persoalan, bagaimana kalau kredit yang dijamin dengan agunan macet, langkah apa yang dilakukan oleh bank? St. Remy Sjandeini berpendapat (Ibid, hlm. 166)  :

Agar bank kelak setelah kredit diberikan tidak mengalami kesulitan yang demikian, bankpada waktu kredit diberikan mensyaratkan agar di dalam perjanjian kredit diperjanjikan bahwa bank diberi kewenangan untuk dapat menjual sendiri agunan tersebut secara di bawah tangan atau meminta kepada debitur untuk memberikan surat kuasa khusus yang memberikan kekuasaan kepada bank untuk dapat menjual sendiri agunan tersebut secara di bawah tangan.


Disunting dari berbagai sumber :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar